Sabtu, 01 Februari 2014

Asal-Usul Sunan Gunung Jati




Sebelum era Sunan Gunung Jati berdakwah di Jawa Barat. Ada seorang ulama besar dari Bagdad telah datang di daerah Cirebon bersama duapuluh dua orang muridnya. Ulama besar itu bernama Syekh Kahfi. Ulama inilah yang lebih dahulu menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon.


Al-Kisah, putra Prabu Siliwangi dari Pajajaran bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya Rara Santang pada suatu malam mendapat mimpi yang sama. Mimpi itu terulang hingga tiga kali yaitu bertemu dengan Nabi Muhammad yang mengajarkan agama Islam.
Wajah Nabi Muhammad yang agung dan caranya menerangkan Islam demikian mempersona membuat kedua anak muda itu merasa rindu. Tapi mimpi itu hanya terjadi tiga kali.
Seperti orang kehausan, kedua anak muda itu mereguk air lebih banyak lagi, air yang akan menyejukkan jiwanya itu agama Islam. Kebetulan mereka telah mendengar adanya Syekh Dzatul Kahfi atau lebih muda disebut Syekh Datuk Kahfi yang membuka perguruan Islam di Cirebon. Mereka mengutarakan maksudnya kepada Prabu Siliwangi untuk berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, mereka ingin memperdalam agama Islam seperti ajaran Nabi Muhammad SAW. Tapi keinginan mereka ditolak oleh Prabu Siliwangi.
Pangeran Walangsungsang dan adiknya nekad, keduanya melarikan diri dari istana dan pergi berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Jati. Setelah berguru beberapa lama di Gunung Jati, Pangeran Walangsungsang diperintahkan oleh Syekh Datuk Kahfi untuk membuka hutan di bagian selatan Gunung Jati. Pangeran Walangsungsang adalah seorang pemuda sakti, tugas itu diselesaikannya hanya dalam beberapa hari. Daerah itu dijadikan pendukuhan yang makin hari banyak orang berdatangan menetap dan menjadi pengikut Pangeran Walangsungsang. Setelah daerah itu ramai Pangeran Walangsungsang diangkat sebagai kepala Dukuh dengan gelar Cakrabuana. Daerahnya dinamakan Tegal Alang-alang.
Orang yang menetap di Tegal Alang-alang terdiri dari berbagai rasa atau keturunan, banyak pula pedagang asing yang menjadi penduduk tersebut, sehingga terjadilah pembauran dari berbagai ras dan pencampuran itu dalam bahasa Sunda disebut Caruban. Maka Legal Alang-alang disebut Caruban.
Sebagian besar rakyat Caruban mata pencariannya adalah mencari udang kemudian dibuatnya menjadi petis yang terkenal.
Dalam bahasa Sunda Petis dari air udang itu, Cai Rebon. Daerah Carubanpun kemudian lebih dikenal sebagai Cirebon hingga sekarang ini. Setelah dianggap memenuhi syarat, Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang di perintah Datuk Kahfi untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Di Kota Suci Mekkah, kedua kakak beradik itu tinggal di rumah seorang ulama besar bernama Syekh Bayanillah sambil menambah pengetahuan agama.
Sewaktu mengerjakan tawaf mengelilingi Ka’bah kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang Raja Mesir bernama Sultan Syarif Abdullah yang sama-sama menjalani Ibadah haji. Raja Mesir itu tertarik pada wajah Rarasantang yang mirip mendiang istrinya.
Sesudah ibadah haji diselesaikan Raja Mesir itu melamar Rarasantang pada Syekh Bayanillah. Rarasantang dan Pangeran Cakrabuana tidak keberatan. Maka dilangsungkanlah pernikahan dengan cara Mazhab Syafi’i. Nama Rarasantang kemudian diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari perkawinan itu lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Pangeran Cakrabuana sempat tinggal di Mesir selama tiga tahun. Kemudian pulang ke Jawa dan mendirikan Negeri Caruban Larang. Negeri Caruban Larang adalah perluasan dari daerah Caruban atau Cirebon, pola pemerintahannya menggunakan azas Islami. Istana negeri itu dinamakan sesuai dengan putri Pangeran Cakrabuana yaitu Pakungwati.
Dalam waktu singkat Negeri Caruban Larang telah terkenal ke seluruh Tanah Jawa, terdengar pula oleh Prabu Siliwangi selaku penguasa daerah Jawa Barat. Setelah mengetahui negeri baru tersebut dipimpin putranya sendiri, maka sang Raja tidak keberatan walau hatinya kurang berkenan. Sang Prabu akhirnya juga merestui tampuk pemerintahan putranya, bahkan sang Prabu memberinya gelar Sri Manggana.
Sementara itu dalam usia muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir, tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar didaratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa, ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.
Sumber: http://tokohsejarah.blogspot.com/2009/10/asal-usul-sunan-gunung-jati.html

 

Nabi Isa, Nabi yang masih hidup


 Nabi Isa AS (6 SM - 30 M) Nabi anak Mariam nabi yang masih hidup
 
 
 
P
engaruh Nabi Isa terhadap sejarah kemanusiaan begitu jelas dan begitu besar. Rasanya tak banyak orang yang mempersoalkan apa sebab Nabi Isa berada di tempat hampir teratas dalam daftar buku ini. Malahan, mungkin banyak orang bertanya-tanya kenapa Isa tidak berada di tempat teratas.

Akan halnya kekristenan, tak adalah kiranya masalahnya. Dalam perjalanan sang waktu tak syak lagi agama ini sudah peroleh pemeluk lebih besar dari agama lain yang mana pun juga. Perlu ditegaskan bukanlah perihal pengaruh dari pelbagai agama yang menjadi titik perhitungan di buku ini, melainkan ihwal yang menyangkut pengaruh perorangan. Tidaklah seperti Agama Islam, Agama Nasrani didirikan bukan oleh seorang melainkan dua -- Isa dan St. Paul -- karena itu pengakuan jasa-jasa atas perkembangan agama itu harus dibagi sama antara kedua tokoh itu.
Nabi Isa meletakkan dasar-dasar pokok gagasan etika kekristenan termasuk pandangan spiritual serta ide pokok mengenai tingkah laku.manusia. Sedangkan teologi Kristen dikelola dasar-dasarnya oleh St. Paul. Isa mempersembahkan pesan-pesan spiritual sedangkan St. Paul menambahkannya ke dalam bentuk pemujaan terhadap Isa. Lebih dari itu, St. Paul merupakan penulis bagian-bagian penting Perjanjian Baru dan merupakan penganjur pertama orang-orang agar memeluk Agama Nasrani pada abad pertama lahirnya agama itu.

Isa terhitung berusia muda tatkala "wafat" (lain halnya dengan Buddha atau Muhammad), dan yang ditinggalkannya hanya sejumlah terbatas pengikut. Tatkala Isa mangkat, pengikutnya cuma terdiri dari sejumlah kecil sekte Yahudi. Baru lewat tulisan-tulisan St. Paul dan kegigihan khotbahnya yang tak kenal lelah, sekte kecil itu dirubah menjadi kekuatan dinamis dan merupakan gerakan yang lebih besar, baik terdiri dari orang Yahudi maupun bukan. Dari situlah-akhirnya- tumbuh menjadi salah satu agama besar dunia.

Akibat hal-hal itu sementara orang beranggapan St. Paul-lah dan bukan Isa yang lebih layak dipandang sebagai pendiri Agama Nasrani, karena itu tempatnya dalam daftar urutan buku ini mesti lebih tinggi ketimbang Isa! Biarpun sulit dibayangkan apa wujud kekristenan tanpa St. Paul, tapi sebaliknya juga amatlah jelas: tanpa Nabi Isa, Agama Nasrani tak akan pernah ada samasekali.

Sebaliknya, tampak tak beralasan menganggap Isa bertanggung jawab terhadap semua keadaan seperti penilaian gereja-gereja Kristen serta pribadi-pribadi pemeluk Agama Nasrani kemudian, khusus sejak Isa sendiri tidak setuju dengan sikap-sikap seperti itu. Di antara mereka -misalnya perang agama antar mazhab-mazhab Nasrani, penyembelihan kejam dan pemburuan terhadap orang Yahudi- merupakan kontradiksi dengan sikap dan ajaran Isa. Rasanya tak beralasan menganggap bahwa perbuatan itu disetujui oleh Isa.

Di samping itu walau ilmu pengetahuan modern pertama kali tumbuh di negeri-negeri pemeluk Nasrani di Eropa Barat tapi rasanya tidak kena kalau hal itu dianggap sebagai tanggung jawab Isa. Dengan sendirinya tak seorang pun di antara para pemuka pemeluk Kristen menafsirkan ajaran Isa sebagai suatu seruan untuk melakukan penyelidikan ilmiah terhadap dunia dalam arti fisik. Yang terjadi justru sebaliknya: berbondong-bondongnya masyarakat Romawi memeluk Agama Nasrani mengakibatkan merosotnya baik dasar umum teknologi maupun tingkat umum minat terhadap ilmu pengetahuan.

Bahwa ilmu pengetahuan kebetulan tumbuh di Eropa sebenarnya suatu petunjuk adanya kultur yang diwariskan turun-temurun yang selaras dengan jalan pikiran ilmiah. Ini samasekali tak ada sangkut-pautnya dengan ajaran-ajaran Isa tapi berkat pengaruh rasionalisme Yunani yang jelas tercermin dalam karya-karya Aristoteles dan Euclid. Adalah perlu dicatat timbulnya ilmu pengetahuan modern bukanlah di masa jaya-jayanya kekuasaan gerejani dan kesucian Kristen melainkan pada saat mulai menyingsingnya renaissance, saat tatkala Eropa sedang mencoba memperbaharui warisan sebelum Isa.

Kisah kehidupan Isa jika dikaitkan dengan Perjanjian Baru tentulah sudah tidak asing lagi bagi para pembaca, karena itu bisa membosankan jika dikunyah-kunyah lagi. Tapi, ada juga segi-segi yang masih layak dicatat. Pertama, sebagian terbesar informasi yang kita peroleh tentang kehidupan Isa tidak karu-karuan, simpang-siur tak menentu. Bahkan kita tidak tahu siapa nama aslinya. Besar kemungkinan nama aslinya Yehoshua, sebuah nama umum orang Yahudi (orang Inggris menyebutnya Yoshua). Dan tahun kelahirannya pun tidaklah pasti, walaupun tahun 6 sebelum Masehi dapat dijadikan pegangan.

Bahkan tahun wafatnya pun yang mestinya diketahui dengan jelas oleh para pengikutnya, juga belum bisa dipastikan hingga hari ini. Isa sendiri tidak meninggalkan karya tulisan samasekali, sehingga sebetulnya segala sesuatu mengenai peri kehidupannya berpegang pada penjelasan Perjanjian Baru.

Malangnya, ajaran-ajaran Isa bertentangan satu sama lain dalam banyak pokok masalah. Matthew dan Lukas menyuguhkan versi yang samasekali berbeda mengenai kata-kata akhir yang diucapkan Isa. Kedua versi ini sepintas lalu tampak berasal dari kutipan-kutipan langsung dari Perjanjian Lama.

Sesungguhnya bukanlah barang kebetulan Isa mampu mcngutip dari Perjanjian Lama. Sebab, meskipun Isa pemuka Agama Nasrani, dia sendiri sebetulnya seorang Yahudi yang taat. Sudah sering sekali ditunjukkan bahwa Isa dalam banyak hal teramat mirip dengan nabi-nabi kaum dari Perjanjian Lama dan dia terpengaruh secara mendalam dengan mereka. Seperti halnya nabi-nabi, Isa memiliki pesona personalitas luar biasa yang meninggalkan kesan mendalam dan tak terhapuskan begitu bertemu dengannya. Isa seorang yang mempunyai daya kharisma dalam arti yang sesungguh-sungguhnya .

Berbeda sangat dengan Muhammad yang menggenggam kekuasaan agama dan politik di satu tangan, Isa tidak yunya pengaruh politis di masa hidupnya ataupun di abad berikutnya. (Kedua manusia itu memang punya pengaruh tidak langsung dalam jangka panjang perkembangan politik). Isa menyebar pengaruh sepenuhnya dalam ruang lingkup etika dan merupakan seorang pemimpin spiritual.

Apabila peninggalan Isa semata-rnata dalam kwalitas selaku pemuka spirituaI, tentu saja tepat jika orang mempertanyakan sampai sejauh mana gagasan spiritualnya mempengaruhi dunia. Salah satu sentral ajaran Isa tentu saja Golden Rule-nya. Kini, Golden Rule-nya itu sudah diterima oleh banyak orang, apakah dia itu Nasrani atau bukan sebagai patokan tingkah laku moral. Kita bisa saja berbuat tidak selalu atas dasar patokan itu, tetapi sedikitnya kita mencoba menyelusuri relnya. Jika Isa benar merupakan perumus pertama dari patokan dan petunjuk yang sudah diterima sebagai hampir prinsip yang universal, bisa dipastikan dia layak didudukkan pada urutan pertama daftar ini.

Tapi, fakta menunjukkan yang namanya, Golden Rule itu sebenarnya sudah menjadi patokan yang jadi pegangan Yudaisme, jauh sebetum Isa lahir. Pendeta Hillel, pemuka Yahudi yang hidup satu abad sebelum Masehi secara terang-terangan mengatakan bahwa Golden Rule itu adalah patokan utama Yudaisme.

Hal ini bukan saja diketahui oleh dunia Barat melainkan juga Timur. Filosof Cina Kong Hu-Cu telah mengusulkan konsepsi ini pada tahun 500 sebelum Masehi. Juga kata-kata seperti itu terdapat di dalam Mahabharata, kumpulan puisi Hindu purba. Jadi, kenyataan menunjukkan bahwa filosofi yang terkandung di dalam The Golden Rule diterima oleh hampir tiap kelompok agama besar.

Apakah ini berarti Isa tak punya gagasan etik yang orisinil? Bukan begitu! Pandangan yang bermutu tinggi dan terang benderang di persembahkan dalam Matthew 5:43-44:
Kamu dengar apa yang dikatakan bahwa kamu harus mencintai tetanggamu dan membenci musuhmu. Tapi kukatakan padamu, kasihanilah mereka yang telah mengutukmu, berbuat baiklah kepada mereka yang membencimu, berdoalah buat mereka yang menaruh dendam kepadamu dan menganiayamu.

Dan kalimat sebelumnya berbunyi " ... janganlah melawan kejahatan. Jika mereka tampar pipi kananmu, berikan pipi kirimu juga."
Kini, pendapat ini bukan merupakan bagian dari Yudaisme di masa Isa dan bukan pula jadi bagian pegangan Agama-agama lain. Sudah dapat dipastikan merupakan yang pernah terdengar. Apabila ide ini dianut secara meluas, saya tidak ragu maupun bimbang sedikit pun menempatkan Yesus dalam urutan pertama dalam daftar.

Tapi, kenyataan menunjukkan anutan ide itu tidaklah meluas benar. Malahan, umumnya takkan bisa diterima. Sebagian besar pemeluk Nasrani rnenganggap perintah "Cintailah musuhmu" hanyalah bisa direalisir dalam dunia sempurna, tapi tidak bisa jalan selaku penuntun tingkah laku di dunia tempat kita semua hidup sekarang ini. Umumnya ajaran itu tidak dilaksanakan, dan pula tidak mengharapkan orang lain melakukannya. Kepada anak-anak pun kita tidak memberi ajaran begitu. Ajaran Isa yang paling nyata adalah tetap merupakan semacam ajaran yang bersifat kelompok dan secara mendasar tak liwat anjuran yang teruji lebih dulu.
 

Fakta Unik Adzan


Fakta Unik Mengenai Adzan


 

Setiap hari suara adzan selalu berkumandang, terlebih bagi negara yang mayoritas umatnya beragama Islam. Apabila telah dikumandangkan, wajib hukumnya umat muslim di dunia untuk melaksanakan sholat. Di balik merdunya suara Adzan yang berkumandang, ada keistemewaan tersendiri dari adzan, sehingga bagi muadzin (orang yang menyerukan adzan) sekalipun, Allah telah menjanjikan pahala kepadanya. Dibalik keistemewaannya, adzan juga menyimpan fakta unik.

 

1.   Kalimat penyeru yang mengandung kekuatan dahsyat

      Begitu adzan berkumandang kaum muslim yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah akan segera bergegas ke Masjid menunaikan sholat. Tanpa sadar syaraf akan memerintahkan tubuh untuk segera menunaikan sholat.

 

2.   Banyak non-muslim yang menjemput hidayah setelah mendengar adzan

Banyak kisah perjalanan hidup kaum mualaf hingga akhirnya menemukan hidayah yang seringkali menyentuh nurani. Berbagai sebab mereka akhirnya masuk Islam. Salah satu sebab yang sering terjadi adalah suara adzan yang didengar mereka.

 

3.   Perintah adzan datang melalui mimpi

Pada awalnya Rasulullah SAW tidak tahu dengan cara yang digunakan untuk mengingatkan umat muslim bila waktu sholat tiba. Ada sahabat yang menyampaikan usul untuk mengibarkan bendera, menyalakan api diatas bukit, meniup terompet, dan membunyikan lonceng. Semua saran itu dianggap kurang cocok. Hingga datanglah sahabat, Abdullah bin Zaid yang bercerita jika dia mimpi bertemu dengan seseorang yang memberitahunya untuk mengumandangkan adzan dengan menyerukan lafaz-lafaz adzan seperti saat ini. Lalu dikabarkanlah perihal mimpi ini kepada Rasulullah. Umar bi Khathab mendengar hal itu dan ternyata dia juga mengalami mimpi yang sama. "Demi Tuhan yang mengutusmu dengan Hak, ya Rasulullah, aku benar-benar melihat seperti yang ia lihat (didalam mimpi)."

Rasulullah menyetujui untuk menggunakan lafaz-lafaz adzan itu sebagai tanda waktu sholat tiba.

 

4.   Dikumandangkan saat peristiwa-peristiwa bersejarah

Selain digunakan untuk menandakan waktu sholat tiba, adzan juga dikumandangkan pada momen-momen penting dan bersejarah. Misalnya ketika seorang bayi lahir. Peristiwa lain, ketika Konstantinopel jatuh ke tangan pasukan Ottoman yang mengakhiri kekaisaran Romawi Timur, beberapa perajurit Ottoman masuk ke dalam lalu mengumandangkan adzan sebagai tanda kemenangan.

 

5.   Miliaran kali dikumandangkan sejak 14 abad lalu

Adzan dikumandangkan 5 kali sehari. Semenjak adzan pertama kali dikumandangkan 14 abad lalu hingga saat ini, tak dapat dihitung berapa juta kali adzan telah berkumandang.
Anggaplah setahun 356 hari. Jika 14 abab adalah 1400 tahun, maka 1400 tahun x 356 hari = 511000 hari. Dalam satu hari, adzan 5 kali dikumandangkan. Sehingga sedikitnya adzan telah dikumdangkan 2.555.000 kali. Jika dalam satu hari ada 1 juta muslim di dunia yang mengumandangkan adzan, jadi adzan telah dikumandangkan sebanyak 2.555.000.000.000 kali. Subhanallah.. Sumber : Fakta Unik Mengenai Adzan

Fakta Seputar Adzan



Hampir setiap hari suara azan terdengar, apalagi bagi yang tinggal di negara muslim. Azan merupakan seruan bagi umat Muslim untuk menunaikan salat. Apabila azan telah berkumandang, maka sebagian besar umat muslim datang ke masjid-masjid terdekat untuk menunaikan salat. Azan memiliki keistemawaan sehingga bagi orang yang menyerukan azan sekalipun, Allah telah menjanjikan pahala kepadanya.

Disyariatkan adzan dan iqamah ini berdasarkan nash syariat, di antaranya kisah Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khaththab, sebagaimana tersebut dalam hadits Abdullah bin Zaid yang telah kami jelaskan di depan, dan merupakan ijma’ untuk shalat lima waktu.

Imam An Nawawi mengatakan: “Adzan dan iqamah disyariatkan berdasarkan nash-nash syariat dan Ijma’. Dan tidak disyariatkan (adzan dan iqamah ini) pada selain shalat lima waktu, tidak ada perselisihan (dalam masalah ini)”.[1]

Awal disyariatkannya terjadi pada tahun pertama hijriyah. Tersebut di dalam hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِي بِالصَّلاَةِ فَقَالَ رَسُولُ الهَِn يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ

Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu memperkirakan waktu shalat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka berkata “gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara”. Dan sebagian menyatakan “gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi”. Maka Umar berkata: “Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat?” Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Wahai, Bilal. Bangun dan serulah untuk shalat.” [2]

Imam Asy Syaukani menyatakan, inilah yang paling shahih dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan awal waktu disyariatkan adzan [3]. Hal ini juga yang dirajihkan Imam Ibnu Hajar.[4]

Adapun hukumnya, para ulama berselisih dalam beberapa pendapat. Yang mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut, ialah pendapat yang mewajibkannya, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits :

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا قَالَ ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَصَلُّوا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ رواه البخاري

Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga, maka Beliau berkata : “Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, dan ajarilah mereka (agama Islam) serta shalatlah kalian. Apabila datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian beradzan. Dan orang yang paling dituakan mengimami shalat kalian”.[5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لاَ يُؤَذَّنُ وَلاَ تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلاَةُ إِلاَّ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ رواه أحمد

Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.[6]

Demikian pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Al Utsaimin[7] dan Syaikh Al Albani.

Syaikh Al Albani mengatakan : “Sungguh, pendapat yang menyatakan adzan hanyalah Sunnah jelas merupakan kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia termasuk syi’ar Islam terbesar, yang jika Nabi n tidak mendengarnya di negeri suatu kaum yang akan Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi mereka. Jika mendengar adzan pada mereka, Beliau menahan diri, sebagaimana telah diriwayatkan dalam Shahihain dan selainnya. Dan perintah adzan sudah ada dalam hadits shahih lainnya. Padahal hukum wajib dapat ditetapkan dengan dalil yang lebih rendah dari ini. Maka yang benar, adzan adalah fardhu kifayah, sebagaimana dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa (1/67-68 dan 4/20). Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian”. [8]

Bahkan Syaikhul Islam menegaskan hukum ini dengan pernyataannya : “Yang benar, adzan itu fardhu kifayah”.[9]

Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : "Kami tidak mengetahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan iqamah (ini) memiliki hujjah. Seandainya Rasulullah tidak menghalalkan darah dan harta suatu kaum yang Beliau tengarai dengan tidak adanya adzan pada mereka, tentulah cukup untuk mewajibkannya”.[10]

HUKUM-HUKUM SEPUTAR ADZAN
Ada beberapa permasalahan seputar adzan yang cukup penting diketahui, di antaranya:

1. Disunnahkan beradzan dalam keadaan berdiri.
Ibnu Al Mundzir berkata: “Para ulama yang saya hafal, (mereka) sepakat, bahwa sunnah beradzan dengan berdiri” [11]. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Bilal dalam hadits Abu Qatadah:

إِنَّ الهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلاَلُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلاَةِ

Sesungguhnya Allah mencabut ruh-ruh kalian kapan (Dia) suka, dan mengembalikannya kapan (Dia) suka. Wahai, Bilal! Bangun dan beradzanlah untuk shalat. [HR Al Bukhari].

Juga disunnahkan menghadap kiblat [12]. Syaikh Al Albani menyatakan: “Telah shahih dalil menghadap kiblat dalam adzan dari malaikat, sebagaimana yang dilihat Abdullah bin Zaid Al Anshari dalam mimpinya”. [13]

2. Disunnahkan beradzan di tempat yang tinggi, agar lebih keras terdengar dalam menyampaikan adzan [14]. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits seorang wanita dari Bani Najjar yang menyatakan:

كَانَ بَيْتِي مِنْ أَطْوَلِ بَيْتٍ حَوْلَ الْمَسْجِدِ وَكَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ عَلَيْهِ الْفَجْرَ

Rumahku, dahuku termasuk rumah yang tertinggi di sekitar masjid (nabawi), dan Bilal, dulu beradzan fajar di atas rumah tersebut. [HR Abu Dawud dan dihasankan Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil, hadits no. 229, hlm. 1/246].

3. Muadzin disunnahkan memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri pada hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), berdasarkan hadits Abu Juhaifah yang berbunyi:

أَنَّهُ رَأَى بِلَالاً يُؤَذِّنُ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا بِاْلأَذَانِ

Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan, lalu aku melihat mulutnya disana dan disini mengucapkan adzan. [HR Al Bukhari].

Dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:

فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا يَقُولُ يَمِينًا وَشِمَالاً يَقُولُ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini, yaitu ke kanan dan ke kiri mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala al falah.

Imam An Nawawi menjelaskan, disunnahkan memalingkan wajah dalam hai’alatain ke kanan dan ke kiri. Dalam tata cara memalingkan wajah, yang mustahab ada tiga cara, yaitu :

Pertama. Ini yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan sejumlah ahli Khurasan (dalam madzhab Syafi’i), bahwa memalingkan ke kanan dengan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, hayya ‘ala ash shalat, kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, hayya ‘ala al falah.

Kedua. Berpaling ke kanan dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat, kemudian kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kanan lagi dan mengucapkan hayya ‘ala ash shalat. Kemudian berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ‘ala al falah, lalu kembali menghadap kiblat, kemudian berpaling ke kiri lagi dan mengucapkan hayya ‘ala al falah.

Ketiga. Pendapat Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ‘ala ash shalat satu kali berpaling kekanan, dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian mengucapkan hayya ‘ala al falah satu kali berpaling ke kanan dan satu kali berpaling ke kiri.[15]

4. Disunahkan meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits Abu Juhaifah dengan lafadz:

رَأَيْتُ بِلاَلاً يُؤَذِّنُُ وَيُتْبِعُ فَاهُ هَا هُنَا وَهَا هُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ وَرَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قُبَّةٍ لَهُ حَمْرَاءَ أُرَاهُ

Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke sana dan ke sini serta kedua jarinya di telinganya. [HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkannya di dalam Irwa’ Al Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].

Setelah menyampaikan hadits ini, Imam At Tirmidzi berkata: “Inilah yang diamalkan para ulama. Mereka mensunnahkan seorang muadzin memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya dalam adzan. Dan sebagian ulama menyatakan juga, di dalam iqamat memasukkan kedua jemarinya ke kedua telinganya. Demikian ini pendapat Al ‘Auza’i”.[16]

5. Disunnahkan mengeraskan suara dalam adzan [17], berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR Al Bukhari].

HUKUM MENDENGAR DAN MENJAWAB ADZAN DAN IQAMAT
Para ulama terbagi dalam dua pendapat berbeda berkaitan dengan hukum mendengar dan menjawab adzan.

1. Hukumnya wajib.
Demikian ini pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb. Dalil yang dibawakan ialah hadits Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الهِl صَلَّى الهُy عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin”. (Muttafaqun ‘alaihi) [18].

Dalam hadits ini terdapat perintah menjawab adzan, dan perintah, pada asalnya menunjukkan wajib.

2. Hukumnya sunnah.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama [19]. Mereka menyatakan, bahwa hadits Abu Sa’id di atas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan hadits ‘Aisyah yang berbunyi :

أَنَّ رَسُولَ الهِa صَلَّى الهُn عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَتَشَهَّدُ قَالَ وَأَنَا وَأَنَا

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika mendengar muadzin membaca syahadat, maka Beliau berkata “dan aku dan aku”. [HR Abu Dawud].

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjawab adzan secara sempurna. Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik :

كَانَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ وَكَانَ يَسْتَمِعُ اْلأَذَانَ فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا أَمْسَكَ وَإِلاَّ أَغَارَ فَسَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ الهُع أَكْبَرُ الهَُ أَكْبَرُ فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُق عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْفِطْرَةِ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُل فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى الهُّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتَ مِنْ النَّارِ

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerang (suatu kaum) ketika terbit fajar. Dan Beliau memperhatikan adzan. Apabila Beliau mendengar, maka Beliau menahan. Dan bila tidak (mendengar), maka Beliau menyerang. Lalu Rasulullah mendengar seseorang berkata: (
الهُ أَكْبَرُ الهُُ أَكْبَرُ ), maka Beliau menjawab: “Di atas fithrah” (عَلَى الْفِطْرَةِ ), kemudian ia (seseorang itu) mengatakan:
(
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الهُا أَشْهَدُ ) dan Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Engkau telah keluar dari neraka”. [HR Muslim].

Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan, ada sebagian riwayat berkaitan dengan hadits ini yang menunjukkakan, bahwa hal ini terjadi ketika waktu akan shalat [20]. Hal ini juga didukung oleh amalan kaum mualimin pada zaman Umar, sebagaimana disampaikan Tsa’labah bin Abi Malik :

كَانُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ عُمَرُ جَالِسٌ عَلَى الْمِنْبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ عُمَرُ فَلَمْ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ

Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari Jum’at dan Umar duduk di atas mimbar. Jika muadzin selesai adzan, maka Umar bangun dan tak seorangpun berbicara. [HR Asy Syafi’i dalam Al Um, dan dishahihkan An Nawawi, sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 339].

Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih, sebagai berikut:

أَدْرَكْتُ عُمَرَ وَ عُثْمَانَ فَكَانَ الإِمَامُ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ تَرَكْنَا الصَّلاَةَ فَإِذَا تَكَلَّمنَا تَرَكْنَا الْكَلاَمَ

Aku menjumpai Umar dan Utsman; jika seorang imam keluar (menuju masjid), maka kami meninggalkan shalat, dan bila berbicara (berkhutbah), maka kami meninggalkan perbincangan. [HR Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan Al Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 340].

Pendapat ini yang dirajihkan Syaikh Al Albani [21] dan Syaikh Masyhur Salman.

Syaikh Al Albani mengatakan: Dalam atsar ini, terdapat dalil yang menunjukkan tidak wajibnya menjawab (seruan) muadzin, karena pada zaman Umar terjadi amalan berbincang-bincang ketika adzan, dan Umar diam. Saya banyak ditanya tentang dalil yang memalingkan perintah yang menunjukkan kewajiban menjawab adzan. Maka saya menjawab dengan atsar ini. Demikian juga iqamat, dalam hal ini sama hukumnya dengan adzan, sebagaimana dinyatakan Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta, dalam pernyataan mereka yang berbunyi “termasuk sunnah seorang yang mendengar iqamat menjawab seperti ucapan muqim (orang yang beriqamah); karena iqamat merupakan adzan kedua, sehingga dijawab seperti dijawabnya adzan [22]. Wallahu a’lam.

MENJAWAB ADZAN DALAM KEADAAN SHALAT
Berdasarkan hukum di atas, maka muncullah permasalahan lainnya, yaitu bagaimana hukum seseorang yang sedang shalat mendengar adzan, apakah perlu menjawab ataukah tidak? Dalam hal ini terdapat tiga pendapat ulama:

1. Wajib menjawab adzan walaupun dalam shalat, kecuali ucapan hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain). Demikian pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Hazm.

Ibnu Hazm berkata: “Barangsiapa mendengar muadzin, maka jawablah sebagaimana yang diucapkan muadzin sama persis dari awal adzan sampai akhirnya. Baik ia berada di luar shalat atau di dalam shalat. Baik shalat wajib ataupun sunnah. Kecuali hayya ‘ala ash shalat dan hayya ‘ala al falah (hai’alatain), maka tidak diucapkan dalam shalat, dan diucapkan di luar shalat”.
Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Amru dan Abu Sa’id Al Khudri yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الهِi صَلَّى الهُu عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Jika kalian mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin. [Muttafaqun ‘alaihi].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mengkhusukan hal itu dalam shalat atau di luar. Sedangkan hai’latain merupakan ucapan manusia yang mengajak kepada shalat. Adzan seluruhnya adalah dzikir, dan shalat adalah tempat berdzikir”.[23]

2. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan shalat.
Demikian ini pendapat mayoritas ulama (jumhur), dengan berdalil hadits Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi:

كُنَّا نُسَلِّمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الهُ) عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ فَيَرُدُّ عَلَيْنَا فَلَمَّا رَجَعْنَا مِنْ عِنْدِ النَّجَاشِيِّ سَلَّمْنَا عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً

Kami, dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan Beliau shalat dan Beliau membalasnya. Ketika kami kembali dari negeri Najasi, kami memberi salam kepada Beliau dan (Beliau) tidak menjawab salam kami dan berkata: “Sesungguhnya dalam shalat adalah satu kesibukan”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Hadits ini, menurut jumhur menunjukkan makruhnya menjawab salam yang hukumnya wajib, lalu bagaimana dengan adzan yang hukum menjawabnya saja sunnah? Terlebih lagi dalam shalat, seseorang sedang sibuk bermunajah kepada Allah, sehingga menjawab adzan dapat merusak kekhususan tersebut.

3. Menjawab adzan pada shalat sunnah dan tidak menjawab dalam shalat fardhu.
Demikian salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.

Adapun menurut penulis, dalam hal ini cenderung menguatkan pendapat jumhur, berdasarkan sunnahnya menjawab adzan yang telah dikemukan di atas. Wallahu a’lam.

DISYARIATKAN MEMBACA SHALAWAT DAN DOA SETELAH ADZAN
Sebagaimana telah diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amru yang berbunyi:

عَنْ عَبْدِ الهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى الهُd عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى الهُي عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا الهَو لِي الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ الهِر وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian mendengar muadzin, maka jawablah seperti apa yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku, karena barangsiapa yang bershalawat untukku, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku al wasilah, karena ia adalah satu kedudukan di surga yang tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba Allah; dan aku berharap, (bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan untukku al wasilah, maka akan mendapat syafaatku. [HR Muslim].

Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ الهِs صَلَّى الهُc عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang ketika (selesai) mendengar adzan berkata:

اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ

Maka mendapatkan syafaatku pada hari kiamat. [HR Al Bukhari].

selain itu , adzan juga menyimpan fakta unik.


1. Kalimat penyeru yang mengandung kekuatan dahsyat

Begitu azan berkumandang, kaum muslim yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah akan segera bergegas ke masjid menunaikan salat. Tanpa sadar syaraf akan memerintahkan tubuh untuk segera menunaikan salat.

Simpul-simpul kesadaran psiko-religius dalam otak umat muslim mendadak bergetar hebat, terhubung secara simultan, dan dengan totalitas kesadaran seorang hamba (abdi). Seakan suara khas azan telah tertanam dalam alam bawah sadar setiap muslim. Sehingga ketika mendengarnya, indra-indra tubuh mereka lalu bergerak untuk salat. Suara azan seakan telah menyentuh fitrahnya untuk beribadah.


2. Banyak non-muslim yang menjemput hidayah setelah mendengar azan

Banyak kisah perjalanan hidup kaum mualaf hingga akhirnya menemukan hidayah yang seringkali menyentuh nurani. Berbagai sebab mereka akhirnya masuk Islam. Salah satu sebab yang sering terjadi adalah suara azan yang didengar mereka, telah menggetarkan hari dan kesadaran terdalam untuk mengucap syahadat. Seakan fitrah Islam dalam diri mereka terbangkitkan melalui alunan azan itu.

Kementerian Urusan Agama Turki pernah melansir sedikitnya 634 orang telah masuk Islam selama tahun 2011, termasuk 467 wanita, yang berusia rata-rata 30 sampai 35 tahun, dan berasal dari kebangsaan yang berbeda mulai dari Jerman, Maldiva, Belanda, Perancis, Cina, Brasil, AS, Rumania dan Estonia. Mereka adalah turis-turis yang tengah melancong ke Turki.

Di kota Kayseri Turki sendiri, sedikitnya 14 orang telah masuk islam selama empat tahun terakhir, termasuk 10 wanita. Grand Mufti kota Kayseri, Syaikh Ali Marasyalijil menyebutkan umumnya mereka masuk Islam setelah tersentuh mendengar alunan azan.

Rapper papan atas Amerika Serikat, Chauncey L Hawkins yang populer disapa Loon bahkan mengakui masuk Islam setelah mendengar suara azan saat dirinya tengah berkunjung ke Abu Dhabi, Dubai.

Masih banyak lagi kisah menyentuh mualaf yang masuk Islam setelah mendengar alunan kumandang azan.
(baca berita terkait ini :
Banyak Turis di Turki Masuk Islam karena mendengar lantunan Adzan)




3.Dikumandangkan saat peristiwa-peristiwa bersejarah

Selain digunakan untuk menandakan waktu salat tiba, azan juga dikumandangkan pada momen-memen penting dan bersejarah. Misalnya ketika seorang bayi lahir. Selain itu, saat peristiwa penting dalam Islam terjadi, azan juga berkumandang. Ketika pasukan Rasulullah berhasil menguasai Makkah dan berhala-berhala di sekitar ka'bah dihancurkan, Bilal bin Rabbah mengumandangkan azan dari atas Ka’bah.

Peristiwa lain, ketika Konstantinopel jatuh ke tangan pasukan Ottoman yang mengakhiri Kekaisaran Romawi Timur, beberapa perajurit Ottoman masuk ke dalam lalu mengumandangkan azan sebagai tanda kemenangan mereka.


4. Miliaran kali dikumandangkan sejak 14 abad lalu

Adzan dikumandangkan 5 kali sehari. Semenjak azan pertama kali dikumandangkan 14 abad lalu hingga saat ini, tak dapat dihitung berapa juta kali azan telah berkumandang.

Anggaplah setahun 356 hari. Jika 14 abad adalah 1400 tahun, maka 1400 tahun x 356 hari = 511000 hari. Dalam satu hari, azan 5x dikumandangkan. Sehingga sedikitnya azan telah dikumandangkan 2.555.000 kali. Jika dalam satu hari ada 1 juta muslim di dunia yang mengumandangkan azan, jadi azan telah dikumandangkan sebanyak 2.555.000.000.000 kali. Subhanallah!


5. Tak henti dikumandangkan

Bumi berbentuk bulat. Ini menyebabkan terjadi perbedaan waktu solat pada setiap daerah. Ketika adzan telah selesai berkumandang di satu daerah, maka selanjutnya adzan berkumandang di daerah lain.

Satu jam setelah azan selesai di Sulawesi, maka azan segera bergema di Jakarta, disusul pula Sumatera. Dan azan belum berakhir di Indonesia, maka ia sudah dimulai di Malaysia. Burma adalah di baris berikutnya, dan dalam waktu beberapa jam dari Jakarta, maka azan mencapai Dacca, ibukota Bangladesh. Dan begitu azan berakhir di Bangladesh, maka ia ia telah dikumandangkan di barat India, dari Kalkuta ke Srinagar. Kemudian terus menuju Bombay dan seluruh kawasan India.

Srinagar dan Sialkot (sebuah kota di Pakistan utara) memiliki waktu azan yang sama. Perbedaan waktu antara Sialkot, Kota, Karachi dan Gowadar (kota di Baluchistan, sebuah provinsi di Pakistan) adalah empat puluh menit, dan dalam waktu ini, azan Fajar telah terdengar di Pakistan. Sebelum berakhir di sana, ia telah dimulai di Afghanistan dan Muscat. Perbedaan waktu antara Muscat dan Baghdad adalah satu jam. Azan kembali terdengar selama satu jam di wilayah Hijaz al-Muqaddas (Makkah dan Madinah), Yaman, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Irak.

Perbedaan waktu antara Bagdad dan Iskandariyah di Mesir adalah satu jam. Azan terus bergema di Siria, Mesir, Somalia dan Sudan selama jam tersebut. Iskandariyah dan Istanbul terletak di bujur geografis yang sama. Perbedaan waktu antara timur dan barat Turki adalah satu setengah jam, dan pada saat ini seruan shalat dikumandangkan.

Iskandariyah dan Tripoli (ibukota Libya) terletak di lokasi waktu yang sama. Proses panggilan azan sehingga terus berlangsung melalui seluruh kawasan Afrika. Oleh karena itu, kumandang keesaan Allah dan kenabian Muhammad saw yang dimulai dari bagian timur pulau Indonesia itu tiba di pantai timur Samudera Atlantik setelah sembilan setengah jam.

Sebelum azan mencapai pantai Atlantik, kumandang azan Zhuhur telah dimulai di kawasan timur Indonesia, dan sebelum mencapai Dacca, azan Ashar telah dimulai. Dan begitu azan mencapai Jakarta setelah kira-kira satu setengah jam kemudian, maka waktu Maghrib menyusul.

Begitu seterusnya azan terus berkumandang di bumi dan tidak pernah berhenti hingga kiamat terjadi[
detik]