Kamis, 14 September 2023

Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar Lengkap

Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar Lengkap

 

 



CHAIRIL ANWAR

Profil

Chairil Anwar adalah Penyair Indonesia terkenal yang lahir pada 26 Juli 1922 di Kota Medan, Sumatera Utara.  Penyair yang sangat terkenal dengan karyanya berjudul “Aku” ini meninggal dunia di usia yang masih cukup muda, tepatnya pada 28 April 1949 di Jakarta.

Chairil Anwar lahir dari pasangan Toeloes yang merupakan mantan bupati di salah satu kota di Riau, dengan seorang wanita bernama Saleha yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Sutan Sjahrir. Setelah cukup usia, Chairil Anwar masuk ke sekolah dasar khusus pribumi, yaitu HIS atau Hollandsch Inlandsche School. Setelah selesai menempuh pendidikan di HIS, ia melanjutkan ke MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setara dengan SMP. Menurut beberapa catatan sejarah, Chairil Anwar tidak pernah menyelesaikan pendidikannya. Namun, dia memiliki jiwa sastra yang sangat tinggi, terbukti dengan seringnya ia menghabiskan waktu untuk membaca beberapa karya pengarang internasional yang sangat terkenal. Chairil Anwar pun menguasai beberapa bahasa, yaitu bahasa Inggris, Belanda, dan juga bahasa Jerman .

Saat Chairil Anwar menginjak usia 20-an, Chairil Anwar memiliki gaya hidup yang kurang teratur. Hal ini membuat kondisi tubuhnya menjadi kacau dan sangat lemah, sehingga beberapa penyakit mulai menggerogoti kesehatannya. Saat usianya hampir menginjak 27 tahun, Chairil Anwar meninggal dunia karena penyakit TBC yang dideritanya.  Ia kemudian dimakamkan di TPU Karet Bivak dan selalu diziarahi oleh banyak pengagumnya sampai saat ini.  



Karya Sastra

Chairil Anwar mulai menyukai dunia sastra sejak usia belasan tahun. Ia pun sudah mulai menulis syair dan puisi saat usianya masih menginjak remaja, tapi karya-karya pertamanya tidak pernah ditemukan sampai sekarang.  Karya Chairil Anwar yang dimuat di Majalah Nisan pada tahun 1942 adalah karya yang membuat namanya dikenal banyak orang. Laki-laki yang sempat bekerja sebagai penyiar radio Jepang yang berpusat di Jakarta ini selalu menciptakan karya yang bertema kematian. Berikut ini adalah beberapa karya Chairil Anwar yang sempat ia ciptakan selama masa hidupnya dan yang sudah dipublikasikan.

1.      Aku Ini Binatang Jalang, merupakan koleksi sajak yang dibuat Chairil Anwar dari taun 1942 sampai tahun 1949.

2.      Deru Campur Debu, karya Chairil Anwar yang diterbitkan dalam sebuah buku pada tahun 1949.

3.      Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, karya Chairil Anwar pada tahun 1949.

4.      Tiga Menguak Takdir , karya ini merupakan kumpulan sajak dan puisi yang dibuat Chairil Anwar bersama Rivai Apin dan juga Asrul Sani.

Itulah beberapa karya Chairil Anwar yang banyak dikenal oleh masyarakat, terutama para sastrawan Indonesia. Masih sangat banyak karya ciptaan penyair yang dinobatkan sebagai pelopor puisi modern Indonesia ini. Tak hanya dalam bahasa Indonesia, karya Chairil Anwar pun diterjemahkan dalam bahasa asing. Hal ini membuktikan bahwa karya penyair yang sering dijuluki Si Binatang Jalang ini memang diakui oleh dunia.

 

Apresiasi Puisi

 

Tiga puluh tujuh puisi yang disajikan di sini hanya merupakan sebagian dari puisi-puisi Chairil Anwar.  Beberapa puisi terkenal Chairil sengaja disimpan di urutan atas, walaupun urutan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan sebagai daftar peringkat.  Penyertaan daftar isi puisi di sini hanya dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengetahui puisi-puisi yang tersaji di sini dan agar dapat mengakses puisi yang dikehendaki dengan lebih cepat.

Sama seperti para penyair lainnya, puisi-puisi Chairil juga memotret semangat zamannya.  Pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan, dan perang kemerdekaan telah mempengaruhi lahirnya puisi-puisi Chairil Anwar seperti Aku, Krawang-Bekasi, Diponegoro, dan Prajurit Jaga Malam.  Namun, sama dengan sejumlah penyair lainnya, sebagian puisi Chairil juga berkisah tentang pengalaman pribadinya, percintaan dengan kekasihnya dan juga perenungan-perenungan eksistensialnya tentang kehidupan dan (terlebih lagi) kematian.  Puisi-puisi tentang kisah dan renungan percintaan Chairil dapat dinikmati di Mirat Muda Chairil Muda, Sajak Putih, Senja di Pelabuhan Kecil, dan Sia-Sia.  Sedangkan puisi-puisinya yang bicara tentang kematian bisa disimak antara lain di Yang Terampas dan Yang Putus, Cintaku Jauh di Pulau, dan Suara Malam.  Di antara puisi-puisi Chairil, Aku adalah puisi yang paling dikenal luas oleh masyarakat.  Dalam puisi tersebut kita bisa mengenal karakter Chairil yang keras dan keinginan kuatnya untuk berjuang dan tetap bertahan hidup.  Chairil mengaku “Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang/..Hingga hilang pedih peri/…Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku mau hidup seribu tahun lagi”   Chairil juga merekam peristiwa pembantaian oleh tentara Belanda di Rawagede, Kabupaten Karawang, pada 9 Desember 1947 dalam puisinya Krawang-Bekasi. Dalam puisi ini Chairil menyampaikan pesan dari korban peristiwa pembantaian tersebut “Kami sekarang mayat/Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian/Kenang,kenanglah kami/yang tinggal tulang-tulang diliputi debu/Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi”

Dalam beberapa situs di internet kita bisa menemukan puisi Chairil dengan judul Maju. Namun apabila diamati ternyata puisi tersebut merupakan bagian dari puisi Diponegoro. Dengan kata lain, kemungkinan puisi Diponegoro merupakan pengembangan lebih lanjut dari puisi Maju. Dalam puisi Maju kita juga tidak dapat menemukan secara jelas kaitannya dengan sosok Diponegoro, sehingga puisi tersebut dapat dibaca dan dipahami secara terpisah.

Tidak seperti Rendra atau Taufiq Ismail yang kadang menulis puisi yang sangat panjang, Chairil termasuk penyair yang hemat kata.  Tidak pula seperti Rendra dan Taufiq yang puisinya banyak menyampaikan kritik sosial dan mengkritisi rezim penguasa, Chairil lebih sering berkisah tentang keping-keping pengalaman hidup pribadi yang dihayatinya. Hal tersebut bisa mengerti karena tidak seperti Rendra atau Taufiq, di mata penguasa Chairil bukanlah apa-apa. Maksudnya, pada waktu itu Chairil bukanlah tokoh yang secara aktif terlibat dalam perjuangan melawan Belanda, walaupun secara jelas ia mendukung perjuangan para tokoh pendiri bangsa.  Ia menjadi penyair terkenal karena kemudian H.B. Jasin dan sejumlah pengamat sastra lainnya menemukan keping-keping puisinya yang dimuat di sejumlah media.

         

Kumpulan Puisi

 

1.        A k u  (Semangat)

2.        Krawang-Bekasi

3.        Diponegoro

4.        D o a – Kepada Pemeluk Teguh

5.        Derai Derai Cemara

6.        Yang Terampas dan Yang Putus

7.        Cintaku Jauh di Pulau

8.        Senja di Pelabuhan Kecil  --  Buat Sri Ajati

9.        Malam di Pegunungan

10.    Sajak Putih  --  Buat Tunanganku Mirat

11.    Di Mesjid

12.    I s a  -- Kepada Nasrani Sejati

13.    Rumahku

14.    Penerimaan

15.    Merdeka

16.    Prajurit Penjaga Malam

17.    Persetujuan dengan Bung Karno

18.    Tak Sepadan

19.    Hukum

20.    Taman

21.    Mirat muda, Chairil muda

22.    Lagu Orang Usiran

23.    Buat Nyonya N

24.    Kupu Malam dan Biniku

25.    Penghidupan

26.    Aku Berkisar antara Mereka

27.    Ajakan

28.    Nisan -- untuk Nenekanda

29.    Sorga

30.    Suara Malam

31.    Malam

32.    Sia-Sia

33.    Pelarian

34.    Selamat Tinggal

35.    Hampa – Kepada Sri yang sangsi

36.    Sendiri

37.    Aku Berada Kembali



PUISI KARYA CHAIRIL ANWAR


1. A k u   (Semangat)  *)



Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi


1945


*)  Puisi ini mempunyai dua judul, yaitu “Aku” dan “Semangat”.  Judul aslinya adalah “Aku”, namun pada masa itu lalu diubah oleh Pusat Kebudayaan menjadi “Semangat” untuk menyesuaikan dengan semangat zaman dan supaya lolos sensor.  “Aku” mempunyai interpretasi individualistis, sedangkan “Semangat” mempunyai interpretasi sebagai perjuangan kolektif yang dibutuhkan pada masa itu.






2. Krawang-Bekasi


Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.


Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


1948


3. Diponegoro


Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.


Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditinda(s)

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

1943




4. D o a


Kepada Pemeluk Teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

1943


5. Derai Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah


 1949     



6. Yang Terampas dan Yang Terputus

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949

7. Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak ‘kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu yang bersama ‘kan merapuh!

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

                                                                                1946



8. Senja di Pelabuhan Kecil

Buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.      1946



9. Malam di Pegunungan

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,

Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?

Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

                                                                                                1947



10. Sajak Putih

Buat Tunanganku Mirat

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda


Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita Mati datang tidak membelah…


                                                                                1944

11. Di Mesjid

Kuseru saja Dia


Sehingga datang juga


Kami pun bermuka-muka.


Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.


Segala daya memadamkannya


Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda


Ini ruang

Gelanggang kami berperang


Binasa-membinasa

Satu menista lain gila.

                                                1943


12.I s a

Kepada Nasrani Sejati

Itu tubuh

mengucur darah

mengucur darah

rubuh

patah

mendampar tanya :  aku salah ?


kulihat tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah


terbayang terang di mata masa

bertukar rupa ini segara


mengatup luka

aku bersuka


Itu tubuh

mengucur darah

mengucur darah


                                                                1943


13. Rumahku

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak


Kulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan


Kemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke mana


Rumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak


Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu.


1943




14. Penerimaan

Kalau kau mau kuterima kau kembali

Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi

Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali

Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.


 1943




15. Merdeka

Aku mau bebas dari segala

Merdeka

Juga dari Ida


Pernah

Aku percaya pada sumpah dan cinta

Menjadi sumsum dan darah

Seharian kukunyah-kumamah


Sedang meradang

Segala kurenggut

Ikut bayang


Tapi kini

Hidupku terlalu tenang

Selama tidak antara badai

Kalah menang


Ah! Jiwa yang menggapai-gapai

Mengapa kalau beranjak dari sini

Kucoba dalam mati.


                                      1943





16. Prajurit Penjaga Malam

Waktu jalan.


Aku tidak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan


bintang-bintangnya

kepastian ada di sisiku


selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……

Waktu jalan.


Aku tidak tahu apa nasib waktu!       1948



17. Persetujuan dengan Bung Karno

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

dipanggang diatas apimu, digarami lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

1948





18. Tak Sepadan

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tinggal rangka

1943


19. Hukum

Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jerih memikul. Banyak menangkis pukul

Bungkuk jalannya --  Lesu

Pucat mukanya --  Lesu

Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan Jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling.  Ia begitu kurang tenaga

Pekik di angkasa : Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti !.   1943


20. Taman


Taman punya kita berdua

tak lebar luas, kecil saja

satu tak kehilangan lain dalamnya

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki

Bagi kita itu bukan halangan

Karena

dalam taman punya kita berdua

Kau kembang, aku kumbang

Aku kumbang, kau kembang

Kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia .    

1943









21. Mirat Muda, Chairil Muda


Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah

menatap lama ke dalam pandangnya

coba memisah matanya menantang

yang satu tajam dan jujur yang sebelah

Ketawa diadukan giginya pada mulut Chairil,

dan bertanya : “Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah ?”

Mirat raba urut Chairil, raba dada

Dan tahukah dia kini, bisa katakan

dan tunjukkan dengan pasti di mana

menghidup jiwa, menghembus nyawa

Liang jiwa-nyawa saling berganti.  Dia

rapatkan

Dirinya pada Chairil makin sehati

hilang secepuk segan, hilang secepuk cemas

hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras

menuntut tinggi, tidak setapak berjarak

dengan mati


                                                                                1949 






22. Lagu Orang Usiran *)

Misalkan, kota ini punya penduduk sepuluh juta

Ada yang tinggal dalam gedung, ada yang tinggal dalam gua

Tapi tidak ada tempat buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat

        buat kita


Pernah kita punya negeri, dan terkenang sayu

Lihat dalam peta, akan kau ketemu di situ

Sekarang kita tidak bisa ke situ, sayangku, sekarang kita tidak bisa

       ke situ

Di taman kuburan ada sebatang pohon berdiri

Tumbuh subur saban kali musim semi

Pas jalan lama tidak bisa ditiru, syangku, pas jalan lama tidak bisa ditiru

Tuan konsol hantam meja dan berkata :

“Kalau tidak punya pas jalan, kau resmi tidak ada”

Tapi kita masih hidup saja, sayangku, tapi kita masih hidup saja

Datang pada satu panitia, aku ditawarkan kursi

Dengan hormat aku diminta datang setahun lagi

Tapi ke mana kita pergi malam ini, sayangku, tapi ke mana kita pergi

       ini hari

Tiba di suatu rapat umum, pembicara berdiri dan berkata :

“Jika mereka boleh masuk, mereka colong beras kita”

Dia bicarakan kau dan aku, sayangku, dia bicarakan kau dan aku

Kukira kudengar halilintar di langit membelah

Adalah Hitler di Eropah yang bilang : “Mereka pasti punah”

Ah, kitalah yang dimaksudnya, sayangku, kitalah yang dimaksudnya

Kulihat anjing kecil dalam baju panas terjaga

Kulihat pintu terbuka dan kucing masuk begitu saja

Tapi bukan Yahudi Jerman, sayangku, tapi bukan Yahudi Jerman

Turun ke pelabuhan dan aku berdiri ke tepi

Kelihatan ikan-ikan berenang merdeka sekali

Cuma sepuluh kaki dari aku, sayangku, Cuma sepuluh kaki dari aku


Jalan lalu ke hutan, terlihat burung-burung di pohon

Tidak punya ahli-ahli politik bernyanyi ria mereka di pohon

Mereka bukanlah para manusia, sayangku, mereka bukanlah para-

         manusia


Kumimpi melihat gedung yang bertingkat seribu

Berjendela seribu dan berpintu seribu

Tidak ada satupun kita punya, sayangku, tidak ada satupun kita punya


Berdiri di alun-alun besar ditimpa salju

Sepuluh ribu serdadu berbaris datang dan lalu

Mereka mencari kau dan aku, sayangku, mereka mencari kau dan aku


*)  Diterjemahkan oleh Chairil Anwar, dari karya W.H. Auden dalam Song XXXIII


1949




23. Buat Nyonya N


Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu

dan kini di turun ke rendahan datar

Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu

Burung-burung asing bermain keliling kepalanya

Dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun



Sepanjang jalan dia terkenang akan menjadi Satu

atas puncak tinggi sendiri

berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kematian

Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tahu

Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi

Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-buah pandan ganjil

Turun terus.  Sepi

Datar-lebar-tidak bertepi


                                                                                1949







24. Kupu Malam dan Biniku

 

Sambil berselisih lalu

mengebu debu.


Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang

Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang


Barah ternganga


Melayang ingatan ke biniku

Lautan yang belum terduga

Biar lebih kami tujuh tahun bersatu


Barangkali tak setahuku

Ia menipuk.   

1943



25. Penghidupan

 

Lautan maha dalam

mukul dentur selama

nguji pematang kita

mukul dentur selama

hingga hancur remuk redam

Kurnia Bahagia

kecil setumpuk

sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk

1942


26. Aku Berkisar antara Mereka


Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa

Bertukar rupa dipinggir jalan, aku pakai mata mereka

pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda :

kenyataan-kenyataan yang didapatnya

(bioskop Capitol putar film Amerika

lagu-lagu baru irama mereka berdansa)

Kami pulang tidak kena apa-apa

Sungguhpun ajal macam rupa jadi tetangga

Terkumpul di halte kami tunggu trem dari kota

Yang berderak di malam hari sebagai gigi masa

Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga

Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja

Sedang tahun gempita terus berkata

Hujan menimpa.  Kami tunggu trem dari kota

Ah, hati mati dalam malam ada doa

Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka

Semoga segala sypilis dan segala kusta

(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)

Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama

Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa

Kualami kelam dan mereka dalam hatiku pula

1949


27. Ajakan


Menembus sudah caya

Udara tebal kabut

Kaca hitam lumut

Pecah pencar sekarang

Di luar legah lapang

Mari ria lagi

Tujuh belas tahun kembali

Bersepeda sama gandengan

Kita jalani ini jalan


Ria bahagia

Tak acuh apa-apa

Gembira girang

Biar hujan datang

Kita mandi basahkan diri

Tahu pasti sebentar kering lagi


1943






28. Nisan

 

Untuk Neneknda


Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridhaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu di atas debu

Dan duka maha tuan tak bertahta

                                                                                1942


29. Sorga

Seperti ibu – nenekku juga

tambah tujuh keturunan yang lalu

aku minta pula sampai di sorga

yang kata Masyumi-Muhammadiyah bersungai susu

dan bertabur bidari beribu


Tapi ada suara menimbang dalam diriku

nekat mencemooh :  Bisakah kiranya ?

berkering dari kuyup laut biru

gamitan dari tiap pelabuhan gimana ?

Lagi siapa bisa mengatakan pasti

di situ memang ada bidari

suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Yati ?

1947


30. Suara Malam

Dunia badai dan topan

Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”

Jadi ke mana

untuk damai dan reda

Mati

Barangkali ini diam kaku saja

dengan ketenangan selama bersatu

mengatasi suka dan duka

Kekebalan terhadap debu dan nafsu

Berbaring tak sadar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

jemu dipukul ombak besar


Atau ini


Peleburan dalam Tiada

dan sekali akan menghadapi cahaya

Ya Allah! Badanku terbakar-segala samar

Aku sudah melewati batas

Kembali ?   Pintu tertutup dengan keras


1943


31. Malam

Mulai kelam

belum buntu malam

kami masih berjaga

–Thermopylae?-

- jagal tidak dikenal ? -

tapi nanti

sebelum siang membentang

kami sudah tenggelam hilang

1957



32. Sia-Sia

Penghabisan kali ini kau datang

Membawa kembang berkarang

Mawar merah dan melati putih

Darah dan Suci

Kau tebarkan depanku

Serta pandang yang memastikan : untukmu

Lalu kita sama termangu

Saling bertanya : apakah ini?

Cinta?  Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama Tak hampir-menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi

Mampus kau dikoyak-koyak sepi

1943


33. Pelarian

1. Tak tertahankan lagi

remang miang sengketa di sini

Dalam lari

Dihempaskannya pintu keras tak berhingga


Hancur luluh sepi seketika

Dan paduan dua jiwa


2 .Dari kelam ke malam

Tertawa meringis malam menerimanya

Ini batu baru tercampung dalam gulita


“Mau apa ?  Rayu dan pelupa

Aku ada !  Pilih saja !

Bujuk dibeli ?

Atau sungai sunyi ?

Turut saja !”


Tak kuasa-terengkam

Ia dicengkam malam


                                                                                1943


34. Selamat Tinggal

Aku berkaca

Ini muka penuh luka

Siapa punya?


Kudengar seru menderu

- dalam hatiku? -

Apa hanya angin lalu?


Lagu lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ah…!!

Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal


Selamat tinggal…!!!                         1943


35. Hampa

Kepada Sri yang selalu sangsi

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai ke puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat-mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti                        

    1943




36. Sendiri

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa

Malam apa lagi

Ia memekik ngeri

Dicekik kesunyian kamarnya


Ia membenci. Dirinya dari segala

Yang minta perempuan untuk kawannya


Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga

Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama


Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?

Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!                                         1943


37. Aku Berada Kembali

Aku berada kembali.  Banyak yang asing

Air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang

serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain

rasa laut telah berubah dan dupunya wajah

juga disinari matari lain

Hanya

Kelengangan tinggal tetap saja

Lebih lengang aku dikelok-kelok jalan

lebih lengang pula ketika berada antara

yang mengharap dan yang melepas

Telinga kiri masih berpaling

ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh

1949


Sumber: http://hadialwani.blogspot.com/2013/12/kumpulan-puisi-chairil-anwar.html

http://hadialwani.blogspot.com/2013_12_04_archive.html 


Tidak ada komentar: