Chairil Anwar
CHAIRIL ANWAR
Profil
Chairil Anwar adalah Penyair Indonesia terkenal yang lahir
pada 26 Juli 1922 di Kota Medan, Sumatera Utara. Penyair yang sangat
terkenal dengan karyanya berjudul “Aku” ini meninggal dunia di usia yang masih
cukup muda, tepatnya pada 28 April 1949 di Jakarta.
Chairil Anwar lahir dari pasangan Toeloes yang merupakan
mantan bupati di salah satu kota di Riau, dengan seorang wanita bernama Saleha
yang masih memiliki hubungan kerabat dengan Sutan Sjahrir. Setelah cukup usia,
Chairil Anwar masuk ke sekolah dasar khusus pribumi, yaitu HIS atau Hollandsch
Inlandsche School. Setelah selesai menempuh pendidikan di HIS, ia melanjutkan
ke MULO atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs yang setara dengan SMP. Menurut
beberapa catatan sejarah, Chairil Anwar tidak pernah menyelesaikan
pendidikannya. Namun, dia memiliki jiwa sastra yang sangat tinggi, terbukti
dengan seringnya ia menghabiskan waktu untuk membaca beberapa karya pengarang
internasional yang sangat terkenal. Chairil Anwar pun menguasai beberapa
bahasa, yaitu bahasa Inggris, Belanda, dan juga bahasa Jerman .
Saat Chairil Anwar menginjak usia 20-an, Chairil Anwar
memiliki gaya hidup yang kurang teratur. Hal ini membuat kondisi tubuhnya
menjadi kacau dan sangat lemah, sehingga beberapa penyakit mulai menggerogoti
kesehatannya. Saat usianya hampir menginjak 27 tahun, Chairil Anwar meninggal
dunia karena penyakit TBC yang dideritanya. Ia kemudian dimakamkan di TPU
Karet Bivak dan selalu diziarahi oleh banyak pengagumnya sampai saat ini.
Karya Sastra
Chairil Anwar mulai menyukai dunia sastra sejak usia belasan
tahun. Ia pun sudah mulai menulis syair dan puisi saat usianya masih menginjak
remaja, tapi karya-karya pertamanya tidak pernah ditemukan sampai
sekarang. Karya Chairil Anwar yang dimuat di Majalah Nisan pada tahun
1942 adalah karya yang membuat namanya dikenal banyak orang. Laki-laki yang
sempat bekerja sebagai penyiar radio Jepang yang berpusat di Jakarta ini selalu
menciptakan karya yang bertema kematian. Berikut ini adalah beberapa karya
Chairil Anwar yang sempat ia ciptakan selama masa hidupnya dan yang sudah
dipublikasikan.
1. Aku Ini Binatang Jalang,
merupakan koleksi sajak yang dibuat Chairil Anwar dari taun 1942 sampai tahun
1949.
2. Deru Campur Debu,
karya Chairil Anwar yang diterbitkan dalam sebuah buku pada tahun 1949.
3. Kerikil Tajam dan Yang
Terampas dan Yang Putus, karya Chairil Anwar pada tahun 1949.
4. Tiga Menguak Takdir
, karya ini merupakan kumpulan sajak dan puisi yang dibuat Chairil Anwar
bersama Rivai Apin dan juga Asrul Sani.
Itulah beberapa karya Chairil Anwar yang banyak dikenal oleh
masyarakat, terutama para sastrawan Indonesia. Masih sangat banyak karya
ciptaan penyair yang dinobatkan sebagai pelopor puisi modern Indonesia ini. Tak
hanya dalam bahasa Indonesia, karya Chairil Anwar pun diterjemahkan dalam
bahasa asing. Hal ini membuktikan bahwa karya penyair yang sering dijuluki Si
Binatang Jalang ini memang diakui oleh dunia.
Apresiasi
Puisi
Tiga puluh tujuh puisi yang disajikan di sini hanya
merupakan sebagian dari puisi-puisi Chairil Anwar. Beberapa puisi
terkenal Chairil sengaja disimpan di urutan atas, walaupun urutan tersebut sama
sekali tidak dimaksudkan sebagai daftar peringkat. Penyertaan daftar isi
puisi di sini hanya dimaksudkan untuk memudahkan pembaca untuk mengetahui
puisi-puisi yang tersaji di sini dan agar dapat mengakses puisi yang
dikehendaki dengan lebih cepat.
Sama seperti para penyair lainnya, puisi-puisi Chairil juga
memotret semangat zamannya. Pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan,
dan perang kemerdekaan telah mempengaruhi lahirnya puisi-puisi Chairil Anwar
seperti Aku, Krawang-Bekasi, Diponegoro, dan Prajurit
Jaga Malam. Namun, sama dengan sejumlah penyair lainnya, sebagian
puisi Chairil juga berkisah tentang pengalaman pribadinya, percintaan dengan
kekasihnya dan juga perenungan-perenungan eksistensialnya tentang kehidupan dan
(terlebih lagi) kematian. Puisi-puisi tentang kisah dan renungan
percintaan Chairil dapat dinikmati di Mirat Muda Chairil Muda, Sajak
Putih, Senja di Pelabuhan Kecil, dan Sia-Sia. Sedangkan
puisi-puisinya yang bicara tentang kematian bisa disimak antara lain di Yang
Terampas dan Yang Putus, Cintaku Jauh di Pulau, dan Suara Malam.
Di antara puisi-puisi Chairil, Aku adalah puisi yang paling
dikenal luas oleh masyarakat. Dalam puisi tersebut kita bisa mengenal
karakter Chairil yang keras dan keinginan kuatnya untuk berjuang dan tetap
bertahan hidup. Chairil mengaku “Aku ini binatang jalang/Dari
kumpulannya terbuang/Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang
menerjang/..Hingga hilang pedih peri/…Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku mau
hidup seribu tahun lagi” Chairil juga merekam peristiwa
pembantaian oleh tentara Belanda di Rawagede, Kabupaten Karawang, pada 9
Desember 1947 dalam puisinya Krawang-Bekasi. Dalam puisi ini Chairil
menyampaikan pesan dari korban peristiwa pembantaian tersebut “Kami sekarang
mayat/Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan
impian/Kenang,kenanglah kami/yang tinggal tulang-tulang diliputi debu/Beribu
kami terbaring antara Krawang-Bekasi”
Dalam beberapa situs di internet kita bisa menemukan puisi
Chairil dengan judul Maju. Namun apabila diamati ternyata puisi tersebut
merupakan bagian dari puisi Diponegoro. Dengan kata lain, kemungkinan puisi
Diponegoro merupakan pengembangan lebih lanjut dari puisi Maju. Dalam puisi
Maju kita juga tidak dapat menemukan secara jelas kaitannya dengan sosok
Diponegoro, sehingga puisi tersebut dapat dibaca dan dipahami secara terpisah.
Tidak seperti Rendra atau Taufiq Ismail yang kadang menulis
puisi yang sangat panjang, Chairil termasuk penyair yang hemat kata.
Tidak pula seperti Rendra dan Taufiq yang puisinya banyak menyampaikan kritik
sosial dan mengkritisi rezim penguasa, Chairil lebih sering berkisah tentang
keping-keping pengalaman hidup pribadi yang dihayatinya. Hal tersebut bisa
mengerti karena tidak seperti Rendra atau Taufiq, di mata penguasa Chairil
bukanlah apa-apa. Maksudnya, pada waktu itu Chairil bukanlah tokoh yang secara
aktif terlibat dalam perjuangan melawan Belanda, walaupun secara jelas ia
mendukung perjuangan para tokoh pendiri bangsa. Ia menjadi penyair
terkenal karena kemudian H.B. Jasin dan sejumlah pengamat sastra lainnya
menemukan keping-keping puisinya yang dimuat di sejumlah
media.
Kumpulan Puisi
1.
A k u (Semangat)
2.
Krawang-Bekasi
3.
Diponegoro
4.
D o a – Kepada Pemeluk Teguh
5.
Derai Derai Cemara
6.
Yang Terampas dan Yang Putus
7.
Cintaku Jauh di Pulau
8.
Senja di Pelabuhan Kecil -- Buat Sri Ajati
9.
Malam di Pegunungan
10.
Sajak Putih -- Buat Tunanganku Mirat
11.
Di Mesjid
12.
I s a -- Kepada Nasrani Sejati
13.
Rumahku
14.
Penerimaan
15.
Merdeka
16.
Prajurit Penjaga Malam
17.
Persetujuan dengan Bung Karno
18.
Tak Sepadan
19.
Hukum
20.
Taman
21.
Mirat muda, Chairil muda
22.
Lagu Orang Usiran
23.
Buat Nyonya N
24.
Kupu Malam dan Biniku
25.
Penghidupan
26.
Aku Berkisar antara Mereka
27.
Ajakan
28.
Nisan -- untuk Nenekanda
29.
Sorga
30.
Suara Malam
31.
Malam
32.
Sia-Sia
33.
Pelarian
34.
Selamat Tinggal
35.
Hampa – Kepada Sri yang sangsi
36.
Sendiri
37.
Aku Berada Kembali
1. A k u
(Semangat) *)
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan
itu
Aku ini binatang
jalang
Dari kumpulannya terbuang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus
kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa
berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih
tidak perduli
Aku mau hidup seribu
tahun lagi
1945
*) Puisi ini
mempunyai dua judul, yaitu “Aku” dan “Semangat”. Judul aslinya adalah “Aku”, namun pada masa
itu lalu diubah oleh Pusat Kebudayaan menjadi “Semangat” untuk menyesuaikan
dengan semangat zaman dan supaya lolos sensor.
“Aku” mempunyai interpretasi individualistis, sedangkan “Semangat”
mempunyai interpretasi sebagai perjuangan kolektif yang dibutuhkan pada masa
itu.
2.Krawang-Bekasi
Kami yang kini
terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa
yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma
tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami
melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah
kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah
kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1948
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
1948
3.
Diponegoro
Di masa pembangunan
ini
tuan hidup kembali
tuan hidup kembali
Dan bara kagum
menjadi api
Di depan sekali tuan
menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan,
keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak
bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda(s)
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Binasa di atas ditinda(s)
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Serbu
Serang
Terjang
1943
4. D o a
Kepada Pemeluk Teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di
negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
1943
5. Derai Derai Cemara
Cemara menderai
sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya
bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda
kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
6. Yang Terampas dan Yang Terputus
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
6. Yang Terampas dan Yang Terputus
Kelam dan angin lalu
mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet
(daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam
kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan
sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
1949
7. Cintaku Jauh di Pulau
Cintaku jauh di
pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar,
bulan memancar,
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang,
di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”
Amboi! Jalan sudah
bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di
pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
8. Senja di Pelabuhan Kecil
Buat Sri Ajati
Buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada
yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat
kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku
sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap. 1946
9. Malam di Pegunungan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap. 1946
9. Malam di Pegunungan
Aku berpikir: Bulan
inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
10. Sajak Putih
Buat Tunanganku Mirat
Bersandar pada tari
warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam
dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku,
pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah…
1944
11. Di Mesjid
Kuseru
saja Dia
Sehingga
datang juga
Kami
pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Segala
daya memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
1943
12.I
s a
Kepada Nasrani Sejati
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya
: aku salah ?
kulihat tubuh
mengucur darah
aku berkaca dalam
darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini
segara
mengatup luka
aku bersuka
Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
1943
13. Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
1943
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.
1943
14. Penerimaan
Kalau kau mau
kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap
sendiri
Kutahu kau bukan yang
dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin
aku enggan berbagi.
1943
1943
15. Merdeka
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
1943
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
1943
16. Prajurit Penjaga Malam
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan
bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku
selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu! 1948
Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan
bintang-bintangnya
kepastian ada di sisiku
selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu! 1948
17. Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
1948
18. Tak Sepadan
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
1943
19. Hukum
Saban sore ia lalu
depan rumahku
Dalam baju tebal
abu-abu
Seorang jerih
memikul. Banyak menangkis pukul
Bungkuk jalannya
-- Lesu
Pucat mukanya -- Lesu
Orang menyebut satu
nama jaya
Mengingat kerjanya
dan Jasa
Melecut supaya terus
ini padanya
Tapi mereka
memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa :
Perwira muda
Pagi ini menyinar
lain masa
Nanti, kau
dinanti-dimengerti !. 1943
20.
Taman
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding
permadani
halus lembut dipijak kaki
Bagi kita itu bukan halangan
Karena
dalam taman punya kita berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan
‘nusia .
1943
21.
Mirat Muda, Chairil Muda
Dialah, Miratlah,
ketika mereka rebah
menatap lama ke dalam
pandangnya
coba memisah matanya
menantang
yang satu tajam dan
jujur yang sebelah
Ketawa diadukan
giginya pada mulut Chairil,
dan bertanya :
“Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah ?”
Mirat raba urut
Chairil, raba dada
Dan tahukah dia kini,
bisa katakan
dan tunjukkan dengan
pasti di mana
menghidup jiwa,
menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa
saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil
makin sehati
hilang secepuk segan,
hilang secepuk cemas
hiduplah Mirat dan
Chairil dengan deras
menuntut tinggi,
tidak setapak berjarak
dengan mati
1949
22. Lagu Orang Usiran *)
Misalkan, kota ini
punya penduduk sepuluh juta
Ada yang tinggal
dalam gedung, ada yang tinggal dalam gua
Tapi tidak ada tempat
buat kita, sayangku, tapi tidak ada tempat
buat kita
Pernah kita punya
negeri, dan terkenang sayu
Lihat dalam peta,
akan kau ketemu di situ
Sekarang kita tidak
bisa ke situ, sayangku, sekarang kita tidak bisa
ke situ
Di taman kuburan ada sebatang pohon berdiri
Tumbuh subur saban
kali musim semi
Pas jalan lama tidak
bisa ditiru, syangku, pas jalan lama tidak bisa ditiru
Tuan konsol hantam
meja dan berkata :
“Kalau tidak punya
pas jalan, kau resmi tidak ada”
Tapi kita masih hidup
saja, sayangku, tapi kita masih hidup saja
Datang pada satu
panitia, aku ditawarkan kursi
Dengan hormat aku
diminta datang setahun lagi
Tapi ke mana kita
pergi malam ini, sayangku, tapi ke mana kita pergi
ini hari
Tiba di suatu rapat
umum, pembicara berdiri dan berkata :
“Jika mereka boleh
masuk, mereka colong beras kita”
Dia bicarakan kau dan
aku, sayangku, dia bicarakan kau dan aku
Kukira kudengar
halilintar di langit membelah
Adalah Hitler di
Eropah yang bilang : “Mereka pasti punah”
Ah, kitalah yang
dimaksudnya, sayangku, kitalah yang dimaksudnya
Kulihat anjing kecil
dalam baju panas terjaga
Kulihat pintu terbuka
dan kucing masuk begitu saja
Tapi bukan Yahudi
Jerman, sayangku, tapi bukan Yahudi Jerman
Turun ke pelabuhan
dan aku berdiri ke tepi
Kelihatan ikan-ikan
berenang merdeka sekali
Cuma sepuluh kaki
dari aku, sayangku, Cuma sepuluh kaki dari aku
Jalan lalu ke hutan,
terlihat burung-burung di pohon
Tidak punya ahli-ahli
politik bernyanyi ria mereka di pohon
Mereka bukanlah para
manusia, sayangku, mereka bukanlah para-
manusia
Kumimpi melihat
gedung yang bertingkat seribu
Berjendela seribu dan
berpintu seribu
Tidak ada satupun
kita punya, sayangku, tidak ada satupun kita punya
Berdiri di alun-alun
besar ditimpa salju
Sepuluh ribu serdadu
berbaris datang dan lalu
Mereka mencari kau
dan aku, sayangku, mereka mencari kau dan aku
*) Diterjemahkan oleh Chairil Anwar, dari karya
W.H. Auden dalam Song XXXIII
1949
23.
Buat Nyonya N
Sudah terlampau
puncak pada tahun yang lalu
dan kini di turun ke
rendahan datar
Tiba di puncak dan
dia sungguh tidak tahu
Burung-burung asing
bermain keliling kepalanya
Dan buah-buah hutan
ganjil mencap warna pada gaun
Sepanjang jalan dia
terkenang akan menjadi Satu
atas puncak tinggi
sendiri
berjubah angin, dunia
di bawah dan lebih dekat kematian
Tapi hawa tinggal
hampa, tiba di puncak dia sungguh tahu
Jalan yang dulu tidak
akan dia tempuh lagi
Selanjutnya tidak ada
burung-burung asing, buah-buah pandan ganjil
Turun terus. Sepi
Datar-lebar-tidak
bertepi
1949
24.
Kupu Malam dan Biniku
Sambil berselisih
lalu
mengebu debu.
Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang
Barah ternganga
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
Barangkali tak setahuku
Ia menipuk.
mengebu debu.
Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang
Barah ternganga
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
Barangkali tak setahuku
Ia menipuk.
1943
25. Penghidupan
Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji pematang kita
mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk
1942
26. Aku Berkisar antara Mereka
Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa dipinggir jalan, aku pakai mata mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda :
kenyataan-kenyataan yang didapatnya
(bioskop Capitol putar film Amerika
lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte kami tunggu trem dari kota
Yang berderak di malam hari sebagai gigi masa
Kami, timpang dan pincang, negatip dalam janji juga
Sandarkan tulang belulang pada lampu jalan saja
Sedang tahun gempita terus berkata
Hujan menimpa.
Kami tunggu trem dari kota
Ah, hati mati dalam malam ada doa
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta mereka
Semoga segala sypilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam dan
mereka dalam hatiku pula
1949
27. Ajakan
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di luar legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
Ria bahagia
Tak acuh apa-apa
Gembira girang
Biar hujan datang
Kita mandi basahkan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi
1943
28. Nisan
Untuk
Neneknda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta
Keridhaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu di atas debu
Dan duka maha tuan tak bertahta
1942
29.
Sorga
Seperti ibu – nenekku
juga
tambah tujuh
keturunan yang lalu
aku minta pula sampai
di sorga
yang kata
Masyumi-Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari
beribu
Tapi ada suara
menimbang dalam diriku
nekat mencemooh
: Bisakah kiranya ?
berkering dari kuyup
laut biru
gamitan dari tiap
pelabuhan gimana ?
Lagi siapa bisa
mengatakan pasti
di situ memang ada
bidari
suaranya berat
menelan seperti Nina, punya kerlingnya Yati ?
1947
30. Suara Malam
Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”
Jadi ke mana
untuk damai dan reda
Mati
Barangkali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu
Berbaring tak sadar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar
Atau ini
Peleburan dalam Tiada
dan sekali akan menghadapi cahaya
Ya Allah! Badanku terbakar-segala samar
Aku sudah melewati batas
Kembali ? Pintu
tertutup dengan keras
1943
31. Malam
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
belum buntu malam
kami masih berjaga
–Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
1957
32. Sia-Sia
Penghabisan kali ini kau datang
Membawa kembang
berkarang
Mawar merah dan
melati putih
Darah dan Suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang
memastikan : untukmu
Lalu kita sama
termangu
Saling bertanya :
apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama Tak hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau
dikoyak-koyak sepi
1943
33.
Pelarian
1. Tak tertahankan lagi
remang miang sengketa
di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu
keras tak berhingga
Hancur luluh sepi
seketika
Dan paduan dua jiwa
2 .Dari kelam ke malam
Tertawa meringis
malam menerimanya
Ini batu baru
tercampung dalam gulita
“Mau apa ? Rayu dan pelupa
Aku ada ! Pilih saja !
Bujuk dibeli ?
Atau sungai sunyi ?
Turut saja !”
Tak kuasa-terengkam
Ia dicengkam malam
1943
34.
Selamat Tinggal
Aku berkaca
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
- dalam hatiku? -
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal…!!! 1943
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru menderu
- dalam hatiku? -
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal
Selamat tinggal…!!! 1943
35. Hampa
Kepada Sri yang
selalu sangsi
Sepi di luar. Sepi
menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
1943
36. Sendiri
Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu! 1943
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu! 1943
37. Aku Berada Kembali
Aku berada
kembali. Banyak yang asing
Air mengalir tukar
warna, kapal-kapal, elang-elang
serta mega yang
tersandar pada khatulistiwa lain
rasa laut telah
berubah dan dupunya wajah
juga disinari matari
lain
Hanya
Kelengangan tinggal
tetap saja
Lebih lengang aku
dikelok-kelok jalan
lebih lengang pula
ketika berada antara
yang mengharap dan
yang melepas
Telinga kiri masih
berpaling
ditarik gelisah yang
sebentar-sebentar seterang guruh
9 komentar:
makasih sangat membantu
http://antoksoesanto.blogspot.com/
terima kasih
mantap daftar puisinya
makasih ya
Puisinya Lengkap, aku semua suka ??
Halo salam kenal Hadi,
kebetulan saya juga menulis beberapa kumpulan puisi terutama kumpulan puisi dari Chairil Anwar, sang maestro sajak Indonesia.
Salam sastra!
Kumpulan puisi Chairil Anwar yang sangat lengkap sekali.
Membantu saya dalam mencari kumpulan puisi chairil anwar untuk tugas sekolah.
Thanks. :D
Puisi IBU karya Chairil Anwar itu dalam buku apa ka?
Puisi IBU karya Chairil Anwar itu dalam buku apa ka?
P
Posting Komentar