Selasa, 16 Agustus 2016

Sejarah dan pengumpulan Alquran

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latarbelakang Masalah
Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur’an tidak dikumpulkan atau dibukunan seperti sekarang. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur’an dimulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf.[1] Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain.[2] Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur’an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau.
Peninggalan Nabi pun hanya mewariskan dokument tulisan dari benda-benda sebagaimana tersebut di atas yang kemudian dipindahkan kepada Khalifah Abu Bakar As-Siddiq yang tidak lengkap. Berangkat dari bayaknya sahabat nabi yang tewas dalam peperangan (dikenal dengan perang yamamah) sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa jumlah penghafal Al-Qur’an yang tewas pada peperangan tersebut mecapai 70 orang. Olehnya itu muncul inisiatif dari Umar bin Khattab untuk membukukan Al-Qur’an, lalu disampaikanlah niatnya itu pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan Al-Qur’an hingga rampung.[3] Dengan demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun Al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.[4] Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan Al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci Al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.
2
 
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa Al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw., namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah saw., melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.[5]
Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan Al-Qur’an adalah sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!.
B.       Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas, maka dapat ditarik suatu permasalahan yaitu mengapa Al-Qur’an baru dibukukan pada masa Khalifah Usman bin Affan yang kemudian dikenal dengan Mushaf Usmani? Dari permasalah di atas, maka dapat dirumuskan sub masalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana Al-Qur’an dikumpulkan untuk dibukukan?
2.      Atas dasar apa pembukuan Al-Qur’an dilakukan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pemeliharaan dan Pengumpulan Al-Qur’an hingga dibukukan.
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman yang diberikan Allah sebagai satu kesatuan kitab sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[6] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.[7]
Penguatan dokumen ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Nabi dilakukan dengan Naskah-naskah yang dituliskan untuk Nabi atas Perintah Nabi, Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing serta Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.[8]
3
 
Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh Jibril (repetisi) sekali setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah diturunkan. Nabi sendiri sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-sahabat itu disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkan bacaan mereka jika ada yang salah.[9]
4
 
Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad,[10] yaitu:
1.      Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2.      Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
3.      ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4.      Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5.      Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6.      Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.
Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar, Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut  adalah Mushaf Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair, Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf Ja’far al-Shadiq.[11]
5
 
Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata selalu ada perbedaan penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya ayat. Salah satu contoh perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh surat yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi adalah surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada dalam al-Itqan.[12] Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal  yang secara rinci memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang ada sebelum Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai 195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan Mushaf. Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal yang gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang serius sehingga pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan.
6
 

B.       Pembukuan Al-Qur’an
Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa pengumpulan (dalam artian usaha atau upaya pemeliharaan) Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. Media pengumpulan Al-Qur’an dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an sebagai suatu kitab yang utuh.[13]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[14] Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri. Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan perbedaan qira’ah tersebut.
7
 
Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang dilakukannya adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius  serta mereka yang terkenal pandai memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan kota, sekaligus memerintahkan pembakaran selain Mushaf  itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf  tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.[15]
Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian melahirkan satu Mushaf  yang satu dan dianggap sempuna. Mushhaf  ini digandakan dan dikirim ke daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara mereka. Sedangkan Mushhaf  yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan kepadanya.
8
 
Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.[16]
Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat.[17] Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata, sebagaimana dikutif  dari karya Syaikh Manna’ Al-Qaththan dengan Judul Pengatar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah saw. Bersabda.[18]
“Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf”
Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja saya melabraknya saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia selesai sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang membacakannya kepadaku. Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu diantaranya”.[19]
9
 
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasian dalam pembacaannya. Berkat usaha Utsman inilah, Alquran yang terwariskan sampai saat ini biasa pula disebut dengan Mushaf Utsmani.
BAB III
PENUTUP
Sebagai catatan penutup tentang sejarah penumpulan atau kodifikasi al-Qur’an ini, poin penting sebagai jawaban atas permasalahan (Rumusan Masalah) tersebu di atas adalah sebagai berikut:
1.      Pengkodifikasian dan penulisan Alquran pada masa Nabi saw terkumpul dalam hapalan dan ingatan, serta catatan yang masih berserakan. Pada masa Abu Bakar, di samping terkumpul dalam hapalan, juga dikumpulkan shahifah-shahifah yang terpisah-pisah. Kemudian pada masa Umar, shahifah-shahifah tersebut ditulis dalam satu mushhaf. Selanjutnya, pada masa ‘Utsman, semua hapalan sahabat dan Mushhaf yang diwariskan oleh Umar, ditata ulang dan dicatat dalam satu dialek qira’ah yang melahirkan suatu Mushhaf disebut dengan Mushhaf Imam.
2.      Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasiaan dalam pembacaannya.
Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Ucapan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Pendekatan dalam Pengkajian Islam  serta teman-teman peserta seminar yang telah mengikuti seminar ini dengan serius, terakhir adalah permohonan maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
10
 

Daftar Pustaka
Adnan Amal, Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. Tahun 2001
Al-Qathnhan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012.
Atang, Abdul Hakim, Methodologi Study Islam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002.
Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo
Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.
Khalid, H.M. Rusdi, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011
Majid, Nurcholish, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000.
Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.).
11
 
Umar, H. Nasaruddin .Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008.


[1] Ensiklopedia Untuk Anak-anak Muslim, Grasindo h. 38
[2] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 18
[3] Ibid h. 21
[4] Atang Abdul Hakim, Methodologi Study Islam, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, h. 76
[5] NurCholish Majid, Islam Agama Peradaban (Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah), Cet. II; Paramadina, Jakarta. 2000. h. 4
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 19 Mei 2012.
[7] H.M. Rusdi Khalid, Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I; Alauddin Universiti Press, Makassar 2011. h. 55
[8] Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. h. 19
[9] Ibid, h. 20
[10] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta. 2001, h. 151
[11] Taufik Adnan Amal, Op Cit, h. 158-159
[13] Departemen Agama Republik Indonesia, Op Cit h. 19
[14] Taufik Adnan Amal, Op Cit, h. 132
[15] Manna’ al-Qaththan Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.), h. 128.
[16] H. Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an), Jakarta, Al-Gazali Centre, Juli 2008. H. 152
[17] Ibid. h. 153
[18] Syaikh Manna’ Al-Qathnhan, Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, Jakarta; Pustaka Al-Kautsar, Pebruari 2012. H. 195
[19] Ibid h. 196

Senin, 15 Agustus 2016

Fiqih Islam Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)

dan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)

Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:

1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:

a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah:6)

b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya :
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)

FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.

3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu’amalah.

4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar’iah.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.

6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.

7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

AL QUR’AN

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :

a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)

b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)

Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Bukhari no.595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)

Wallahu A’lam