PERITIWA POLITIK DAN EKONOMI PASCA KEDAULATAN
Oleh : - Alek Alpian
Fina Fitrianisa
Hadi Alwani
Hendrawan
Maulida Nurhasanah
Wiwi Widiani
Kelas IX B
PEMERINTAH KABUPATEN SUBANG
DINAS PENDIDIKAN
SMP NEGERI 1 BINONG
Jln. Raya Binong No. 125 Binong – Subang
2014-2015
PENGESAHAN
Karya tulis
berjudul Peristiwa
Politik dan Ekonomi pasca kedaulatan telah disetujui dan disahkan oleh guru pembimbing pada :
Hari : Rabu
Tanggal :
22, Oktober 2014
Pembimbing
Drs. Alik Rosadi
NIP. 19640522 199601 1 002
Mengetahui
Wali Kelas IX B
Dra. Yusnidar Chaniago
NIP. 19610101 199802 2 001
PERSEMBAHAN
Puji syukur
atas segala rahmat dan karunia yang telah Tuhan berikan kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Dengan selesainya karya tulis ini,
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
membimbing penulis. Karya tulis Ini Penulis persembahkan kepada :
1.
Bapak Dr. Koeslita
M.Pd Selaku Kepala
Sekolah SMP Negeri 1 Binong
2. Bapak dan
Ibu Guru serta staf Tata Usaha SMP Negeri 1 Binong yang telah memberikan bimbingan kepada
penulis.
3. Ibu Dra.Yusnidar Chaniago Selaku wali kelas IX B yang telah
membimbing dan
memberi nasehat kepada
Penulis
4. Bapak Drs. Alik Rosadi
Selaku pembimbing yang telang membingbing penulis dalam
pembuatan karya tulis ini.
5. Ayah dan Ibu
Tercinta yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
6. Teman-teman Kelas IX B dan adik kelas
VIII & kelas VII yang telah memberikan saran-saran
konstruktifnya.
7. Pihak-pihak
lain yang telah membantu penyelesaian laporan ini.
MOTTO
1. Hari ini
setidaknya sedikit lebih baik dari hari kemarin. ( penulis)
2. Berbuat Sedikit lebih baik dari pada hanya bicara.
(penulis)
3. Mengoreksi diri adalah modal sebuah tindakan ( LKS
Sosiologi)
4. Jangan pernah menganggap belajar
sebagai suatu kewajiban, tetapi anggaplah belajar sebagai suatu kesempatan yang
menyenangkan untuk membebaskan diri dalam mempelajari keindahan alam dan
kehidupan. Belajar adalah untuk kebahagiaanmu sendiri dan akan memberikan
keuntungan bagi masyarakat
tempatmu bekerja nanti. (Albert Einstein)
5. Ilmu pengetahuan
tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu pengetahuan adalah lumpuh (HR Muslim)
6. Berani mengakui
kesalahan, bertanggung jawab dan memperbaiki untuk lebih baik (Freedison)
7. Orang yang gampang
bersedih akan sukar mencapai apa yang dicita-citakan. (Mahatma Gandhi)
8. Bersakit-sakit dahulu
bersenang-senang kemudian. (penulis)
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah melimpahkan Rahmat dan karunianya kepada Penuls sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Laporan ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas Harian
dalam rangka
untuk menambah wawasan siswa SMP Negeri 1 Binong tahun
pelajaran 2014/2015. Dalam laporan
ini termuat Peristiwa
Politik Dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah mendukung tersusunya karya tulis ini. Dan semoga
Karya Tulis ini mendapat tanggapan yang positif dari pembaca. Karya tulis ini
disusun secara intensif dan pemaparan yang terdapat di dalamnya dirasa cukup
jelas dan lengkap. Namun Penulis menyadari bahwa karya tulis ini belumlah
sempurna. Kritik dan saran konstruktif sangat penulis harapkan untuk menuju
kearah kesempurnaan itu. Harapan penulis semoga karya tulis ini dapat bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai khasanah ilmu
pengetahuan bagi kita semua.
Binong, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
...............................................................................i
PENGESAHAN
....................................................................................ii
PERSEMBAHAN
.................................................................................iii
MOTTO
...............................................................................................iv
KATA PENGANTAR ............................................................................v
DAFTAR ISI ........................................................................................vi
KERANGKA BERFIKIR
......................................................................vii
BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………
1.1 Latar
Belakang..............................................................................1
1.2 Dasar
penulisan.............................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan ..........................................................................1
1.4 Metode Pengumpulan
Data...........................................................1
PEMBAHASAN
……………………………………………………….
BAB 2 PERISTIWA POLITIK PASCA
KEDAULATAN
2.1 Terbentuknya RIS
................................................................... 2.
2.2 Kembali ke NKRI.
...................................................................17
2.2.1 Faktor-faktor pendorong.................................................................................................18
2.2.2 Langkah-langkah
menuju ke Negara kesatuan ..............................................................21
2.3
Masa Demokrasi Liberal.........................................................22
2.3.1
Ketidaksetabilan pemerintah akibat persaingan Antar partai
politik................................22
2.3.2 Ciri
Utama Masa Demokrasi Liberal ...............................................................................22
2.3.3 Penanggulangan
keamanan Di berbagai daerah............................................................33
2.4 Peristiwa yang terjadi pada pemilu
1955................................64
2.4.1 Pelaksanaan
Pemilu........................................................................................................66
2.5 Konferensi
Asia Afrika.............................................................68
2.5.1 Lahirnya
Ide Konferensi..................................................................................................69
2.5.2 Usaha-usaha
persiapan konferensi.................................................................................71
2.5.3 Tujuan
Konferensi.............................................................…………................................72
2.5.4 Peserta dan Waktu
Konferensi.........................…………………………………………..…72
2.5.5 Struktur Organisasi panitia
pelaksana............…………………………………..................73
2.5.6 Pelaksanaan Konferensi
....................................…………………………………………...74
2.6 Pengiriman pasukan Garuda
……..........................................78
2.7 Konferensi
Non Blok...............................................................79
2.8 Masa
Demokrasi Terpimpin....................................................80
2.8.1 Dekrit
Presiden 5 Juli 1959..............................................................................................80
2.8.2 Pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin.................................................................................83
2.8.3 Penyimpangan-penyimpangan
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin................................84
BAB 3 PERISTIWA EKONOMI PASCA
KEDAULATAN
3.1 Masa Demokrasi Liberal.........................................................90
3.1.1 Keadaan Ekonomi Indonesia pada
masa Demokrasi Liberal..........................................90
3.1.2 Kebijakan Untuk mengatasi
masalah pada masa demokrasi liberal................................91
3.2 Demokrasi
Terpimpin..............................................................96
BAB PENUTUP……………………………………………….......................................................................
Daftar
Pustaka.........................................................................................................................................97
·
RIS
·
NKRI
·
MASA
DEMOKRASI LIBERAL
·
MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN
PASCA
KEDAULATAN
EKONOMI
·
MASA
DEMOKRASI LIBERAL
·
MASA
DEMOKRASI TERPIMPIN
BAB
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG KARYA TULIS
Perjalanan Hidup bangsa dan Negara Indonesia setelah
pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang dilakukan di negeri Belanda pada tanggal
17 Desember 1949, terdapat beberapa Peristiwa. Peristiwa ini menyangkut Politik
dan Ekonomi yang sangat rumit
1.2 DASAR PENULISAN KARYA TULIS
Dasar penulisan laporan ini adalah :
a) Program
pendidikan karya tulis SMP Negeri 1 Binong tahun
pelajaran 2014/2015.
b) Sebagai salah
satu tugas untuk menambah wawasan Siswa
1.3 TUJUAN PENULISAN
Karya tulis yang berjudul Peristiwa Politik dan Ekonomipasca kedaulatan ini ditulis
bukanlah tanpa tujuan, adapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut :
1.Untuk
memperluas wawasan penulis dan pembaca mengenai Peristiwa politik dan ekonomi Pasca
Kedaulatan
2.Memberikan
gambaran umum mengenai Peristiwa politik dan ekonomi Pasca Kedaulatan
3.Mengetahui
sejarah Peristiwa
politik dan ekonomi Pasca Kedaulatan
4.Menumbuhkan
minat generasi muda terhadap sejarah melalui penelitian benda-benda bersejarah
5.
Melatih diri dalam menyusun suatu masalah kedalam bentuk tulisan
8.
Belajar mencintai dan melindungi sejarah Bangsa
1.4 METODE PENGUMPULAN DATA
Dalam penyusunan karya tulis ini,
penulis menggunakan beberapa metode-metode penulisan. Adapun metode tersebut
adalah :
a.Metode study
pustaka
Yaitu penulis
membaca dan mengkaji buku-buku dan brosur yang membahas tentang candi prambanan
b.Browsing
internet
Yaitu mencari
data-data terkait dengan candi prambanan di berbagai situs-situs web.
BAB
PEMBAHASAN
PERISTIWA-PERISTIWA POLITIK
INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN
2.1
Terbentuknya
RIS
Sebagai
realisasi dari perjanjian Roem-Royen, UNCI memprakarsai diselenggarakannya Konferensi
Meja Bundar (KBM) di Den Haag, Belanda. Konferensi berlangsung dari tanggal 23
Agustus – 2 Nopember 1949. Konferensi diikuti delegasi dari RI, FBO, dan
Belanda.
Pada tanggal 4 Agustus 1949, pemerintah RI membentuk delegasi untuk mengikuti KMB yang terdiri dari Drs. Moh. Hatta (Ketua), dan para anggota: Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Supomo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel TB Simatupang, dan Mr. Muwardi. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak. Delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Van Maarseveen. Sedangkan yang bertindak sebagai penengah adalah wakil dari UNCI yanf terdiri dari Critley, R. Heremas, dan Merle Conhran.
Hasil dari KMB adalah sebagai berikut:
Pada tanggal 4 Agustus 1949, pemerintah RI membentuk delegasi untuk mengikuti KMB yang terdiri dari Drs. Moh. Hatta (Ketua), dan para anggota: Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Supomo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel TB Simatupang, dan Mr. Muwardi. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak. Delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Van Maarseveen. Sedangkan yang bertindak sebagai penengah adalah wakil dari UNCI yanf terdiri dari Critley, R. Heremas, dan Merle Conhran.
Hasil dari KMB adalah sebagai berikut:
- Belanda menyerahkan kedaulatan
kepada Indonesia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali;
- Indonesia akan membentuk negara
sekrikat (RIS) dan merupakan uni dengan Belanda;
- RIS akan mengembalikan hak milik
Belanda dan memberikan konsesi atau jaminan dan izin baru bagi
perusahaan-perusahaan Belanda;
- RIS harus menanggung semua
hutang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942;
- Status Karesidenan Irian Barat
akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
6. Republik Indonesia Serikat (RIS)
terdiri atas Republik Indonesia dan 15 Negara Federal. Corak pemerintahan RIS
diatur menurut konstitusi yang dibuat oleh delegasi Republik Indonesia (RI) dan
Bijjenkomst Federal Overleg (BFO) selama konferensi Meja bundar
Berlangsur.
- Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial
Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, kecuali Papua
bagian barat. Indonesia ingin agar semua
bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda
ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan
etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu
pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah
terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
- Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia,
dengan monarch Belanda sebagai kepala negara
- Pengambil
alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat
Sementara
KBM sedang berlangsung, RI dan FBO menandatangani perjanjian tentanf Konstitusi
RIS pada tanggal 29 Oktober 1949. Perjanjian itu dituangkan dalam sebuah piagam
yang ditandatangani wakil-wakil RI dan negara-negara atau daerah-daerah yang
akan menjadi anggota RIS. Berdasarkan Konstitusi RIS, negara berbentuk federasi
dan terdiri dari daerah-daerah di seluruh Indonesia, yaitu:
- Negara RI yang meliputi seluruh
wilayah menurut Perjanjian Renville;
- Negara-negara bentukan Belanda
menurut hasil Konferensi Malino, yaitu:a. Negara Indonesia Timur (NIT),
Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Madura, dan Negara
Jawa Timur.
- Satu satuan negara yang tegak
sendiri yaitu Republik Indonesia;
- Daerah-daerah selebihnya bukan
daerah bagian.
Konstitusi RIS merupakan kesepakatan dan kebulatan tekad antara RI dan FBO untuk bersatu. Sementara, KNIP mengadakan sidang untuk membahas hasil-hasil KMB pada 6 – 14 Desember 1949. Sidang yang dihadiri 325 anggota KNIP berhasil mengambil keputusan bahwa KNIP dapat menerima hasil KBM melalui pemungutan suara, di mana 226 suara menyatakan setuju, 62 suara menolak, dan 31 suara meninggalkan sidang.
Pada tanggal 14 Desember 1949 Wakil-wakil Pemerintah RI, Negara Bagian, Daerah-daerah yang menjadi bagian RIS, KNIP, dan DPR dari masing-masing Negara Bagian mengadakan Musyawarah Federal untuk Menyetujui Naskah Konstitusi RIS. Sebagai tindak lanjut hasil KBM, terdapat beberapa peristiwa penting, seperti:
- Pada tanggal 15 Desember 1949
diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno;
- Pada tanggal 16 Desember 1949
Ir. Soekarno dipilih Presiden RIS;
- Pada tanggal 17 Desember 1949
Ir. Soekarno dilantik menjadi Presiden RIS;
- Pada tanggal 20 Desember 1949
Presiden Soekarno melantik Kabinet RIS yang pertama dengan Drs. Moch.
Hatta sebagai PM.
Pada tanggal 23 Desember 1949, delegasi RIS yang dipimpin Drs. Moch. Hatta berangkat ke Belanda untuk menandatangani naskah pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda. Upacara pengakuan kedaulatan dilakukan secara bersamaan, baik di Indonesia maupun di Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 dengan rincian:
- Di ruang istana Kerajaan
Belanda; Ratu Juliana, PM Dr. William Drees, Menteri Seberang Lautan Mr.
A.M.J.A Sassen, dan Ketua Delegasi RIS Drs. Moch. Hatta secara
bersama-sama membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan kedaulatan
tersebut;
- Di Jakarta; Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Wakil Tinggi Mahkota Belanda, A.H.J. Lovink dalam suatu
upacara secara bersama-sama membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan
kedaulatan tersebut;
- Pada waktu yang sama, di
Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan RI kepada RIS.
Ternyata, pembentukan RIS tidak dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Masalah itu bukan saja berasal dari sikap pemerintah Belanda yang tidak konsisten dalam melaksanakan hasil KMB, melainkan juga berasal dari dalam negeri. Pemerintah Belanda tidak bersedia menyelesaikan masalah Irian Barat (Papua sekarang) seperti yang disebutkan dalam isi perjanjian KMB.
Sedangkan dari dalam negeri timbul masalah baru yang berkaitan dengan:
- masalah integrasi,
- masalah angkatan bersenjata,
dan
- masalah penolakan rakyat
negara-negara bagian terhadap RIS (bentuk negara federasi).
Di dalam perjanjian Linggajati yang
disetujui pada tanggal 15 November 1946 terdapat butir tentang rencana
pembentukan negara Serikat. Hal ini berarti RI terdiri atas negara-negara
bagian. Oleh karena itu, Belanda menghendaki sebanyak mungkin negara bagian
dalam RIS sebagai negara bonekanya. Negara-negara boneka itu adalah
negara-negara bagian yang dibentuk Belanda. Negara-negara tersebut tergabung
dalam BFO (Bijenkomst Federaal Overleg). Yang menjadi ketua BFO adalah Sultan
Hamid II dari Kalimantan Barat. Dengan demikian akan sangat menguntungkan
posisi Belanda dalam RIS.
Belanda menyadari bahwa dilihat dari kondisi yang dimiliki oleh Indonesia yang serba pluralis itu tentu negara Serikat akan mampu untuk terus menerapkan politik pecah-belahnya. Pembentukan negara-negara boneka ini menunjukkan betapa besar keinginan Belanda untuk mendominasi di dalam RIS yang rencananya akan dibentuk kemudian.Negara-negara yang dibentuk Belanda itu adalah sebagai berikut,
Belanda menyadari bahwa dilihat dari kondisi yang dimiliki oleh Indonesia yang serba pluralis itu tentu negara Serikat akan mampu untuk terus menerapkan politik pecah-belahnya. Pembentukan negara-negara boneka ini menunjukkan betapa besar keinginan Belanda untuk mendominasi di dalam RIS yang rencananya akan dibentuk kemudian.Negara-negara yang dibentuk Belanda itu adalah sebagai berikut,
pembagian
wilayah RIS
id.wikipedia.org
1. Negara Indonesia Timur : Negara ini dibentuk berdasarkan
Konferensi Denpasar yang berlangsung tanggal 18 sampai 24 Desember 1946. NIT
ini meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Presidennya adalah Tjokorde
Gede Raka Sukawati.
Tjokorde
Gede Raka Sukawati
wikipedia.com
Negara Indonesia Timur
|
||
Flag
|
||
Wilayah
N.I.T ditunjukkan pada warna emas
|
||
Capital
|
||
Zaman sejarah
|
||
-
|
Didirikan
|
24 Desember 1946
|
-
|
Dibubarkan
|
17 Agustus 1950
|
Area
|
||
-
|
349.088 km2 (134.784 sq
mi)
|
|
-
|
10.290.000
|
|
29,5 /km2 (76,3 /sq mi)
|
Bendera Negara
Indonesia Timur
Negara
Indonesia Timur adalah negara bagian RIS meliputi
wilayah Sulawesi, Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara) dan Kepulauan Maluku, ibukotanya Singaraja. Negara ini dibentuk setelah
dilaksanakan Konferensi Malino pada tanggal 16-22 Juli 1946 dan Konferensi Denpasar dari tanggal 7-24 Desember 1946 yang
bertujuan untuk membahas gagasan berdirinya negara bagian tersendiri di wilayah
Indonesia bagian timur oleh Belanda. Pada akhir Konferensi Denpasar 24 Desember
1946, negara baru ini dinamakan Negara Timur Besar, namun kemudian
diganti menjadi Negara Indonesia Timur pada tanggal 27 Desember 1946. [2]
Negara
Indonesia Timur terbagi menjadi 13 daerah otonomi:
- Daerah Sulawesi
Selatan
- Daerah Minahassa
- Daerah Kepulauan Sangihe dan Talaud
- Daerah Sulawesi
Utara
- Daerah Sulawesi
Tengah
- Daerah Bali
- Daerah Lombok
- Daerah Sumbawa
- Daerah Flores
- Daerah Sumba
- Daerah Timor dan
kepulauan
- Daerah Maluku
Selatan
- Daerah Maluku
Utara
Menurut hasil Konferensi Denpasar, wilayah Negara Indonesia Timur
meliputi Karesidenan berikut, seperti termaktub dalam Staatsblad 1938 nomor 68 jo Staatsblad
nomor 264, kecuali Irian Barat, yang akan ditetapkan kemudian hari.[3]
- Karesidenan Sulawesi Selatan
- Karesidenan
Sulawesi Utara
- Karesidenan Bali
- Karesidenan
Lombok
- Karesidenan
Maluku
Republik
Indonesia, yang ditujukan pada negara kesatuan dan banyak kekuasaan dan
pengaruh punya di Jawa dan Sumatera, melihat politik federalis (struktur
federal Indonesia) sebagai upaya untuk Partai Republik untuk melemahkan dan
sebagai "kebijakan membagi-dan-aturan "Belanda. Dia dianggap sebagai negara
yang baru dibentuk pertama sebagai vasal Belanda. Pada awalnya, pemerintah
Indonesia Timur memang agak berorientasi Belanda. Tanpa Belanda (keuangan)
mendukung negara tidak bisa ada. Pejabat pemerintah Belanda tetap waktu yang
lama sebagai manajer atau konsultan di pemerintah.
Tjokorda Gde
Sukawati Rake adalah yang pertama dan satu-satunya presiden negara ini . Ada
lembaga perwakilan sementara terpilih dan pemerintah . Pemilihan perwakilan
lebih atau kurang demokratis , yaitu, ada pengaruh signifikan dari raja raja
tradisional dan pemilu berada di beberapa tempat diboikot oleh republiken .
Namun, ada representasi pro - republik signifikan . Pemerintah melakukannya
dari awal dengan solid Republik ( = Unitarian ) oposisi . Dua pemerintah
pertama adalah oléh korupsi dan menunjang pasti tindakan militèr pertama
Belanda berumur pendek . Pemerintah dua ini masih terlihat pada tali kekang
punya pemerintah Belanda .
Ide Anak Agung
Gde Agung selanjutnya menjadi Perdana Menteri. Dia mau kerja sama adalah dengan
Republik Indonesia. Dia terlihat oleh kedua belah pihak sebagai seorang
politisi mampu dan administrator . Dia ingin bekerja sama dengan Partai
Republik , yang disebut " Politik Sintesis " . Dia berhasil di negara
bagian untuk mengambil posisi lebih independen. Partai Republik mengakui
sebagai hasilnya, pada tahun 1948, Indonesia Timur, bahkan sebagai negara.
Hasilnya adalah bahwa ada Partai Republik lainnya di Eastern Indonesia bersedia
bekerja sama atau setidaknya penentangan mereka terhadap negara dimoderasi.
Tetapi kontras antara "federalis" dan "Unitarian" tetap.
Para pejabat pemerintah Belanda, yang masih dipekerjakan oleh negara umumnya
setia kepada pemerintah negara bagian, bahkan jika itu bertentangan dengan
kebijakan pemerintah Belanda / India di Batavia, tapi negara tetap secara
finansial tergantung pada mereka.
Pada Aksi
militer Belanda kedua Pemerintah NIT mengundurkan diri, menurut Anak Agung gde
Agung dirinya sebagai protes. Sesudahnya Kemudian pendekatan dia ke Republik
Indonesia menjadi lebih ramah. Dia selalu berusaha untuk melibatkan Republik di
konsultasi federal tetapi gagal di sana.
Di (Sementara)
parlemen adalah (seperti yang dilaporkan sebelumnya) fraksi kuat yang
republikan (nasionalis, Unitarian) yang keraguan yang kuat tetap bercokol di
N.I.T atau bahkan ditolak dan ingin bersambung dengan Republik Indonesia, tapi
ada juga pendukung yang signifikan federalisme dan negara. NIT ini terdiri dari
kurang lebih independen provinsi, daerahs disebut. Bangunan melalui daerahs
sulit, terutama karena harus ada kompromi antara manusia lama pangeran pribumi,
yang berjuang untuk melepaskan posisi mereka dan kekuasaan mereka dan
demokratisasi dewan ditemukan. Democratsisering oleh karena itu datang hanya
dengan susah payah. The daerahs juga cenderung self-negara. Band dari populasi
dengan Daerah sendiri umumnya lebih kuat dibandingkan dengan yang lebih abstrak
"Negara".
Negara
Indonesia Timur didirikan untuk menyaingi dan memaksa Republik Indonesia untuk
menerima bentuk negara federasi; dengan tujuan mengecilkan wilayah Republik
Indonesia sehingga hanya menjadi salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Negara Indonesia Timur bubar dan
semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1950
2. Negara Sumatera Timur :
Sumatera Timur
|
||
Flag
|
||
Walinegara
|
||
-
|
1947-1950
|
|
Sejarah
|
||
-
|
Didirikan
|
25 Desember 1947
|
-
|
Dibubarkan
|
15 Agustus 1950
|
Negara Sumatera Timur
didirikan oleh Belanda pada tanggal 25 Desember1947 dalam usaha mempertahankan daerah kaya minyak dan
perkebunan tembakau dan karet di daerah yang saat ini menjadi provinsi Sumatera Utara pesisir timur. Bagi Belanda, hasil perkebunan karet dan
minyak adalah sangat penting dalam usaha penjajahan kembali wilayah Indonesia
yang luas. Sebelumnya pada 8 Oktober 1947, Belanda mendeklarasikan Daerah
Istimewa Sumatera Timur dengan gubernur Dr. Tengku Mansur, seorang bangsawan Kesultanan Asahan yang juga ketua organisasi Persatuan Sumatera Timur.[2]
Negara Sumatera Timur (NST) adalah salah satu negara bagian buatan Belanda yang bertahan cukup lama selain Negara Indonesia Timur karena terdapat banyak faktor kompleks yang membentuk persekutuan anti-republik. Persekutuan tersebut terdiri atas kaum bangsawan Melayu, sebagian besar raja-raja Simalungun, beberapa kepala suku Karo dan kebanyakan tokoh masyarakat Cina. Mereka semua merasa kedudukannya terancam dengan berdirinya negara baru. Perasaan itu muncul karena pada masa-masa awal tahun kemerdekaan terdapat pengalaman pahit dengan tekanan kaum muda pro-republik yang sangat anti bangsawan dan anti kemapanan. (Lihat revolusi sosial 1946) Dengan datangnya Belanda bersama Inggris (dan juga setelah Agresi Militer I) di Sumatra, persekutuan anti-republik mendorong dan menyambut berdirinya NST. Meski demikian banyak pula rakyat yang menentang berdirinya NST dan melakukan perlawanan militer terhadap Belanda.
Setelah perjanjian KMB disetujui, maka pada tanggal 3-5 Mei 1950 diadakan perundingan antara perdana menteri RIS M.Hatta dengan Presiden NST Dr. Tengku Mansur (juga dengan Presiden Negara Indonesia Timur Sukawati) yang menyetujui pembentukan negara kesatuan. Pada tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatera Timur menentang keputusan tersebut. Meski demikian Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran RIS dengan syarat NST dileburkan ke dalam RIS, bukan RI. Pada tanggal 15 Agustus 1950, terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan NST bubar.
3. Negara Madura : Negara ini berdiri pada tanggal 20
Februari 1948. Kepala negaranya adalah Tjakraningrat.
Konferensi Bandung, 27 Mei 1948 Perhimpunan Musyawarah
Federal (BFO).
Kiri-kanan: Wali Negara Madura R.A.A. Tjakraningrat, Wali
Negara Sumatera Timur Dr. Tengku Mansoer, Kepala Daerah Kalimantan Barat (ketua
BFO) Sultan Hamid II.
groups.yahoo.com
Madura
|
||
Flag
|
||
Walinegara
|
||
Zaman sejarah
|
||
-
|
Negara Madura didirikan
|
23 Januari 1948
|
-
|
Diakui oleh Belanda
|
20 Februari 1948
|
-
|
9 Maret 1950
|
Negara Madura adalah negara yang dibentuk pada tanggal 23 Januari1948 atas rekayasa Van der Plas yang saat itu menjadi Gubernur Belanda di Jawa Timur dan merupakan tangan kanan van Mook. Wilayah Negara ini meliputi Pulau Madura dan pulau-pulau kecil sekitarnya.
Negara Madura dibentuk melalui pemungutan suara, dengan intimidasi Belanda. Pada tanggal 20 Februari 1948 pemerintah Hindia Belanda mengakui berdirinya negara Madura. R. A. A. Tjakraningrat terpilih sebagai wali negara Madura. Karena tekanan gerakan pro-Republik, Negara Madura bubar dan akhirnya bergabung dengan Republik Indonesia. Pada tanggal 19 Maret 1950 terbit Surat Keputusan Presiden RIS yang isinya menetapkan daerah Madura sebagai Karesidenan dari Republik Indonesia. Keputusan Presiden ini ditindaklanjuti dengan serah terima kekuasaan di Madura kepada pejabat baru R. Sunarto Hadiwijoyo. Dengan demikian sejak itu Madura berada di bawah Republik Indonesia. [1]
4. Negara Pasundan : Negara ini
berdiri pada tanggal 24 April 1948. Wali negaranya adalah Wiranatakusumah.
R.A.A.
Wiranatakusumah
groups.yahoo.com
Negara Pasundan
|
||
Flag
|
||
Walinegara
|
||
Sejarah
|
||
-
|
Didirikan
|
24 April 1948
|
-
|
24 Maret 1950
|
Negara Pasundan adalah salah satu negara bagian dari
negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang didirikan oleh Belanda pada tanggal 24 April1948. Letaknya di bagian barat Pulau Jawa (sekarang DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat dan Banten) dan beribu kota di Bandung. Presiden pertama dan terakhirnya
adalah Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema. Berdirinya Negara ini sangat
tergantung akan bantuan Belanda, nampak terlihat saat Raden Soeriakarta
Legawa akan
memproklamasikan pendirian negara ini di Bandung tahun 1947, Raden Soeria
Kartalegawa menunggu terlebih dahulu Pasukan Divisi Siliwangi yang hijrah ke
Yogyakarta pergi.[1]
Pada konferensi
ketiga pembentukan Negara Pasundan terdapat banyak peserta yang pro republik
yang dipimpin oleh Raden Soejoso, eks Wedana Senen, Jakarta. Dari tiga kali
hasil konferensi, sebagai wali negara, pertama dan terakhir, Wiranatakusumah.
Namun ada versi lain Negara Pasundan yang berdiri 9 Mei 1947, dengan
pemimpinnya Soeria Kartalegawa.
4.1
Negara Pasundan
Federalis
RAA Soeria Kartalegawa
Saat Letnan
Gubernur Jenderal Van Mook melakukan tahap-tahap awal pembentukan Indonesia
Serikat, eks Bupati GarutSoeria Kartalegawa yang feodal, dan tidak bersimpatik
pada pergerakan nasional, mendirikan Partai Rakyat Pasundan, PRP, di Bogor, atas ide eks Perwira
KNIL, Kolonel Santoso, penasehat politik Van Mook. Pelaksanaannya dibantu oleh
intel militer Belanda, NEVIS.
Namun karena
reputasi Kartalegawa sangat buruk, Van der Plas bahkan menjulukinya fraudeur
alias koruptor, sehingga bukan dia yang menjadi ketuanya, melainkan Raden Sadikin, pegawai pusat distribusi pangan milik
Belanda di Bandung Utara. Sebagai sekretaris dan bendahara, ditunjuk dua orang
yang sebelum perang menjadi sopir, dan di Era Pendudukan Jepang menjadi mandor
kebun. Keanggotaan dilakukan dengan ‘paksaan halus’.
Kartalegawa
berusaha mewujudkan Negara Pasundan yang merdeka dari Indonesia. Usaha ini didukung
Residen Belanda di Bandung, M. Klaassen, yang menulis sebuah laporan,
tertanggal 27 Desember1946. Residen
Preanger itu menulis dalam laporannya, bahwa sejak berabad-abad lamanya,
terjadi persaingan etnis Sunda-Jawa, akibat perbedaan adat, tradisi, dan
mentalitas. Indonesia selalu dipimpin oleh etnis Jawa, maka PRP dipandang
sebagai suatu gerakan rakyat yang spontan.
Residen
menyambut gembira, karena di Tatar Pasundan timbul gerakan antirepublik. Gerakan
PRP semestinya didukung kendati di dalamnya terdapat orang yang tidak
seluruhnya bisa dipercaya, hanya mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, dan
bukan karena mencintai Tatar Pasundan. Pendapat ini disetujui Gubernur
Abbenhuis, tetapi Van Mook menolaknya.
Kartalegawa
menjadi nekat, melihat sikap Van Mook. Pada sebuah pertemuan, 4 Mei 1947, di
Bandung, yang dihadiri oleh 5000 orang, ia memproklamasikan Negara Pasundan.
Kendati dilarang oleh Van Mook, pejabat Belanda setempat tetap menyediakan
truk-truk untuk mengangkut para pengikut Kartalegawa ke Bogor. Di sini mereka
disambut baik oleh Kolonel Thompson dan Residen Statius Muller.
Pada masa itu,
Soekarno masih didukung oleh banyak rakyat dan Kartalegawa dianggap pembelot.
Tapi ini tidak mencegah Kartalegawa melancarkan gerakan di Bogor, Mei 1947,
yakni menduduki kantor-kantor dan stasiun, bahkan menawan seorang residen.
Kasus PRP adalah pergolakan politik yang menggambarkan situasi pasca Agresi
Militer, Juli 1947, di Tatar Sunda.
4.2
Negara Pasundan
Republiken
Raden Aria
Wiranatakusumah, Presiden Negara Pasundan.
Jika Negara
Pasundan versi Kartalegawa dari golongan federalis kurang didukung oleh
tokoh-tokoh Pasundan, sehingga tidak berjalan, maka berbeda dengan Negara
Pasundan versi Wiranatakusumah dari golongan republiken yang cukup
menggeliat, karena melibatkan tokoh-tokoh Sunda dalam konferensi.
Dua sikap politik yang terjadi terkait Negara Pasundan;
federalis, yaitu sikap mendukung Indonesia Serikat. Dan republiken, yang mendukung Republik Indonesia dan menolak Indonesia Serikat. Keterlibatan para tokoh republiken
pada Negara Pasundan, lebih merupakan strategi politik agar Tatar Pasundan
tidak lepas dari Republik Indonesia. Salah satu tokoh penting dalam
perjuangan tersebut adalah Wiranatakusumah yang diangkat menjadi Presiden
Pasundan.
Wiranatakusumah merupakan figur vokal dalam
memperjuangkan nasib kaum pegawai bumiputera. Ia menginginkan agar bupati, selain sebagai alat birokrasi
pemerintah, juga harus berpolitik untuk kepentingan kaum pribumi. Ketika
menjabat Bupati Bandung, untuk menjalin hubungan informasi dengan pejabat pemerintahan hingga ke
tingkat desa, ia menerbitkan majalah Obor.
Soekarno meminta kepada
para pangreh praja yang pernah menjabat pegawai pemerintahan kolonial Belanda, agar loyal kepada Republik Indonesia. Wiranatakusumah sangat mendukung perjuangan kaum
nasionalis dan pemerintahan Republik Indonesia itu. Ketika diadakan konferensi
pangreh praja, 2 September1945, di Jakarta, Wiranatakusumah menjadi tokoh penting di dalamnya.
Wiranatakusumah mendesak pangreh praja agar mendekati
rakyat dan komite-komite nasional, untuk menghindari anggapan campur-tangan
dalam kedudukan mereka, karena situasi menuntut adanya persatuan dan kesatuan.
Kedekatan dan pemikiran nasionalis ini antara lain membawa Wiranatakusumah menjabat Menteri Dalam Negeri
Indonesia yang pertama.
Walaupun
menjadi pejabat dalam pemerintahan pusat, Wiranatakusumah tidak melupakan perjuangan di
Pasundan. Gagalnya Kartalegawa dalam mendirikan Negara Pasundan, telah
menyadarkan Belanda bahwa Kartalegawa bukanlah tokoh yang berpengaruh di
Pasundan. Belanda kemudian melibatkan semua lapisan masyarakat melalui
konferensi, membangun Negara Bagian Pasundan.
Konferensi pertama
kali dilakukan di Bandung, 12-19 Oktober
1947, diselenggarakan Recomba, dihadiri 50
orang, dari pejabat pemerintah, tokoh agama, kalangan swasta, tokoh pendidikan,
dan psikolog. Pembicaraan utama dalam konferensi ini adalah perlu atau tidaknya
pembentukan Negara Pasundan.
Dalam menyikapi
pembicaraan tersebut, terdapat 3 pendapat. Pertama, federalis, yang menghendaki
pendirian Negara Pasundan yang terpisah dari Indonesia. Kedua, republiken, yang
tidak menghendaki berdirinya suatu negara yang terpisah dari Indonesia. Dan
ketiga, kelompok abstain.
Konferensi
pertama belum menghasilkan pembentukan Negara Pasundan, sehingga konferensi dilanjutkan
berikutnya, 16-20 Desember 1947, melibatkan
bangsa pribumi, pendatang Cina, pendatang Arab, dan orang Belanda, total
berjumlah 159 orang.
Hingga
Konferensi Jabar III dilaksanakan, tepatnya 23 Februari - 5 Maret1948 di Bandung. Konferensi ini bertujuan melaksanakan
keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam konferensi-konferensi
sebelumnya, yaitu berdirinya Negara Pasundan, dan terpilihnya Wiranatakusumah sebagai presiden.
Wiranatakusumah terpilih melalui proses pemilihan.
Dalam pemilihan ini ada 2 kubu yang bersaing, yaitu federalis dan republiken. Wiranatakusumah merupakan perwakilan dari kubu
republiken, sedangkan wakil dari kubu federalis adalah Hilman Djajadiningrat.
Kemenangan Wiranatakusumah merupakan kemenangan kaum republiken
yang tidak memiliki tujuan khusus membentuk Negara Pasundan, melainkan strategi
politik belaka agar Pasundan tidak terpisah dari Indonesia.
Terpilihnya Wiranatakusumah sebagai Presiden Pasundan, mendapat
restu dari Soekarno. Ketika
terpilih, Wiranatakusumah masih menjabat KetuaDewan Pertimbangan AgungIndonesia dan berkedudukan di Yogyakarta, ibukota Indonesia saat itu, karena Jakarta diduduki Belanda.
Soekarno melihat,
kemenangan Wiranatakusumah merupakan kemenangan Indonesia sekaligus, mengingat Wiranatakusumah adalah tokoh Sunda republiken Pro-Indonesia.
Sikap
republiken Wiranatakusumah dalam menjalankan pemerintahan Negara
Pasundan sangat menonjol. Ia menunjuk tokoh republiken dari Paguyuban Pasundan,
Adil Puradiredja sebagai Perdana Menteri Pasundan.
Dalam Koran Siasat, Adil mengatakan bahwa Negara Pasundan bukanlah
tujuan, melainkan hanyalah jalan. Pernyataan Adil ini mendapat teguran dari
Belanda.
Saat terjadi
Agresi Militer II, 19 Desember1948, Adil
Puradiredja mengundurkan diri, sebagai bentuk protes. Adil digantikan
Tumenggung Djumhana. Program Djumhana mendapat teguran pula dari Belanda,
bahkan mengancam akan membubarkan Negara Pasundan dan diganti dengan
pemerintahan militer. Tekanan Belanda tersebut direspons Wiranatakusumah dengan balik mengancam ia akan
meletakkan jabatannya.
Kedudukan
Negara Pasundan semakin lemah setelah terjadinya Peristiwa APRA, Angkatan Perang Ratu Adil, yang dipimpin Westerling30 Januari1950, Presiden Pasundan menyerahkan
mandatnya kepada Parlemen Pasundan.
Di kediaman
Presiden, dilangsungkan serah-terima kekuasaan Negara Pasundan kepada Komisaris
Republik Indonesia, Sewaka. Tanggal 8 Maret1950, Negara Pasundan resmi bubar dan
kembali berada di bawah Republik Indonesia.
5. Negara Sumatera Selatan: Negara ini terbentuk tanggal 30 Agustus 1948. Kepala
negaranya adalah Abdul Malik.
Abdul
Malik (Buya Hamka)
Sumatera Selatan
|
||
Flag
|
||
Walinegara
|
||
Sejarah
|
||
-
|
Didirikan
|
30 Agustus 1948
|
-
|
24 Maret 1950
|
6. Negara Jawa Timur :
Negara ini berdiri pada tanggal 26
November 1948. Kepala negaranya adalah Kusumonegoro (Bupati Banyuwangi).
Disamping 10 (sepuluh) negara tersebut juga dibentuk daerah-darah istimewa/otonom yang terdiri atas:
Disamping 10 (sepuluh) negara tersebut juga dibentuk daerah-darah istimewa/otonom yang terdiri atas:
- Kalimantan Barat,
- Kalimantan Timur,
- Dayak Besar,
- Banjar,
- Kalimantan Tengah,
- Bangka,
- Kalimantan Tenggara,
- Bangka Belitung,
- Riau, dan
- Jawa Tengah.
2.2 KEMBALI KE NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Salah satu diktum hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah
pengakuan Belanda terhadap Republik Indonesia Serikat. Kelihatannya, isi
perjanjian ini merugikan pihak Republik Indonesia. Ditandatanganinya perjanjian
itu tidak lebih dari sebuah taktik perjuangan. Hal ini terbukti bahwa persatuan
itu berada di atas segalanya bagi bangsa Indonesia. Jika dihitung lamanya, RIS
tidak ada setahun berdiri (27 desember 1949 sampai 17 Agustus1950). Hal
dikarenakan sejak tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persiapan dalam upaya kembali ke negara
kesatuan sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya.
Rakyat di negara bagian menuntut
negara RIS dibubarkan dan kembali ke negara kesatuan. Jawa Barat, misalnya
tanggal 8 Maret 1950 mengadakan demonstrasi agar negara Pasundan dibubarkan.
Sikap yang sama juga terjadi pada negara Negara Indonesia Timur (NIT) dan
negara Sumatera Timur. Kesempatan kembali ke negara kesatuan tercapai setelah
diadakan perundingan antara RIS dengan Republik Indonesia (RI) pada tanggal 19
Mei 1950. Hasil perundingan itu ditindaklanjuti dengan upaya mempersiapkan UUD
negara yang akan dibentuk tersebut.
Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani Rancangan UUD yang kemudian kita kenal dengan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950). Setelah kelengkapan itu dimiliki, maka pemerintah mengumumkan pembubaran RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menerapkan UUDS 1950 pada tanggal 17-8-1950.
Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani Rancangan UUD yang kemudian kita kenal dengan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950). Setelah kelengkapan itu dimiliki, maka pemerintah mengumumkan pembubaran RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menerapkan UUDS 1950 pada tanggal 17-8-1950.
Kembali ke Negara Kesatuan
Pada dasarnya, kesediaan delegasi Indonesia untuk menandatangani hasilhasil KMB merupakan strategi untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Apabila Indonesia tidak mau menerima negara RIS, dikhawatirkan Belanda akan memperlambat atau bahkan tidak akan mengakui kedaulatan Indonesia. Hal itu dapat dimaklumi karena Belanda sangat berambisi untuk tetap mempertahankan kekuasaan seperti sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itu, Belanda masih mengharapkan bisa menanamkan pengaruhnya melalui negara-negara boneka bentukan Belanda. Negara-negara boneka sebagai anggota RIS masih memiliki kedaulatan sehingga dapat menentukan garis politiknya. Kenyataan itulah yang menjadi keinginan Belanda agar tidak kehilangan pengaruhnya sama sekali dalam kehidupan politik dan ekonomi di wilayah Indonesia. Itulah salah satu strategi yang ditempuh para pemimpin nasional dalam rangka mewujudkan NKRI. Berdasarkan Konstitutsi RIS, Negara RIS terdiri dari tujuh negara bagian, sembilan satuan kenegaraan, dan tiga daerah swapraja sebagai berikut:
Pada dasarnya, kesediaan delegasi Indonesia untuk menandatangani hasilhasil KMB merupakan strategi untuk mencapai tujuan yang lebih baik. Apabila Indonesia tidak mau menerima negara RIS, dikhawatirkan Belanda akan memperlambat atau bahkan tidak akan mengakui kedaulatan Indonesia. Hal itu dapat dimaklumi karena Belanda sangat berambisi untuk tetap mempertahankan kekuasaan seperti sebelum Indonesia merdeka. Oleh karena itu, Belanda masih mengharapkan bisa menanamkan pengaruhnya melalui negara-negara boneka bentukan Belanda. Negara-negara boneka sebagai anggota RIS masih memiliki kedaulatan sehingga dapat menentukan garis politiknya. Kenyataan itulah yang menjadi keinginan Belanda agar tidak kehilangan pengaruhnya sama sekali dalam kehidupan politik dan ekonomi di wilayah Indonesia. Itulah salah satu strategi yang ditempuh para pemimpin nasional dalam rangka mewujudkan NKRI. Berdasarkan Konstitutsi RIS, Negara RIS terdiri dari tujuh negara bagian, sembilan satuan kenegaraan, dan tiga daerah swapraja sebagai berikut:
- Negara-negara bagian : Republik Indonesia (RI), Negara Pasundan, Negara
Jawa Timur, Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Madura, Negara Sumatera
Timur, dan Negara Sumatera Selatan.
- Satuan kenegaraan : Kalbar, Kaltim, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan
Tenggara, Bangka, Belitung, Riau Kepulauan, dan Jawa Tengah.
- Daerah swapraja : Waringin, Sabang, dan Padang.
Bentuk negara federal, ternyata tidak memuaskan negara-negara, satuan kenegaraan, maupun daerah swapraja karena dianggap sebagai warisan pemerintah kolonial Belanda yang ingin tetap menjajah Indonesia. Negara federal juga tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang mendasarkan pada persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping alasan itu, anggota RIS (kecuali RI) sedang mengalami berbagai kesulitan, baik dalam bidang politik pemerintahan maupun sosial ekonomi.
Secara politis, eksistensi beberapa negara bagian sangat sulit untuk dipertahankan karena pembentukkannya atas prakarsa Belanda. Sedangkan dalam bidang ekonomi mereka harus menanggung hutang yang tidak kecil sehingga akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial rakyatnya. Beberapa negara bagian, satuan kenegaraan, dan daerah swapraja memiliki latar belakang pembentukkan yang berbeda-beda.
Di samping negara-negara bagian, beberapa daerah lain dinyatkan sebagai daerah otonom (satuan kenegaraan maupun daerah swapraja). Belanda sangat berharap bahwa daerah-daerah otonom itu akhirnya akan berdiri sebagai negara bagian. Salah seorang yang menjadi boneka Belanda dan sangat mendukung berdirinya RIS adalah Sultan Hamid II. Oleh karena itu, lahirnya RIS menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan anfkatan bersenjata.
2.2.1 Faktor-faktor Pendorong
Sesuai dengan hasil KMB, RIS harus membayar hutang Belanda sejak tahun 1942 sampai pengakuan kedaulatan. Alasannya, semua hutang Belanda digunakan untuk kepentingan Hindia-Belanda. Sedangkan pihak RIS hanya bersedia menanggung hutang Belanda sampai Indonesia menyatakan kemerdekaan. Alasannya, apabila RIS harus menanggung hutang sampai tahun 1949 berarti RIS harus membiayai sendiri penyerangan-penyerangan Belanda terhadap Republik Indonesia. Hal ini menimbulkan jalan buntu, terutama dalam menentukan tanggung jawab masing-masing negara bagian. Sementara, Amerika Serikat terus menekan agar RIS menanggung semua hutang Belanda.
Masalah di atas merupakan salah satu faktor yang mendorong timbulnya pemikiran untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Gerakan yang menginginkan bentuk negara kesatuan pun semakin meluas. Berbagai demonstrasi dan mosi yang menuntut agar negara-negara bagian RIS dilebur dan bergabung dengan Republik Indonesia guna membentuk negara kesatuan. Presiden NIT, Sukowati mengumumkan bahwa negara bagiannya siap menjadi unsur suatu negara kesatuan. Bahkan, 13 daerah di wilayah NIT, keculi Maluku Selatan siap untuk melepaskan diri dari NIT dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Tindakan itu kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Penggabungan antara daerah yang satu dengan lainnya dimungkinkan oleh pasal 43-44 Konstitusi RIS. Para pendukung negara kesatuan dikenal sebagai kaum unitaris dan masyarakat yang menghendaki negara RIS dikenal sebagai kaum federalis.
Semula, kedudukan kaum federalis cukup kuat untuk mempertahankan pandangannya. Akan tetapi, kekuatan itu mulai memburuk sebagai akibat beberapa tokohnya berkhianat terhadap RIS. Penghianatan mereka dikenal sebagai tindakan separatis. Beberapa tindakan separatis itu, di antaranya:
- Sultan Hamid II bersekongkol
dengan Raymond Westerling untuk membunuh rakyat di Sulawesi Selatan,
tentara di Bandung, dan mengancam akan membunuh para petinggi RIS di
Jakarta. Kelompok ini menamakan diri Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
suatu gerakan separatis yang ingin mempertahankan negara Pasundan dan
lepas dari RIS.
- Kapten Andi Aziz membuat
makar di Makasar, Sulawesi Selatan. Ia dan pasukannya menyerang markas TNI
di kota itu. Para prajurit TNI menjadi korban penyerangan itu. Pada
tanggal 5 April 1950, Andi Aziz menyatakan NIT tetap dipertahankan.
- Dr. Soumokil memimpin gerakan
separatis di Maluku Selatan. Gerakan ini dikenal sebagai Republik
Maluku Selatan (RMS). Pada tanggal 25 April 1950, Soumokil memimpin
pemberontakkan terhadap RIS melalui berbagai intimidasi, teror, dan
pembunuhan di beberapa tempat. Jelas, tindakkan itu dapat menghambat upaya
mewujudkan negara kesatuan, sekaligus menghancur RIS yang telah diakui
dunia internasional.
Kapten
KNIL Raymond Westerling
Sidang
militer terhadap Andi Aziz
Soumokil
pemimpin RMS
Berbagai gerakan separatis tersebut telah melahirkan sikap tidak senang terhadap tokoh-tokoh kaum federalis dan mendorong mereka untuk mendukung tokoh-tokoh kaum unitaris. Dengan demikian, gerakan separatis merupakan faktor yang ikut mendorong usaha-usaha perjuangan kembali ke negara kesatuan.
Faktor lain yang mendorong untuk kembali ke negara kesatuan adalah keinginan rakyat. Di berbagai daerah dilancarkan tuntutan pembubaran negaranegara bagian. Pada bulan Februari 1950, rakyat Jawa Barat melakukan demonstrasi di depan Parlemen Pasundan menuntut dibubarkannya negara Pasundan. Di Jawa Timur, rakyat berdemonstrasi menuntut dibubarkannya negara Jawa Timur. Tuntutan semacam itu terus meluas di beberapa negara bagian maupun satuan kenegaraan (daerahdaerah otonom). Sampai tanggal 5 April 1950, negara-negara bagian dalam RIS tinggal tiga, yaitu RI, NIT, dan NST.
Beberapa daerah melancarkan mosi untuk melepaskan diri dari RIS dan bergabung dengan Republik Indonesia, di antaranya:
- Pada tanggal 4 Januari 1950,
DPRD Malang mengajukan mosi untuk lepas dari Negara Jawa Timur dan masuk
Republik Indonesia.
- Pada tanggal 30 Januari 1950,
Sukabumi minta lepas dari Pasundan dan masuk menjadi bagian Republik
Indonesia.
- Pada tanggal 22 April 1950,
Jakarta Raya menggabungkan diri pada Republik Indonesia.
- Di Sumatera terjadi pergolakan
politik di mana rakyat menuntut pembubaran Negara Sumatera Timur. Front
Nasional Sumatera Timur dalam konferensinya pada tanggal 21 dan 22 Januari
1950 mengeluarkan resolusi yang antara lain menuntut supaya Negara
Sumatera Timur selekaslekasnya digabungkan kepada Republik Indonesia dan
Dewan Perwakilan Sementara Negara Sumatera Timur dibubarkan dan diganti
dengan Dewan Perwakilan Sumatera Timur yang demokratis.
- Di Sulawesi timbul
gerakan-gerakan rakyat yang menuntut pembubaran negara Indonesia Timur dan
sebelum RIS dengan resmi membubarkan negara Indonesia Timur terlebih
dahulu mereka menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.
2.2.2 Langkah-langkah Menuju ke Negara Kesatuan
Bertitik tolak dari keadaan di atas,
pada tanggal 8 Maret 1950 Pemerintah RIS di Jakarta mengeluarkan UU Darurat
No. 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan RIS.
Berdasarkan UU tersebut, beberapa negara bagian mulai menggabungkan diri dengan
RI di Yogyakarta. Negara bagian RIS pun tinggal terdiri dari RI, NIT, dan NST.
Pada tanggal 19 Mei 1950, diadakan perundingan antara Pemerintah RIS yang diwakili Moh. Hatta setelah mendapat mandat dari NIT dan NST dangan Pemerintah RI diwakili oleh Abdul Halim, Wakil Perdana Menteri RI. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam piagam persetujuan yang berisi:
Pada tanggal 19 Mei 1950, diadakan perundingan antara Pemerintah RIS yang diwakili Moh. Hatta setelah mendapat mandat dari NIT dan NST dangan Pemerintah RI diwakili oleh Abdul Halim, Wakil Perdana Menteri RI. Perundingan itu menghasilkan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam piagam persetujuan yang berisi:
- RIS dan RI sepakat membentuk
negara kesatuan berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
- RIS dan RI membentuk panitia
bersama yang bertugas menyusun UUD negara kesatuan.
Untuk menyusun konstitusi negara kesatuan, dibentuklah panitia gabungan RIS-RI yang diketuai secara bersama-sama oleh Prof. Dr. Supomo (Menteri Kehakiman RIS) dan Abdul Halim (Wakil PM RI). Pada tanggal 21 Juli 1950, Pemerintah RIS dan RI berhasil menyepakati Rancangan UUD Negara Kesatuan. Pada tanggal 14 Agustus 1950, Parlemen RI dan Senat RIS mengesahkan Rancangan UUD Negara Kesatuan menjadi Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 1950).
Sehari kemudian, Presiden Soekarno membacakan piagam terbentuknya NKRI dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada hari itu juga Soekarno terbang ke Yogyakarta untuk menerima kembali jabatan sebagai Presiden RI, yang sebelumnya dipangku oleh Mr. Asaat. Dengan demikian, sejak 17 Agustus 1950 negara RIS secara resmi dibubarkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia berhasil ditegakkan kembali. Keberhasilan itu merupakan bukti adanya persatuan, kesatuan rakyat Indonesia dan berdaulat adalah suatu hokum yang demokratis dan berbentuk kesatuan. Pada pasal 2 dipertegas lagi bahwa Republik Indonesia meliputi seluruh wilayah Indonesia. Setelah Negara Indonesia berhasil berbenah diri dari segala macam bentuk gangguan keamanan dan telah berhasil kembali ke NKRI, Pada tanggal 28 September 1950, Indonesia diterima menjadi anggota PBB yang ke-60
2.3 MASA DEMOKRASI LIBERAL
Demokrasi Liberal di Indonesia adalah
kehidupan Politik dengan menggunakan system pemerintahan rakyat yang mencontoh
Negara-negara Barat sepert Eropa dan Amerika. Sebagian besar pemimpin bangsa
Indonesia pada waktu itu banyak yang menuntut ilmu di Negara Belanda, maka
mereka tidak asing lagi dengan ajaran dan pengaruh liberal (kebebasan partai)
Demokrasi liberal di Indonesia
sesungguhnya sudah mulai berkembang sejak dikeluarkannya Maklumat wakil
presiden dan Maklumat Pemerintah RI atas usul badan pekerja KNIP kepada
pemerintahan agar rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan
partai politik. Peristiwa politik pada masa demokrasi liberal di Indonesia
berkembang mulai tahun 1950 sampai dengan 1959.
2.3.1
KETIDAKSTABILAN PEMERINTAH AKIBAT PERSAINGAN ANTARPARTAI POLITIK
a. Pada tahun
1950
NKRI mempergunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)atau
juga disebut Undang-Undang Dasar 1950. Berdasarkan UUD tersebut pemerintahan
yang dilakukan oleh kabinet sifatnya parlementer, artinya kabinet bertanggung
jawab pada parlemen. Jatuh bangunnya suatu kabinet bergantung pada dukungan
anggota parlemen.
2.3.2 Ciri
utama masa Demokrasi Liberal
sering
bergantinya kabinet. Hal ini disebabkan karena jumlah partai yang cukup banyak,
tetapi tidak ada partai yangmemiliki mayoritas mutlak.
Ketidakstabilan
Pemerintah Akibat Persaingan Antar Partai Politik
Berkembangnya
sejumlah partai politik diIndonesia diawali
dengan dikeluarkan nya Maklumat wakil Presiden dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Berdasarkan
maklumat tersebut, terbentuklah beberapa partai politik sebagai berikut .
- Majelis
Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)
Dibentuk : 7 November
1945
Dipimpin
: Dr. Soekiman Wirdjosandjojo
- Partai
Komunis Indonesia (PKI)
Dibentuk : 7 November
1945
Dipimpin
: Mohammad Jusuf
- Partai
Buruh Indonesia (PBI)
Dibentuk
: 8 November 1954
Dipimpin
: Njono
- Partai
Rakyat Jelata (PRJ)
Dibentuk
: 8 November 1945
Dipimpin
: Sultan Dewanis
- Partai
Kristen Indonesia (PARKINDO)
Dibentuk : 10
November 1945
Dipimpin
: Probowinoto
- Partai
sosial Indonesia (PSI)
Dibentuk : 10
November 1945
Dipimpin
: Amir Syarifudin
- Partai
Rakyat Sosial (PRS)
Dibentuk : 20
November 1945
Dipimpin
: Sutan Syahrir
- Pada
Bulan Desember 1945, PSI, dan PRS, bergabung menjadi satu dengan nama
Partai Sosialis Indonesia.
Dipimpin : Sutan
Syahrir, Amir Syarifudin, dan Oei Hwee Goat
- Partai
Katolik Republik Indonesia(PKRI)
Dibentuk : 8 Desember
1945
Dipimpin
: I . J . Kasimo
- Persatuan
Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI)
Dibentuk : 17
Desember 1945
Dipimpin
: J . B . Assa
- Partai
Nasional Indonesia (PNI)
Dibentuk : 29 Januari
1946 D
Dipimpin
: Sidik Djojosukarto
PNI
adalah hasil gabungan Partai Rakyat Indonesia (PRI), Gerakan Rakyat Indonesia
(GRI) dan Serikat Rakyat Indonesia (SRI) yang masing-masing telah berdiri pada
November dan Desember 1945.
Maklumat Presiden dan
Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 dan Maklumat kedua tanggal 14
November 1945, berisi tentang pernyataan tanggung jawab pemerintah di tangan
dewan menteri (dewan kabinet) yang dipimpin oleh perdana menteri. Berikut ini
akibat dari terbitnya kedua maklumat tersebut :
Tumbuh
suburnya partai politik di Indonesia dan saling berebut pengaruh dalam posisi
pemerintahan.
Merosotnya
rasa persatuan, karena setiap partai memiliki kepentingan dan aspirasi sendiri.
Tidak
stabilnya pemerintahan, yaitu terbukti sering terjadi pergantian kabinet
Pemerintah Indonesia
yang labil adalah kondisi pemerintahan Indonesia yang tidak stabil, yaitu
ditandai dengan cepatnya pergantian kabinet. Fenomena ini disebabkan partai-partai
politik di Indonesia saling berebut menguasai pemerintahan, saling menghambat
satu dengan yang lain, dan tidak ada persatuan diantara mereka. Pada masa
demokrasi liberal, kabinet yang telah di bentuk dengan susah payah, pada
umumnya berusaia pendek. Setiap kabinet yang sudah terbentuk tidak lama
kemudian sudah memperoleh tentangan dan memperoleh mosi tidak percaya. Berikut
ini dijelaskan beberapa kabinet yang pernah terbentuk di Indonesia pada masa
demokrasi liberal.
Ø Kabinet
Natsir
Berdiri
: 6 September 1950
Berhenti
: 20 Maret 1951
Partai : Masyumi
Penyebab : kegagalan
perundingan soal Irian Barat dengan Belanda
Pengganti : Dr.
Sukiman
Program
kerja Kabinet Natsir antara lain:
·
Mempersiapkan dan menyelenggarakan
pemilihan umum untuk memilih Dewan Kostituante
·
Menyempurnakan susunan pemerintah
dan membentuk kelengkapan Negara
·
Mengaitkan usaha mencapai keamanan
dan ketentraman
·
Meningkatkan kesejahteraan rakyat
·
Menyempurnakan organisasi angkatan
perang .
·
Memperjuangkanpenyelesaian soal
Irian Barat.
Hasil:
Berlangsung perundingan antara
Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Kendala/Masalah yang dihadapi:
-Upaya
memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
-Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu
terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan
DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya
kekuasaan kabinet:
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut
pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap
peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan
Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
Ø Kabinet
Soekiman
Berdiri
: 26 April1951
Berhenti
: 23 Februari 1952
Partai : Masyumi, PNI
Penyebab : kerena di
anggap pro Amerika Serikat
Pengganti : Wilopo
Program
kerja Kabinet Sukiman antara lain:
·
Menjalankan berbagai tindakan tegas
sebagai Negara hokum unutk menjamin keamanan dan ketentraman serta
menyempurnakan organisasi alat – alat kekuasaan negara
·
Membuat dan melaksanakan rencana
kemakmuran nasional dalam jangkapendek untuk mempertinggi kehidupan social
ekonomi rakyat dan mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam pembangunan
·
Menyelesaikan persiapan pemilu untuk
membentuk Dewan Konstituantedan menyelenggarakan pemilu itu dalam waktu singkat
serta mempercepat terklaksananya otonomi daerah.
·
Menyampiakan UU pengakuan serikat
buruh, perjanjian kerjasama, penetapan upah minimum, penyelesaian pertikaian
buruh
·
Menyelenggarakan politik luar negeri
bebas aktif
·
Memasukkan Irian Barat ke wilayah RI
secepatnya
Hasil:
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan
program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan
programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman
Kendala/ Masalah yang dihadapi:
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri
Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle
Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika
kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA
terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan
memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah
melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong
ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan
munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran
akan barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik
tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas
tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR
akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya
kepada presiden.
Ø Kabinet
Wilopo
Berdiri
: 3April 1952
Berhenti
: 2 Juni 1953
Partai : PNI
Penyebab : Terjadi
bentrok antara penduduk dan polisi
Pengganti : Ali
Sastroaminoto I
Program
kerja Kabinet Wilopo antara lain:
·
Mempersiapkan pemiliu
·
Berusaha mengembalika Irian Barat ke
dalam pangkuan RI
·
Meningkatkan keamanan dan
kesjahteraan
·
Perbaharui bidang pendidikan dan
pengajaran
·
Melaksanakan politik luar negeri
bebas dan aktif
Kendala/Masalah yang dihadapi:
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan
karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor
terus meningkat.
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan
negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen
sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap
provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa
ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan
upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap
tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan
kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI
sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh
Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD
kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga
menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya
surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan
keamanana di Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di
berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang
dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan.
Tetapi saran tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut
diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan
KSAD.
Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah
perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai
persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian
KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan
memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah
ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di
Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953
muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang
dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau
pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan
beberapa petani terbunuh.
Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan
peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai
persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
*Berakhirnya kekuasaan kabinet:
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah
mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo.
Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
Ø Kabinet
Ali Sastroaminoto
I
Berdiri
: 31 juli 1953
Berhenti
: 24 juli 1955
Partai : PNI
Penyebab : Persoalan
dalam TNI-AD tentang pengangkatan seorang kepala staf.
Pengganti :
Burhanudin Harahap
Program
kerja Kabinet Ali Sastromijoyo (Kabinet Ali-Wongsonegoro) antara lain:
·
Menumpas pemberontakan DI/TII di
berbagai daerah
·
Melaksanakan pemilu
·
Memperjuangkan kembalinya Irian
Barat kepada RI
·
Menyelenggarakan Koferensi
AsiaAfrika
Hasil:
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih
anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun
1955.
Kendala/Masalah yang dihadapi:
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang
belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan,
dan Aceh.
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu
peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD
yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng
sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh
kabinet. Sebagai gantinya mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo
tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya
dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD.
Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun
panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun
menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk,
maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah.
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang
menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada
tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Nu menarik dukungan dan menterinya dari
kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus
mengembalikan mandatnya pada presiden.
Ø Kabinet
Burhanudin Harahap
Berdiri
: 11 Agustus 1955
Berhenti
: 3 Maret 1956
Partai : Masyumi
Penyebab : menyerakan
mandatnya kepada presiden Soekarno.
Pengganti : Ali
Sastroaminoto II
Program kerja Kabinet Burhanuddin
Harahap antara lain:
·
Mengembalikan kewibawaan moral
pemerintah dalam hal ini kepercayaan angkatan darat dan masyarakat
·
Akan dilaksanakan pemilihan umum,
desentralisasi, memecahkan masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi
·
Perjuangan mengembalikan Irian Barat
ke RI
Hasil :
Penyelenggaraan pemilu pertama yang
demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955
(memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya
27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang
memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah
Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
Pemberantasan korupsi dengan menangkap para
pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat
dengan Kabinet Burhanuddin.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955
dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28
Oktober 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Banyaknya mutasi dalam lingkungan
pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Dengan
berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu
tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun
jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen
yang baru pula.
Ø Ali Sastroaminoto II
Berdiri
: 3 Maret 1956
Berhenti
: 14 Maret 1957
Partai : PNI
Penyebab : menyerakan
kembali mandatnya kepada presiden Soekarno.
Pengganti : Ir.
Djuanda
Program kerja Kabinet Ali
Sastromijoyo II antara lain:
·
Menyelesaikan pembatalan hasil KMB
·
Menyelesaikan masalah Irian Barat
·
Pembentukan provinsi Irian Barat
·
Menjalankan politik luar negeri
bebas aktif
Hasil :
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan
dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya
adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang
semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan
militer seperti Dewan Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera
Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan
Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena
pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan
masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia.
Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena
memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat
melindungi pengusaha nasional.
Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI.
Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai
tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan
asas demokrasi dan parlementer.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Mundurnya sejumlah
menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan
mandatnya pada presiden.
Ø Ir. Djuanda
Berdiri
: 9 April 1957
Berhenti
: 5 Juli 1959
Partai : Non Partai
Penyebab :
Dikeluarkannya Dekrit Presiden.
Program kerja Kabinet Karya disebut
Pancakarya yang meliputi:
·
Membentuk dewan nasional
·
Normalisasi keadaan RI
·
Melanjutkan pembatalan KMB
·
Memperjuangkan Irian Barat Kembali
ke RI
·
Mempercepat pembangunan
Hasil :
Mengatur kembali batas perairan nasional
Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan
laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan
Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh
dan bulat.
Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan
yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam
masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk
menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk
meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah
pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian
wilayah RI.
Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan
untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah
sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan
pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti
PRRI/Permesta.
Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin
buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal
mencapai puncaknya.
Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat
sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30
November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena
mengancam kesatuan negara.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi
Terpimpin.
Kehidupan demokrasi
liberal pada kenyataannya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan
tidak menguntungkan bagi perjuangan bangsa. Oleh karena itu, presiden soekarno
secara konsepsional mengemukakan dalam suatu siding bersama antara tokoh –
tokoh masyarakat dan pemimpin partai di Istana Merdeka pada tanggal 21
Februari 1957 yang berisi:
“Dalam suasana
kehidupan politik yang semakin memburuk, yaitu ditandai dengan meluasnya
pemberontakan – pemberontakan di daerah dan tidak tercapainya pemerintahan yang
stabil, meskipun telah dilakukan pemilihan umum”
Konsepsi presiden
soekarno yang dikenal dengan nama konsepsi presiden membuat pokok –pokok
penting berikut.
- Sistem
demokrasi parlementer secara barat tidak sesuai dengan kepribadian
Indonesia sehingga diganti menjad Demokrasi Terpimpin
- Untuk
pelaksanaan demokrasi terpimpin Indonesi perlu membentuk suatu kabinet
gotong royong dan konsepsi presiden ini menjelaskan tentang perlunya
pembentukan kabinet kaki empat ( PNI, Masyumi, NU, PKI )
- Pembentukan
dewan nasional yang terdiri atas golongan - golongan fungsional dalam
masyarakat.
2.3.3
PENANGGULANGAN KEAMANAN DI BERBAGAI DAERAH
a.
Gangguan Keamanan
dari luar negeri
Gangguan
keamanan yang terjadi di Indonesia ternyata tidak hanya bersumber dari dalam
negeri saja, tetapi juga dipengaruhi oleh campur tangan bangsa asing (terutama
oleh bangsa Belanda) yang kecewa atas kegagalan usahannya untuk menjajah
Indonesia. Jauh sebelum upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan RIS
yang dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda telah melakukan
gangguan keamanan dalam bentuk Agresi militer I
(1947) dan Agresi Militer II (1948).
(1947) dan Agresi Militer II (1948).
Upaya
Belanda lainnya adalah pembentukan negar-negara federal Belanda di Indonesia
seperti Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Pasundan, Negara Madura, Negara
Sumatera Timur (NST), Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur,dan
daerah-daerah otonom Belanda yang juga ikut serta menjadi pemicu berbagai
pergolakan di Indonesia. Pada pasca pengakuan kedaulatan, Belanda masih tidak
rela melepaskan kekuasaan ekonominya dalam bentuk perkebunan dan
perusahaan-perusahaan di Indonesia. Oleh karena itu, kaum colonial Belanda
berusaha mencegah masuknya pasukan APRIS dari TNI ke daerah-daerah itu. Usaha
yang dilakukan Belanda adalah dengan cara mendalangi gerakan pemberontakan
dalam bentuk:
Upaya
Belanda lainnya adalah pembentukan negara-negara federal Belanda di Indonesia
Gangguan Keamanan Pasca Kemerdekaan
ü
PERISTIWA
MADIUN
Peristiwa Madiun
adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September
sampai Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini
diawali dengan diproklamasikannya Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18
September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia
dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa
ini dinamakan Peristiwa Madiun, dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai
dinamakan Pemberontakan PKI Madiun. Bersamaan dengan itu terjadi penculikan
tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun yang tidak baik itu tokoh sipil
maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini.
Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini
sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde
Lama).
Tawaran bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda
berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun
tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer
Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi
tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik
Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah
membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung
berpihak kepada Amerika Serikat (dan bukannya kepada Uni Soviet).
Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka,
termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo
(Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat
kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang
diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang
ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N.
Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan
bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol
Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade
X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III, dan menjadi
Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten
Oentoeng Samsoeri
Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil
Indonesia di Praha, Muso, kembali dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus,
Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai
Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung
dengan Muso, antara lain Amir Sjarifuddin Harahap, Setyadjit Soegondo dan
kelompok diskusi Patuk.Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai
terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai.
Banyak reska perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di
Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.Pada 10 September 1948, mobil
Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa
pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut dibunuh dan
jenazahnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Moewardi dari golongan
kiri, diculik ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar yang
beredar ia pun juga dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah
yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang
namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun
Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi
Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh
Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan
doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori Domino.
Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh
komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis,
seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat
gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan
pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" sarangan, dekat Madiun
yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Soekiman Wirjosandjojo (Menteri Dalam
Negeri), Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Soekanto
Tjokrodiatmodjo, sedangkan di pihak Amerika Serikat hadir Gerald Hopkins
(penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang
mewakili Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan,
yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan
bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal
pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Soekanto berangkat
ke Amerika Serikat guna menerima bantuan untuk Kepolisian RI. Campbell yang
menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika Serikat di
Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency (CIA), badan
intelijen Amerika Serikat.
Selain itu dihembuskan isu bahwa Soemarsoso,
tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan
terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun
Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia
mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi
pemberontakan PKI. Dia mengatakan bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan
terhadap ancaman dari pemerintah pusat.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno
dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat
Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik
bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa
Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.
Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari
dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot
Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II
(Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi
Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah
pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur,
tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur,
di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada
pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu
2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat
dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat
dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan
yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan
kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan
diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap. Baru pada akhir
bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau
dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap,
mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan,
atas perintah Kol. Gatot Subroto.
Peristiwa Madiun 1948, Konspirasi Politik
Kaum Kolonialis / Imperialis Melikuidasi RI
Pada tanggal 29 Januari 1948 Kabinet Hatta
dibentuk dengan programnya:Melaksanakan hasil persetujuan Renville. Mempercepat
terbentuknya Negara Indonesia Serikat (berserikat juga dengan Belanda)
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang RI (RERA)
Pembangunan.Pemerintahan Hatta inilah yang dinilai oleh kaum kiri sebagai
pemerintahan yang paling tunduk dan akan menyerahkan kedaulatan RI kepada
Belanda, sehingga timbul ketidakpuasan yang luas terutama karena ada rencana
dari Hatta untuk merasionalisasi TNI kemudian membentuk tentara federal
bekerjasama dengan Belanda.
Mulai bulan Februari 1948 Kolonel A.H.
Nasution bersama Divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat menuju Yogyakarta
sebagai pelaksanaan dari perjanjian Renville kemudian ditempatkan tersebar di
wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur khususnya di daerah yang kekuatan
kaum kirinya cukup kuat seperti di Solo dan Madiun yang dimaksudkan untuk
persiapan membersihkan kaum kiri tersebut. Pasukan Siliwangi tersebut segera
menjadi pasukan elite pemerintah Hatta dengan kelengkapan tempur yang lebih baik
sehingga timbul iri hati pada pasukan di luar Divisi Siliwangi.- Pada bulan
April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang
Rasionalisasi dan Rekonstruksi.
Pada bulan Mei 1948 di Solo tentara Divisi
Panembahan Senopati melakukan demonstrasi menentang RERA.Pada tanggal 2 Juli
1948 komandan Divisi Panembahan Senopati Kolonel Sutarto dibunuh oleh tembakan
senjata api orang tak dikenal, kemudian diikuti dengan penculikan dan
pembunuhan terhadap beberapa orang kiri antara lain Slamet Widjaya dan Pardio
serta beberapa perwira dari Divisi Panembahan Senopati a.l. Mayor Esmara
Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Suradi, Kapten Supardi dan Kapten Mudjono diduga
kuat dilakukan oleh Divisi Siliwangi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan
Hatta, walaupun kemudian pembunuh Kolonel Sutarto ditangkap tetapi pemerintah
tidak mengadilinya bahkan oleh Jaksa Agung ketika itu malahan dibebaskan dengan
alasan tidak dapat dituntut secara hukum (yuridisch staatsrechtelijk).
Penculikan dan pembunuhan ini terus berlanjut terhadap orang-orang kiri maupun
anggota Divisi Panembahan Senopati sehingga menimbulkan keresahan dan suasana
saling curiga-mencurigai dan ketegangan tinggi.
Pada tanggal 21 Juli 1948 diadakan pertemuan
rahasia di Sarangan Jawa Timur antara Amerika Serikat yang diwakili oleh Gerard
Hopkins (penasihat urusan politik luar negeri) dan Merle Cochran (Wakil AS di
Komisi Jasa-Jasa Baik PBB) dengan 5 orang Indonesia yaitu: Wakil Presiden Moh.
Hatta, Natsir, Sukiman, R.S. Sukamto (Kapolri) dan Mohammad Rum yang
menghasilkan rencana kompromi berupa likuidasi bidang ekonomi, politik luar
negeri, UUD 45 dan juga Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) di bidang
Angkatan Perang dengan menyingkirkan orang-orang (pasukan) yang dicap sebagai
golongan kiri/merah, dan ini terkenal dengan Red Drive Proposal atau usulan
pembasmian kaum kiri.
Pada tanggal 13 September 1948 terjadilah
pertempuran antara Divisi Panembahan Senopati dibantu ALRI melawan Divisi
Siliwangi yang diperkuat pasukan-pasukan lain yang didatangkan ke Solo oleh
pemerintah Hatta.- Pada tanggal 15 September 1948 dilakukan gencatan senjata
yang disaksikan juga oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, petinggi-petinggi
militer RI dan juga Residen Sudiro. Divisi Panembahan Senopati mentaati
gencatan sejata namun lawan terus melakukan aksi-aksi yang agresif dan
destruktif. Sementara itu sebagian anggota Politbiro CC PKI yang tinggal di
Yogyakarta memutuskan untuk berusaha keras agar pertempuran di Solo
dilokalisasi dan mengutus Suripno untuk menyampaikan hal tersebut kepada Muso,
Amir Syarifudin dan lain-lain yang sedang keliling Jawa. Rombongan Muso
menyetujui putusan tersebut. Jadi dalam hal ini kebijaksanaan PKI sesuai atau
sejalan dan menunjang kebijakan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sementara
itu penculikan-penculikan dan pembunuhan terhadap orang-orang dan personil
militer golongan kiri semakin mengganas dengan puncaknya pada tanggal 16
September 1948 markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Jalan Singosaren
Solo diserbu dan diduduki oleh kaki tangan Hatta (Siliwangi) sehingga
pertempuran Solo semakin menghebat.- Aksi pembersihan orang-orang kiri ini
tidak hanya terjadi di Solo tetapi meluas ke Madiun dan daerah lainnya dan
hasil RERA ini TNI yang tadinya berkekuatan 400.000 hanya tinggal 57.000.
Sementara itu ancaman Belanda masih di depan mata terbukti kemudian dengan
Agresi Militer Belanda ke II. Oleh pemerintah Hatta didatangkanlah ke Madiun
pasukan-pasukan Siliwangi yang langsung menduduki beberapa pabrik gula,
mengadakan latihan-latihan militer serta menindas para buruh pabrik gula dengan
membunuh seorang anggota Serikat Buruh Gula bernama Wiro Sudarmo serta
melakukan pemukulan-pemukulan dan intimidasi terhadap para buruh. Penempatan
pasukan ini tidak dilaporkan kepada komandan Teritorial Militer setempat
sehingga menimbulkan keteganga dan kemudian kesatuan militer setempat yaitu
Brigade 29 atas persetujuan Komandan Teritorial Militer setempat bergerak melucuti
pasukan Siliwangi.
Dalam keadaan panas, kacau dan tak terkendali
itu, karena Residen Madiun tidak ada di tempat dan Walikota sakit, maka pada
tanggal 19 September 1948 Front Demokrasi Rakyat (FDR) mengambil prakarsa untuk
mengangkat Wakil Walikota Madiun Supardi sebagai pejabat residen sementara dan
pengangkatan ini telah disetujui baik oleh pembesar-pembesar sipil maupun
militer dan dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta serta dimintakan
petunjuk lebih lanjut. Peristiwa inilah yang mengawali apa yang disebut sebagai
“Peristiwa Madiun “.
Pada tanggal 19 September 1948 malam hari
pemerintah Hatta menuduh telah terjadi “Pemberontakan PKI” sehingga
dikerahkanlah kekuatan bersenjata oleh Hatta untuk menumpas dan menimbulkan
konflik horisontal dengan korban ribuan orang terbunuh, baik golongan kiri,
tentara maupun rakyat golongan lain. Pada tanggal 14 Desember 1948 sebelas
orang pemimpin dan anggota PKI dibunuh di Dukuh Ngalihan Kelurahan Halung
Kabupaten Karanganyar Karesidenan Surakarta pada jam 23.30 yaitu: 1. Amir
Syarifudin, 2. Suripno, 3. Maruto Darusman, 4. Sarjono, 5. Dokosuyono, 6. Oei
Gee Hwat, 7. Haryono, 8. Katamhadi, 9. Sukarno, 10. Ronomarsono, 11. D. Mangku.
Sementara itu lebih kurang 36.000 aktivis revolusioner lainnya ditangkap
dimasukkan dalam penjara dan sebagian dibunuh tanpa proses hukum a.l. di
penjara Magelang 31 anggota dan simpatisan PKI, di Kediri berpuluh-puluh orang
termasuk Dr. Rustam, anggota Fraksi PKI dan BP KNIP, di Pati antara lain Dr.
Wiroreno dan banyak lagi yang lainnya.
Berdasarkan fakta pada saat Amir Syarifudin
menjadi Perdana Menteri dan memimpin pemerintahan, karena dikhianati dalam
Perjanjian Renville maka secara kesatria dan demokratis menyerahkan kembali
mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno, sehingga sangat naif menuduhnya
bersama golongan kiri melakukan pemberontakan dan membentuk pemerintahan
Soviet-Madiun. Amir Syarifudin bekas Perdana Menteri Republik Indonesia yang
juga berada di kota itu (Madiun) telah membantah segala sesuatu yang disiarkan
dari Yogyakarta pada masa itu. Penjelasannya melalui radio, “Undang-Undang
Dasar kami adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, bendera kami adalah
Merah Putih dan lagu kebangsaan tidak lain dari Indonesia Raya”, seperti
disiarkan pada tanggal 20 September 1948 oleh Aneta, kantor berita Belanda di
Indonesia. Bahwa kolaborasi antara pemerintah Hatta dengan pihak kolonialis
Belanda maupun imperialis Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya telah
berhasil memecah belah persatuan dan kesatuan serta membelokkan jalannya
revolusi Indonesia.
Pada tanggal 19 Desember 1948 itu pula
Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta dengan perlengkapan perang bantuan
Amerika, hal itu terjadi setelah politik Red Drive Proposal sukses dilaksanakan
oleh pemerintah Hatta demi tercapainnya persetujuan Roem-Royen yang merugikan
RI yang dilanjukan dengan terselenggaranya Konferensi Meja Bunda (KMB) yang
dimulai pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949, dan kemudian
lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusi RIS-nya dan hasil
yang sangat merugikan Indonesia a.l. Irian Barat masih di tangan Belanda dan
hutang Hindia Belanda sebesar US$1,13 milliar menjadi tanggungan RI (hutang ini
antara lain adalah biaya untuk memerangi RI), juga terjadi penurunan pangkat
dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) bila menjadi APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat).
Pada tahun 1954, meskipun sudah kadaluwarsa,
Aidit dihadapkan pada pengadilan di Jakarta mengenai Peristiwa Madiun. Dalam
hal ini PKI dituduh mengadakan kudeta. Dasarnya adalah pidato Hatta yang
menyatakan entah benar entah tidak bahwa PKI mendirikan negara Soviet di Madiun
dengan mengangkat wakil walikota Supardi jadi Residen sementara untuk mengisi
kekosongan. Ini dianggap melanggar KUHP pasal 310 dan pasal 311. Dalam
persidangan Aidit, diminta agar Moh. Hatta tampil sebagai saksi. Jaksa
menyatakan keberatan atas pembuktian yang akan diajukan oleh Aidit, maka jaksa
harus mencabut tuduhan pasal-pasal tersebut di atas. Pada akhirnya keberatan
jaksa dan tuduhan terhadap Aidit melanggar pasal 310 dan pasal 311 KUHP
dicabut. Karenanya Aidit tak dapat dituntut dan bebas tanpa syarat.Kesimpulan
dari peristiwa Madiun : Pihak imperialis kolonialis pimpinan Amerika Serikat
dalam menerapkan politik pembersihan kaum kiri (Red Drive Proposal) di
Indonesia sebagai bagian makro politiknya untuk membendung komunisme, telah
mempengaruhi pemerintah Hatta agar mau membersihkan orang-orang kiri
(komunisme) dari pemerintahan, terutama dari Angkatan Perang sebagai salah satu
syarat mutlak pengakuan negara Republik Indonesia oleh dunia internasional
(pihak barat). Pemerintah Hatta menerima dan melaksanakan tawaran tersebut
antara lain dengan membuat program Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) di
lingkungan angkatan perang yang kemudian menimbulkan gelombang penolakan yang
luas. Untuk meredam penolakan tersebut dilakukan upaya-upaya yang sistematis,
antara lain dengan melakukan teror berupa pembunuhan, penculikan, penahanan,
dan intimidasi lainnya terutama kepada kaum kiri, yang kemudian dikenal dengan
Peristiwa Solo. Peristiwa Madiun sama sekali bukanlah pemberontakan PKI apalagi
fitnah bahwa PKI telah mendirikan Negara Soviet Madiun, tetapi merupakan
rekayasa jahat pemerintah Hatta guna mendapatkan momen (kondisi dan situasi) yang
tepat untuk dapat digunakan sebagai dalih (dasar) untuk menyingkirkan
(membasmi) golongan kiri dari pemerintahan maupun angkatan perang, yang
kemudian mendapat perlawanan dari rakyat yang konsekuen anti
kolonialis/imperialis.
ü
DARUL
ISLAM
NEGARA ISLAM INDONESIA
Negara Islam
Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang
artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang
diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam
kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah,
Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik
Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di
masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan
agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang
berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi
dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam"
dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi
Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat
undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras
terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan
"hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa
Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan
dan Aceh.
Gerakan DI/TII SM Kartosuwirjo
Penandatanganan Perjanjian Renville pada
tanggal 17 Januari 1948 sebagai salah satu upaya untuk mengakhiri pertikaian
Indonesia Belanda, ternyata telah menimbulkan dampak baru terhadap fase perjuangan
bangsa Indonesia dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang
dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Penandatangan perjanjian tersebut tidak
saja mempunyai akibat di bidang politik, melainkan juga berpengaruh di bidang
militer Negara RI, sebagai konsekwensi logis dari hasil kristalisasi
nilai-nilai pertemuan antara pihak-pihak yang mengadakan perundingan.
Kondisi ini dijelaskan oleh Disjarahad (1982)
bahwa di dalam bidang politik pemerintahan RI dapat kita lihat dengan jelas.
Daerah RI sesuai dengan keputusan Linggajati hanya meliputi pulau Jawa, Sumatra
dan Madura semakin dipersempit, lebih-lebih lagi beberapa kota besar dari
ketiga pulau tersebut di atas diduduki Belanda. Sedangkan dalam bidang militer,
pasukan-pasukan RI harus mundur dari kantong-kantong perjuangan menuju wilayah
yang masih dikuasai republic. Hal ini senada dengan pernyataan Kahin (1995)
bahwa pasukan-pasukan terbaik republik harus meninggalkan banyak kantong
gerilya yang mereka duduki di balik garis Van Mook dan pindah ke wlayah yang
masih dikuasi oleh republic.
Menurut perjanjian Renville, daerah Jawa
Barat dala hal ini adalah daerah yang terletak di luar wilayah RI. Hijrahnya
pasukan Siliwangi dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju wilayah
Jawa Tengah yang dikuasai RI, telah menimbulkan adanya suatu kekosongan
pemerintahan RI di Jawa Barat. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan sebuah
kesempatan oleh apa yang dinamakan Gerakan DI/TII untuk mendirikan Negara Islam
Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, Anne Marie The (1964) menyatakan bahwa
masa vacuum (kekosongan) pemerintah RI di Jawa Barat tidak disia-siakan oleh
Kartosuwirjo untuk menjadikan idenya suatu kenyataan. Sedangkan Kahin
menyatakan bahwa akhirnya di Jawa Barat, di daerah yang terletak di luar
wilayah menurut ketentuan Perjanjian Renville ada suatu organisasi politik yang
baru terbentuk tapi kuat dan juga mencita-citakan kemerekaan republic.
Organisasi tersebut tidak mengakui Perjanjian Renville dan tidak mau berperang
melawan Belanda, dikenal dengan nama Darul Islam.
Darul Islam (dalam bahasa Arab dar al-Islam),
secara harfiah berarti ”rumah” atau “keluarga” islam, yaitu “dunia atau wilayah
Islam”. Yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah bagian dari wilayah Islam
yang di dalamnya keyakinan dan pelaksanaan syariat Islam serta peraturannya
diwajibakan. Lawannya adalah Darul Harb, yakni “wilayah perang, dunia kafir”,
yang berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam dar al Islam.
Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh SM
Kartosuwirjo ini memang merupakan suatu gerakan yang menggunakan motif-motif
ideology agama sebagai dasar penggeraknya, yaitu mendirikan Negara Islam
Indonesia. Adapun daerah atau tempat Gerakan DI/TII yang pertama dimulai di
daerah pegunungan di Jawa Barat, yang membentang sekitar Bandung dan meluas
sampai ke sebelah timur perbatasan Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke
bagian-bagian lain di Indonesia. Perbedaan-perbedaan ideologis mengenai dasar
Negara sebenarnya telag ada sebelum proklamasi Negara Islam Indonesia itu
sendiri. Namun adanya musuh bersama, dalam hal ini Belanda, mendorong para
pemimpin bangsa Indonesia untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan ideologis
tersebut. Van Dijk (1995) menyatakan bahwa melucuti kesatuan-kesatuan Jepang
yang mundur, menentang campur tangan Inggris dan menentang kembalinya Belanda
meminta perhatian setiap orang sepenuhnya dan untuk sementara menggeser
perbedaan-perbedaan ideologis ke latar belakang.
Kristalisasi dari gerakan ini semakin nyata
setelah ditanda tanganinya Perjanjian Renville. Adapun upaya-upaya yang
dilakukan SM. Kartosuwirjo untuk membentuk Negara Islam, pertama-tama adalah
dengan mengadakan Konferensi di Cisayong Tasikmalaya Selatan tanggal 10-11
Februari 1948. Keputusan yang diambil adalah merubah system ideology Islam dari
bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, yaitu menjadikan Islam sebagai
ideology Negara. Konferensi kedua diadakan di Cijoho tanggal 1 Mei 1948, dimana
hasil yang dicapai adalah apa yang disebut Ketatanegaraan Islam, yaitu
dibentuknya suatu Dewan Imamah yang dipimpin langsung oleh SM. Kartosuwirjo.
Selain itu disusun semacam UUD yang disebut Kanun Azazi, yang menyatakan
pembentukan Negara Islam Indonesia dengan hokum tertinggi Al-Quran dan Hadist
(PInardi 1964). Adanya Aksi Polisional Belanda yang melancarkan Agresi Militer
II tanggal 18 Desemer 1948, tampaknya semakin mempercepat kea rah pembentukan
Negara Islam Indonesia, dimana Agresi MIliter Belanda II tersebut telah
berhasil merebut ibukota RI Yogyakarta dan menawan Presiden, Wapres beserta
sejumlah Menteri. Momentum inilah yang kemudian dianggap sebagai kehancuran RI,
dan kesempatan tersebut digunakan untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang
diproklamirkan tanggal 7 Agustus 1949. Peristiwa tersebut merupakan titik
kulminasi subversi dalam negeri pada masa itu.
Satu hal yang menarik dari gerakan ini
dibandingkan dengan gerakan separatisme lainnya, adalah perkembangannya yang
cukup lama di atas wilayah yang cukup luas. Keuletan ini tidak terlepas dari
factor-faktor yang mempengaruhi munculnya gerakan DI/TII, yang kemudian
mendorong sebagian rakyat untuk ikut mendukung gerakan itu, yang akhirnya
memberi kekuatan dan keuletan pada Gerakan DI/TII selama hampir 13 tahun.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan
in ternyata hanya menimbulkan penderitaan dan penindasan terhadap rakyat.
Kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada rakyat seringkali menjadi sumber
penderitaan dari kekejian yang semena-mena. Kahin (1995) dalam hal ini
menyatakan bahwa kerja sama perani dengan Darul Islam makin lama makin
disebabkan oleh terror yang dilakukan Darul Islam dan petani tidak mendukung
organisasi tersebut karena nasonalisme dan agama. Namun rakyat kota relative
lebh reada. Lebih buruk keadaannya di pedalaman, tempat desa-desa diserbu,
dalam beberapa daerah sangat sering barang-barang dan hasil panen dirampas, dan
rumah, jembatan, mesjid dan lumbung padi dibakar atau dimusnahkan. Tidak
sedikit penderitaan yang ditanggung rakyat Jawa Barat khususnya, karena gerakan
ini melakukan terror terhadap mereka. Untuk kepentingan gerakannya mereka
merampok rakyat yang tinggal dipelosok-pelosok terpencil di lereng gunung,
sehingga menurut Ricklef (1995) sulit membedakan gerakan DI dari tindak
perampokan, pemerasan, dan terorisme dalam ukuran luas. Kondisi yang demikian
mau tidak mau menjadi suatu masalah yang seriusdalam kehidupan bangsa
Indonesia. Kekacauan-kekacauan politik yang terjadi pada masa itu, ternyata
telah menimbulkan dampak yang luas dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang
lain seperti social, budaya, dan ekonomi (Ismaun 1997).
Gerakan DI/TII akhirnya tetap menjadi sebuah
pemberontakan daerah, sampai akhirnya SM. Kartosuwirjo tertangkap tanggal 4
JUni 1962 dalam sebuah operasi yang bernama Pagar Betis. Dengan penangkapan dan
pelaksanaan hukuman mati terhadap SM. Kartosuwirjo, maka berakhirlah
pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat selama lebih dari 10 tahun. Namun
hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mudah dilupakan, katena walau
bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat
biasa, melainkan juga sebuah tragedy dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara
ü
Gerakan
DI/TII Daud Beureueh
Pemberontakan DI/TII
di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh
merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam
Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan
sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi
militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer
ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat
pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas
Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh
juga berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah
Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat
mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara
dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera
dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan
perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh
ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada
bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel
Jendral Makarawong.
ü
Gerakan
DI/TII Ibnu Hadjar
Pada bulan Oktober
1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang
dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan
menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII
tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan
diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu
Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri
dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan
pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959
Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
ü
Gerakan
DI/TII Amir fatah
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani
lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian
sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut
disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara
Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia
Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa
aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah
terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat
Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut,
Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para
pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah
dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah
Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor
Wongsoatmojo.
ü
Gerakan
DI/TII Kahar Muzakkar
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan
Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat.
Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan
kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade
Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara
mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil
kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional
(CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium
VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan
membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah
nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian
dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965,
Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku
tembak.
ü
REPUBLIK
MALUKU SELATAN
Republik Maluku
Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950
dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu
Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah
Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka
RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai
pemerintahan di pengasingan, Belanda
Sejarah
Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris
diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang di
antaranya adalah Dr. Chr.R.S. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur
yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.
Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang
diketuai Dr. J. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi
yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan
pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata.
Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI
mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya
di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah,
memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah. Pemberontakan ini berhasil
digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS
mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan,
tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang),
mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di
pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS
di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di
Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di
pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah
mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS
yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang
antipati terhadap Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring
dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur
yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut
soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS (bermimpi) tidak menutup kemungkinan
Maluku akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan
utama adalah meraih kemerdekaan penuh [2].
Pemimpin
Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di
Belanda adalah Prof. Johan Manusama, pemimpin kedua Frans Tutuhatunewa turun
pada tanggal 25 april 2009. Kini John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan
di Belanda. Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di
Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan
dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
Dukungan
Mayoritas penduduk Maluku pada saat RMS
didirikan beragama Islam dan Kristen secara berimbang, Namun dengan adanya
budaya "Pela Gandong", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku,
seluruh lapisan dan segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik
ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu.
Demikian saat itu RMS.[rujukan?] berbeda dengan sekarang, sudah banyak
pendatang-pendatang baru dari daerah Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, Jawa
Madura maupun daerah lainnya di Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil lah
masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di
Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku
kontemporer melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram
dan ancaman bagi perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan
setelah perisitiwa kerusuhan Ambon.
RMS di Belanda
Oleh karena kemerdekaan RMS yang di
Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April 1950 di
kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka
Pemerintah RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan berdirinya
Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah RI, sehingga
semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau
Jawa.
Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh
militer Pemerintah RI, maka para pimpinan teras RMS tersebut, ber-inisiatif
untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda, kepindahan para pimpinan RMS ini
mendapat bantuan sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada saat itu. Dengan
adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk mengangkut sebagian
besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka
sebagian besar rakyat di Maluku yang beragama kristen, memilih dengan
kehendaknya sendiri untuk pindah ke Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih
dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri Belanda. Pindahnya
sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno-Hatta, diissukan sebagai
"pengungsian para pendukung RMS", lalu dengan dalih pemberontakan,
pemerintah RI menangkapi para Menteri RMS dan para aktifisnya, lalu mereka
dipanjarakan dan diadili oleh pengadilan militer RI, dengan hukuman berat
bahkan dieksekusi Mati.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan
semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar
Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan
para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat
pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua aktivitas
rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh
pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa
Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan
Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS membentuk
apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS,
Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen
pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda sebagai protes
terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda dikatakanlah
peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis RMS di Belanda. Ada
yang mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah Belanda menarik
dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini
dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh
hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di lansir Press
Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS menyandera 70
warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen-Wassenaar.
Selama tahun 70an, teror seperti ini
dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan RMS, seperti kelompok Komando
Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu
dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta api
dan menyandera 38 penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan yang
tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah dan
di saat yang sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api. Sejak tahun
80an hingga sekarang aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.
Kerusuhan
Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara
1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan
dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat
Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan
kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang
tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.
Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen
aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional
yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu
asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan
sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun
sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini,
namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat
keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena para
penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk
dilumpuhkan oleh aparat. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang
diselidiki. Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan
mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang
dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror.
ü
ANDI
AZIS
Peristiwa Andi Azis Adalah upaya
pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, seorang bekas perwira KNIL untuk
mempertahankan keberdaan Negara Indonesia Timur, dan enggan Kembali ke Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Awal gerakan
Andi Azis adalah seorang bekas Perwira KNIL
yang bergabung Ke APRIS. Ia diterima masuk APRIS. Pada hari pelantikanya
disaksikan oleh Letkol Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia
Timur. Setelah itu ia menggerakan pasukannya menyerang markas TNI dan menawan
sejumlah perwira TNI termasuk Mokoginta Setelah menguasai Makassar, ia
menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan. Ia menuntut agar
anggota APRIS bekas KNIL bertanggung jawab atas keamanan di wilayah Indonesia
Timur Pada 8 April 1950 pemerintah mengultimatum yang isinya Andi Azis untuk
datang ke Jakarta dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan Waktu 4 x 24
jam namun tidak diindahkan. Setelah batas waktu terlewati, pemerintah
mengirimkan pasukan di bawah Kolonel Alex Kawilarang dan hasilnya Pada Tanggal
15 April 1950 ia datang ke Jakarta untuk Menyerahkan diri.
Pertempuran Makassar 1950
Usai Penyerahan Kedaulatan (Souvereniteit
Overdracht) pada tanggal 27 Desember 1949, dalam negeri Republik Indonesia
Serikat mulai bergelora. Serpihan ledakan bom waktu peninggalan Belanda mulai
menunjukkan akibatnya. Pada umumnya serpihan tersebut mengisyaratkan tiga hal.
Pertama, ketakutan antek tentara Belanda yang tergabung dalam KNIL, yang
bertanya-tanya akan bagaimana nasib mereka setelah penyerahan kedaulatan
tersebut. Kedua, terperangkapnya para pimpinan tentara yang jumlahnya cukup
banyak dalam penentuan sikap dan ideologi mereka. Utamanya para pimpinan
militer didikan dan binaan Belanda. Terahir, masih banyaknya terjadi dualisme
kepemimpinan dalam kelompok ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan
kelompok pejoang gerilya. Walaupun sejak bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah
mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik yang tergabung
dalam biro perjoangan maupun yang lepas berada dalam satu wadah dan satu komando
yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga hal tersebut semakin mengental
pada daerah yang masih kuat pengaruh Belandanya.
Salah satu daerah dimaksud adalah wilayah
Sulawesi Selatan. Tiga peristiwa di tahun 50 yang terjadi dikota Makassar dan
wilayah Sulawesi Selatan memperlihatkan kekentalan tersebut. Peristiwa pertama
terjadi pada tanggal 5 April 1950 yang terkenal sebagai peristiwa Andi Azis.
Peristiwa kedua yang terjadi pada tanggal 15 Mei 1950 dan ketiga yang terjadi
pada tanggal 5 Agustus 1950. Dalam ketiga peristiwa tersebut yang menjadi
penyebabnya selalu permasalahan mengenai kegamangan tentara KNIL akan nasib
mereka. Sedangkan 2 peristiwa terahir menjadi tolak ukur dari kegamangan
tersebut. Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam pertemuan
pers mengatakan bahwa tidak heran dengan terjadinya peristiwa paling ahir pada
tanggal 5 Agustus 1950 (Sin Po 8/8/50). Rentetan ketiga peristiwa di Makassar
tersebut agaknya selalu bermula dari upaya-upaya para anggota KNIL (kemudian dilebur
dalam KL) untuk mengacaukan kehidupan rakyat di Makassar sekaligus berupaya
untuk memancing tentara APRIS memulai serangan kepada mereka. Tidak kalah ikut
menentukan suasana panas dikota Makassar adalah persoalan tuntutan masyarakat
untuk segera menuju negara kesatuan. Tentu saja gerakan rakyat ini tidak saja
terjadi di Indonesia Timur, tapi juga di Jawa Timur, Pasundan, Sumatera Timur
dan berbagai daerah lainnya.
Pemerintah RIS dalam hal ini atau setidaknya
banyak fihak dalam kabinet dan Parlemen sangat memberi angin menuju Negara
Kesatuan.Rencana kedatangan tentara APRIS ke Makassar nampaknya terlalu
dibesar-besarkan semata-mata karena rasa takut akan menguntungkan fihak
pemerintah pusat (RIS). Oleh karena itu bukan tidak mungkin pemberontakan Andi Aziz
adalah rekayasa politik fihak KNIL akibat provokasi tokoh-tokoh anti RIS dalam
pemerintahan Negara Indonesia Timur. Andi Aziz sendiri diyakini banyak fihak
adalah seorang anggota militer dengan pribadi yang baik. Namun dalam sekala
kesatuan militer KNIL di Sulawesi Selatan dirinya lebih condong sebagai boneka.
Tampak bahwa Kolonel Schotborg dan jakasa agung NIT Sumokil adalah pengendali
utama kekuatan KNIL dikota Makassar. Dari hasil pemeriksaan Aziz dalam sidang
militer yang digelar tiga tahun kemudian (1953), saksi mantan Presiden NIT
Sukawati dan Let.Kol Mokoginta tidak banyak meringankan terdakwa yang pada
ahirnya dihukum penjara selama 14 tahun. Dalam persidangan tersebut terdakwa
mengaku bersalah, tidak akan naik appel tapi merencanakan minta grasi kepada
Presiden. Ketika sedang berlangsungnya pemberontakan Andi Aziz di Makassar,
untuk mengantisipasinya Pemerintah RIS di Jakarta telah membentuk pasukan
gabungan Expedisi Indonesia Timur. Pasukan ini terdiri dari batalyon ADRIS dari
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur didukung oleh AURIS, ALRIS dan
Kepolisian.
Sebagai pimpinan Komando ditunjuk Kolonel A.E
Kawilarang Panglima TT Sumatera Utara. Ketika pasukan besar ini sedang
dipersiapkan keberangkatannya, telah lebih dahulu diberangkatkan batalyon
Worang yang tiba di Sulawesi Selatan pada tanggal 11 April 1950. Meskipun
Worang tidak dapat langsung mendarat di Makassar tapi di Jeneponto yang
letaknya 100 km keselatan, rakyat menyambutnya dengan sukacita. Sebuah foto
yang disiarkan majalah Merdeka terbitan 13 Mei 1950 menggambarkan hal tersebut.
Terlihat 3 orang anggota tentara APRIS yang berjalan menuju kerumunan massa
dimana dilatar belakang tampak spanduk bertuliskan “ SELAMAT DATANG TENTARA
KITA”. Pertempuran besar memang tidak terjadi antara pasukan APRIS Worang
dengan KNIL di Makassar bahkan Andi Aziz ahirnya mau menyerah guna memenuhi
panggilan Pemerintah Pusat di Jakarta meskipun telah melampaui batas waktu 4 X
24 Jam untuk mendapat pengampunan. Menyerahnya Andi Azis kemungkinan besar
karena kekuatan pendukung dibelakangnya sudah tidak ada lagi yaitu Sumokil yang
sudah terbang ke Ambon via Menado dan Kolonel Schotborg yang siap dimutasi
untuk pulang ke Belanda. Setelah Andi Aziz menyerah, banyak tentara dari bekas
infantri KNIL yang tidak tahu lagi siapa pemimpin mereka dan bagaimana nasib
mereka selanjutnya. Sementara untuk bergabung dengan APRIS belum ada ketentuan
karena belum ada peraturan resmi yang akan membubarkan KNIL (KNIL bubar tgl 27
Juli 1950). Tak heran mereka kemudian memprovokasi rakyat dan kemudian memulai
serangan terhadap pos-pos tentara APRIS.
Menjelang pertempuran yang terjadi antara
pasukan KNIL dengan pasukan APRIS pada tanggal 15 Mei 1950 bermula ketika
banyak anggota KNIL menurunkan bendera merah putih disekitar kampemen tempat
anggota KNIL berdiam. Peristiwa penurunan bendera Sang Saka merah Putih itu
terjadi bersamaan degan tibanya Presiden RIS Soekarno dikota Makasasar yang
memulai lawatannya ke Sulawesi. Setelah Merah Putih diturunkan berlanjut dengan
coretan tembok rumah rakyat dan spanduk disekitar kampemen KNIL berisi tulisan
yang memojokkan Negara Republik Indonesia Serikat. Peristiwa ini juga kemudian
berkaitan dengan ditembaknya seorang Perwira APRIS oleh tentara KNIL. Peristiwa
diatas memicu ketegangan yang memunculkan ketidak sabaran anggota APRIS
terhadap tindakan dan ulah provokasi KNIL. Rakyat yang diprovokasi tidak sabar
menunggu komando untuk menyerang KNIL. Pasukan pejoang gerilya dibawah batalyon
Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah mempersiapkan diri untuk hal
tersebut. Sementara tentara KNIL sudah semakin mengeras upayanya untuk
menghancurkan kekuatan APRIS untuk menguasai Makassar. Maka pada tanggal 15 Mei
1950 terjadilah pertempuran besar dikota Makassar. Pasukan KNIL menyerbu
barak-barak APRIS, membakar rumah rakyat, menghancurkan rumah dan toko-toko
didaerah pecinaan. Sekitar Makassar penuh dengan api, bau anyir darah dan
berbagai desing senjata.
Serangan KNIL ini memang sudah diwaspadai
APRIS. Tentara APRIS kemudian membalas serangan dan bersamaan dengan itu
pasukan pejoang gerilya dari Batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah
turun dari dua kota pangkalan mereka di Polobangkeng dan Pallangga yang
terletak disekitar kota Makassar. Seketika suasana medan laga telah berubah.
Pasukan APRIS bersama dua batalyon pejoang tersebut dan rakyat Makassar
menyerang balik tentara KNIL. Dalam keadaan demikian inilah Kolonel AH Nasution
selaku Kepala Staf ADRIS bersama dengan Kolonel Pereira selaku Wakil Kepala
Staf KNIL tiba di Makassar. Kedua pucuk pimpinan tentara ini kemudian meninjau
keadaan dan berunding. Pada tgl 18 Mei 1950 wakil dari APRIS yaitu Overste
Sentot Iskandardinata dan Kapten Leo Lopolisa berunding dengan wakil dari KNIL
yaitu Kolonel Scotborg, Overste Musch dan Overste Theyman yang disaksikan oleh
Kolonel AH Nasution serta Kolonel AJA Pereira. Perundingan menghasilkan dua
keputusan penting yaitu dibuatnya garis demarkasi serta tidak diperbolehkannya
kedua tentara APRIS dan KNIL untuk mendekati dalam jarak 50 meter. Untuk
sementara keadaan dapat diamankan. Perundingan pertama ini detailnya
menghasilkan persetujuan untuk melokalisir tentara KNIL ditiga tempat . Namun
rupanya persetujuan dimaksud tidak ditaati. Antara menerangkannya sebagai
berikut : Tetapi persetujuan tinggal persetujuan. Maka pada hari selasa
pertempuran mulai lagi berjalan dengan sengit. Pertempuran yang paling sengit
terjadi diempat tempat. Yaitu tangsi KNIL di Mariso, sekitar tangsi KNIL
Matoangin, Boomstraat, sekitar Stafkwartier KNIL di Hogepad. Pertempuran sudah
berjalan tiga hari tiga malam lamanya tetapi belum juga berhenti (Kempen
1953:302).
Pada ahir Juli 1950 pasukan KNIL dibubarkan.
Muncul permasalahan baru. Mau dikemanakan para prajurit ex KNIL tersebut.
Sebagian memang dilebur kedalam KL, sebagian lagi menunggu untuk diterima
sebagai anggota APRIS. Namun masa penantian ini secara psikologis amat
merisaukan para anggota tentara KNIL. Pertama mereka dianggap rakyat sebagai
kaki tangan Kolonial Belanda, sementara disisi lain bekas majikannya tidak
mengindahkan nasib mereka. Tmbullah usaha provokasi baru yang antara lain
dilukiskan sebagai berikut : “Sesudah anggota KNIL di Makassar memperoleh
kedudukan sementara sebagai anggota KL pada tanggal 26 Juli 1950 keadaan tidak
bertambah baik, sebaliknya mereka terus menerus menimbulkan
kesulitan-kesulitan. Mereka antara lain menentang dengan kekerasan usaha
pimpinan tentara Belanda untuk menyerahkan alat tentaranya kepada tentara
Belanda. Mereka sering menganiaya penduduk. Bendera-bendera kebangsaan
(maksudnya Merah Putih) disekitar kampemen mereka turunkan dan ahir-ahir ini
mereka dengan kejam membunuh perwira Indonesia yang bereda dekat kampemen
ketika sedang mengunjungi keluarganya” (Antara 12/8/1950). Berbagai tindakan
provokasi yang dilakukan para eks KNIL ternyata tidak mendapat tanggapan
emosinal oleh APRIS. Sehingga terkesan APRIS terlalu sabar. Kesan sabar ini
tertimpakan pada pucuk pimpinan APRIS Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia
Timur Kolonel AE Kawilarang.
Pada saat itu Antara menulis : “Kemaren jam
17.00 Kawilarang telah mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil partai dan
organisasi di Makassar. Dikatakannya bahwa ia mengerti akan kekecewaan rakyat
terhadap tindakan APRIS yang oleh rakyat dianggap terlalu sabar dalam
menghadapi segala percobaan (masudnya dari fihak KNIL) tetapi dikatakannya
seterusnya bahwa dalam hal ini orang harus ingat bahwa APRIS adalah bagian
resmi dari Pemerintah sedangkan KNIL dipandang sebagai tentara tamu selama
mereka belum diorganisir dan semua itu terikat dalam perjanjian KMB yang harus
dihormati. Kami cukup kuat dan pasti dapat menyelesaikan segala sesuatu dengan
senjata tetapi dengan demikian keadaan akan bertambah kacau dan nama negara
kita dimata dunia akan surut.” (Antara 3/6/1950). Dua hal yang antagonis antara
provokasi yang dilakukan tentara KNIL dan kesabaran pucuk pimpinan APRIS
tersebut menimbulkan dilema dalam menetapkan kebijaksanaan yang akan diambil
APRIS selanjutnya. Apalagi kemudian rakyat Makassar semakin mempertajam sikap
mereka terhadap tentara KNIL dengan melakukan pemboikotan seluruh kegiatan
perdagangan dari dan ke markas-markas KNIL. Suasana tegang ini ibarat bisul
yang akan meletus sewaktu-waktu.
Agar APRIS tidak keliru mengambil langkah
dalam mengantisipasi ketegangan yang semakin tinggi pada tgl 5 Agustus 1950,
APRIS setuju untuk mengadakan perundingan dengan wakil militer Belanda di
Indonesia. Pertemuan yang diikuti oleh tiga wakil tentara Belanda dan dihadiri
pula oleh wakil dari UNCI, menyepakati sikap untuk mengendurkan ketegangan
melalui APRIS yang berjanji akan mengadakan pendekatan kepada rakyat agar
menghentikan boikot kepada tentara KNIL. Belum upaya mengendurkan itu dilakukan
oleh APRIS, hari itu pula pada pukul 17.20 selang 80 menit dari usainya
persetujuan tersebut tentara eks KNIL melakukan serangan sitematis keseluruh
barak dan asrama tentara APRIS. Tindakan yang kelewat batas tersebut dan
menghianati persetujuan, pantang ditolak oleh segenap pasukan APRIS, pejoang
gerilya yang tergabung dalam Divisi Hasanudin serta rakyat Makassar. Dalam tempo
sekejap memang tentara eks KNIL dapat menguasai medan pertempuran, namun
keadaan cepat berubah beberapa jam kemudian.
Pasukan APRIS yang didukung oleh kekuatan
Udara dan Laut menghantam terus menerus barak-barak eks tentara KNIL. Belum
lagi serangan-serangan dari pasukan Divisi Hasanudin dan rakyat. Tidak sampai 3
X 24 jam pasukan eks KNIL sudah terkepung dibarak-barak mereka. Ahirnya pada
tanggal 8 Agustus 1950 bertempat dilapangan terbang Mandai diadakan persetujuan
antara Kolonel AE Kawilarang yang mewakili APRIS dan Mayor Jendeal Scheffelaar
sebagai wakil Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Merka sepakat
agar seluruh anggota pasukan KL meninggalkan Makassar dan menyerahkan seluruh
perlengkapannya kepada APRIS. Bagi mereka yang menolak akan dikeluarkan dari
KL. Pada pukul 16.00 tanggal 8 Agustus dengan muka tertunduk malu dimulailah
pasukan KL meninggalkan Makassar diiringi cemooh segenap rakyat. Dan untuk
pertama kalinya sejak penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, pasukan
APRIS pantas bertepuk dada karena telah memenangkan perang dan mengusir pasukan
KL tampa syarat. Merah Putih telah tegak berdiri menggantikan Merah Putih Biru
untuk selama lamanya. Kemenangan ini tidak lepas dari dukungan seluruh rakyat
termasuk para pejoang gerilya yang telah bahu membahu berjoang dengan pasukan
APRIS.
Sebuah fenomena monumental yang mencatat
dengan tinta emas dalam buku sejarah Nasional kebesaran TNI. Walau bagaimanapun
TENTARA KITA pernah jaya dan akan tetap jaya untuk selama-lamanya. Hal ini antara
lain disebabkan karena pucuk pimpinannya sangat cermat dan memiliki kewaspadaan
serta kedalaman berfikir dalam mengatur strategi. Mungkin inilah kelebihan
Kolonel AE Kawilarang.
ü
APRA
ANGKATAN PERANG RATU ADIL
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil
atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950
dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL
Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus (Korps Speciaale
Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang
mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya
oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer
Belanda.
Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia
militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi
rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima
Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa
nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan
Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan
yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan
dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di
kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00
Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi
Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan
bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan
Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden
memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang
akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar
mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus
bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember
1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi
van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950,
Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu
ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian,
terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai
tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7
hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling
ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di
pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge
Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS
menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat
tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada
Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang
bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan
kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah
penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink masih
menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan
Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu
Westerling mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya,
mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya,
dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui
secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak
memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak
membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara
Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun
1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah
pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus
merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan
Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia
untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan
pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah
memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke
Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan
kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor
risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan
RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada
21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van
Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk
evakuasi pasukan RST.
Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah
menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat
telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor
KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi
"Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan
desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan
oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan
alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi
Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van
Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima
kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi
anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol. Sadikin.
Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140
orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara
telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon
telah desersi.
Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale
Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau telah terlambat untuk dilakukan.
Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana
tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari
1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL
T. Cassa menelepon. Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat
APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Westerling dan anak
buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94
anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong,
sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di
Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju
Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki
gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII
(Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga
serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah puas melakukan pembantaian di
Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke
tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24
Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang
didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap
Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan
besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi
meninggalkan hotel. Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan
untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada
Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu
Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi
para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling
bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda,
menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden
Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita
yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun
memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah
melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van
Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali
lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh
"de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).
b.
Gangguan keamanan
dari dalam Negeri
Berbagai gangguan keamanan dalam
bentuk pemberontakan yang muncul dari dalam negeri pasca pengakuan kedaulatan
Indonesia antara lain adalah usaha untuk mendirikan Negara Islam Indonesia
(NII) Oleh DI/TII pimpinan Kartosuwirjo, pemerintah Revolusioner Repubik
Indonesia (PRRI), dan Piagam Perjuangan semesta (PESMESTA)
ü
PEMERINTAHAN
REVOLUSIONER REPUBLIK INDONESIA
PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada
tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang
dipimpin waktu itu oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di kota Padang, provinsi
Sumatera Barat, Indonesia.
Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan
dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17
Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.
Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi
oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu
ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun
pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan
kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda, hal
ini juga mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan
berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar
pulau Jawa.
Dan sebelumnya bibit-bibit konflik tersebut
dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan
wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah
provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Namun apa
yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan[1] oleh
pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi
pemerintahan tandingan dan kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan
militer terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia.
Kabinet PRRI
Kabinet PRRI terdiri dari:
a. Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai
Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
b. Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam
Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
c. Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar
Negeri,
d. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo
sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
e. Moh. Syafei sebagai Menteri PPK dan
Kesehatan,
f. J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
g. Saladin Sarumpaet sebagai Menteri
Pertanian dan Perburuhan,
h. Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
i. Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
j. Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
k. Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan
Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang
Pasca PRRI
Pengaruh dari peristiwa ini juga menyebabkan
timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain[4] serta
kemudian menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebahagian besar
masyarakat Minangkabau masa tersebut yaitu melekatnya stigma pemberontak[5],
padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih
menentang kolonialis serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan
pemimpin-pemimpin nasionalis masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan
kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan
martabat yang begitu terhina dan dihinggapi psychology of the losers (psikologi
orang kalah)[6] serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku
peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang
mereka lakukan.
ü
Sejarah
Permesta
Pada pukul 07.00 diadakan pertemuan di ruang
rapat gedung Universitas Permesta di Sario Manado dengan tokoh² politik,
masyarakat dan cendikiawan. MC (moderator) saat itu adalah Kapten Wim Najoan.
Secara singkat, Panglima KDM-SUT memberikan gambaran tentang perkembangan di
Sumatera dan putusan dibentuknya PRRI. Selanjutnya Panglima KDM-SUT
memberitahukan pada rapat tersebut, putusan sbb:
"Permesta di Sulutteng menyatakan
solider dan sepenuhnya mendukung pernyataan PRRI. Oleh sebab itu, mulai saat
ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI Kabinet
Djuanda".
Tanpa dikomando hadirin bersama² berdiri dan
menyambutnya dengan pekik: "Hidup PRRI! Hidup Permesta! Hidup Somba!"
berulang². Setelah rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan
hubungan dengan pusat oleh 3 orang (Mayor Eddy Gagola, Kapten Wim Najoan,...),
maka pertemuan dibuka kembali dan teks tersebut dibacakan. Setelah itu emosi
hadirin meledak. Pekik "Hidup Permesta! Hidup PRRI! Hidup
Somba-Sumual!" menggema selama beberapa menit. Setelah itu Mayor Dolf
Runturambi bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara² setuju?"
Serentak dijawab: "Setuju! Setuju!". Kembali suasana dipenuhi oleh
antusiasme yang berapi², walau tampak beberapa orang yang tetap bungkam.
Kemudian diadakan pertemuan umum raksasa di Lapangan Sario Manado pada pukul
11.00. Letkol D.J. SOMBA selaku Panglima/Gubernur Militer KDM-SUT (Komando
Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah) atas nama rakyat dan tentara Sulutteng,
membacakan teks pemutusan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta. Isi dari
teks tersebut adalah:
"Rakyat sulutteng termasuk militer
solider pada keputusan PRRI
Dan memutuskan hubungan dengan pemerintah
RI"
Rapat Raksasa di Lapangan Sario
Overste DJ Somba: Putus hubungan dengan
Pusat. Kemudian, sebuah pesawat komersil Garuda dari maskapai penerbangan
nasional GIA yang baru tiba, dibiarkan terbang kembali- berangkat ke Jakarta
dan pada semua orang yang ingin segera meninggalkan Manado dengan pesawat
tersebut hari ini juga diberikan kelonggaran sepenuhnya. Sekalipun demikian,
banyak juga yang menemui Mayor Dolf Runturambi selaku Kastaf KDM-SUT untuk
meminta semacam surat pas buat naik pesawat GIA terakhir ini, supaya mereka
merasa aman.
Pukul 20.00 malam hari, Kastaf KDMSUT Mayor
Dolf Runturambi membacakan teks pemutusan hubungan dengan pusat dalam bahasa
Inggris melalui RRI (Radio Permesta). Kemudian oleh Pemerintah Pusat (dan tentu
saja PKI), gerakan ini disebut sebagai "pemberontakan PRRI/Permesta".
Pada saat itu Kolonel Permesta H.N.Ventje
Sumual sedang berada di Manila. Beberapa hari kemudian, KDMSUT menerima
radiogram bahwa Letkol Ventje Sumual telah bertolak ke luar negeri, Singapura,
Manila terus ke Tokyo (Sebelumnya diketahui oleh para perwira KDM-SUT bahwa
Letkol Sumual masih berada di Sumatera). Ia pergi bersama Mayor Jan M.J.
Pantouw (Nun), sedangkan Mayor Arie W. Supit ditugaskan untuk pergi ke Roma.
Hari itu juga Pemerintah Pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak
hormat atas Letkol H.N. Ventje Sumual (pangkat yang dinaikkan KSAD menjadi
Kolonel, namun belum dilantik secara resmi), Mayor D.J. Somba (Saat itu ia
telah menerima kenaikan pangkat otomatis Overste (Letkol) selaku Gubernur
Militer/KDM, tapi belum ada kenaikan pangkat resmi) dan Mayor Dolf Runturambi.
Beberapa hari kemudian KSAD memerintahkan
untuk menangkap Letkol D.J. Somba, Mayor Dolf Runturambi, Gubernur SUT H.D.
Manoppo dan Jan Torar. Sebetulnya, dengan memutuskan hubungan dengan pusat maka
gerakan Permesta sudah mati, karena hanya sekitar 16 dari 51 deklarator Piagam
Permesta saja yang berasal dari Sulawesi Utara yang meneruskan gerakan
Permesta. Istilah "Permesta" sendiri secara resmi tidak dipergunakan
lagi oleh pejabat sipil dan militer di Sulawesi Utara karena sudah menjadi
bagian (cabang) dari PRRI di Sumatera; tetapi dalam kenyataannya cabang
pemberontakan PRRI Sulawesi utara sering disebut PRRI/Permesta. Selain itu,
kata Permesta adalah kata bahasa baku yang dipergunakan oleh kalangan
masyarakat umum untuk menyebutkan gerakan ini, bahkan ada yang tidak mengetahui
sama sekali bahwa gerakan Permesta sudah dilebur ke dalam PRRI sedangkan yang
lainnya menyebutkan "PRRI" sebagai suatu gerakan pemberontakan lain
yang berdiri sendiri disamping gerakan Permesta (maupun DI/TII Kahar Muzakhar,
Daud Beureueh, dll).
Sejak saat itu, semua penduduk terutama kaum
muda, yang semula dikerahkan memanggul alat pembangunan, tiba² diminta berganti
peran. Pendaftaran mulai dilakukan dimana², baik untuk mendukung barisan pemuda
maupun untuk dinas militer Permesta. Latihan kemiliteran pun mulai tampak
dimana². Para pemuda, tak terkecuali gadis², mulai raib dari kampung². Mereka
ikut mendaftarkan diri, lalu dikirim ke pusat² latihan. (Kaum wanita Permesta
tergabung dalam Pasukan Wanita Permesta (PWP) dengan potongan rambut seperti
Kowad/Polwan).
Pendidikan dan latihan secara militer dengan
memakai senjata dipusatkan di daerah Mapanget, dilatih oleh para penasehat dari
Korps Marinir AS. Pendidikan dengan latihan tempur dalam satuan kompi dan
batalyon dilakukan di Remboken, Tompaso dan di daerah perbukitan Langowan.
Latihan di sana dipimpin oleh seorang Mayor AD Filipina dengan beberapa perwira
APRI (TNI) yang berpendidikan kompi. Sejumlah penasehat militer Amerika Serikat
diselundupkan ke Sumatera dan Minahasa. Berbagai macam persenjataan dikirimkan
lewat kapal dan sejumlah pesawat terbang (antara lain pesawat pengangkut DC-3
Dakota, pesawat pemburu Mustang F-51, Beachcraft, Catalina dan pembom B-26
Invander yang berada dibawah Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) dengan sekitar
40 awak pesawatnya) juga ikut diperbantukan. Mereka melancarkan kegiatan
tersebut dari Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Clark Airfield,
Filipina. Ada juga satuan kepolisian PRRI yang bernama Polisi Revolusioner
(Polrev), dan badan intelejen Permesta yang diberi nama Permesta Yard.
Kiriman pertama yang terdiri dari berbagai
senjata ringan serta amunisi untuk pasukan infanteri segera dikeluarkan dan
dibagi²kan. Beberapa pucuk mitraliur anti pesawat terbang segera dipasang di
tempat² strategis di sekitar daerah pelabuhan dan lapangan udara yang sudah
ditetapkan sebelumnya. Bersama kiriman persenjataan tersebut juga tiba beberapa
instruktur asing, sehingga latihan² pasukan baru dapat segera dimulai. Permesta
saat itu tidak pernah kekurangan senjata. Salah seorang pemasok peralatan
militer Permesta dari luar negeri yaitu Mayor Daan E. Mogot mengakui bahwa dari
Italia pernah menawarkan kapal perang, tetapi tidak pernah bisa diambil karena
alasan teknis. Demikian juga bantuan dana dan perbekalan, dengan mudah bisa
didapatkan dari Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan Filipina. Timbunan senjata
dan perlengkapan militer terkumpul di Okinawa dan di Filipina. Orang² PRRI dan
Permesta, Filipina, Cina, Amerika Serikat dan para sedadu sewaan 'dari negara²
lain' juga telah dilatih dan siap di Okinawa dan di Filipina untuk membantu
PRRI dan Permesta.
Sekitar satu peleton anggota RPKAD (sekarang
Kopassus) yang berasal dari Minahasa yang sedang cuti pulang kampung terjebak
Pergolakan. Pasukan Nicholas Sulu tersebut kemudian menjadi tulang punggung
WK-III di wilayah Tomohon. Selain itu ada juga sepasukan yang dipimpin oleh
bekas anggota RPKAD fam Lahe yang merekrut pemuda² di kampungnya dan membentuk
Kompi Lahe yang terkenal kejam akan pembantaian Pasukan Combat (kompi) Lahe di
Raanan dan Tokin: Peristwa itu didahului oleh Simon Ottay dari GAP (Gerakan
Anti Permesta) - yaitu salah satu organisasi bentukan komunis (PKI) yang
menyamar dengan memakai pangkat Kapten Permesta (APREV) mendaftarkan penduduk
dari kedua desa tersebut untuk menjadi "anggota" Pasukan Permesta.
Setelah ia lari karena diburu pasukan PRRI (Permesta), didapatilah daftar
"anggota" tersebut. Tanpa pemeriksaan, langsung saja Kompi Lahe yang
dipimpin oleh Montolalu membantai penduduk kedua desa tersebut. Karena tindakan
ini dinilai sebagai kejahatan kemanusiaan dan hukum (tanpa pemeriksaan secara
saksama), maka Lahe dan Montolalu dikejar pasukan antara lain dari Kapten (?)
Tumanduk. Montolalu ditangkap di Sinisir, dan dieksekusi di Mokobang, sedangkan
Lahe ditangkap di Remboken.
Sejumlah besar anggota Komando Pemuda
Permesta (KoP2) di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah dengan sukarela
mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta. KoP2 atau yang lebih
dikenal sebagai Kopedua ini dipimpin oleh Yan Torar. Sebelum itu, kegiatan KoP2
adalah membantu pemerintah daerah masing² mengerahkan tenaga dan dana untuk
melancarkan pembangunan di daerah². Sebagian lagi, khususnya pelajar dan
mahasiswa, disusun dalam satuan Permesta dengan nama Corps Tentara Peladjar
(CTP) dipimpin Jimmy Noya, seorang pemuda asal Ambon (Maluku) serta Wilson H.
Buyung. Lambang Corps-TP dan Badge dengan dasar hitam garis lima merah diagonal
tersebut hasil inspirasi dari film perang 'To Hell and Back' yang hanya
bergaris tiga sebab kebetulan sewaktu tercetusnya Permesta hanya film perang
itu saja yang diputar berulang² di bioskop² Manado. Arti warnanya adalah merah
hitam berarti berani mati untuk mempertahankan 5 [lima] garis merah berarti
Pancasila. Penciptanya adalah Krishna Sumanti [Kris] ex. CTP Manado Jimmy boys.
Semangat pasukan Permesta ini dibakar oleh
para ahli psywar dan agitasi, lewat teknik pendekatan dan pembinaaan yang jitu.
Patahlangi, Putera Bugis yang terkenal sebagai orator dan agitator berbakat,
setiap sore terdengar suaranya lewat Radio Permesta Manado, berpidato berapi²
mengobarkan semangat Permesta di kalangan pendengar. Berbagai kehebatan dan
keunggulan serta kekuatan Permesta ditonjolkan. Sebaliknya setiap kelemahan
pihak lawan dipaparkan, dan keburukan ditelanjangi.
Slogan perjuangan saat itu adalah:
"Permesta Pasti Menang".
Fenomena yang terjadi akibat situasi
Pergolakan ini antara lain mewabahnya demam mistik. Kepercayaan terhadap
kekuatan mistik Opo² yang sangat diyakini leluhur orang Minahasa, kembali
mengental. Kekebalan tubuh terhadap bacokan atau tembakan senjata merupakan hal
yang paling laris dalam situasi yang siap bertempur tersebut. Orang pintar yang
disebut Tonaas bermunculan di kampung². Jimat² tersebut ada yang berbentuk batu
cincin, keris, sapu tangan, atau ikat pinggang jimat. Yang paling disukai dan
dianggap hebat kesaktiannya adalah ikat pinggang jimat, berupa batu² kecil
ataupun akar²an yang telah dibungkus dengan kain merah, beruas² yang disebut
Sembilan Buku (Ruas). Selain itu ada jimat penghilang tubuh serta jimat terbang
yang juga menjadi 'dagangan' laris saat itu, dan ada juga jimat yang diberikan
dalam bentuk air yang diminum atau dimandikan.
Tokoh² sakti yang menjadi idola saat itu
antara lain adalah Nok Korompis, Daan Karamoy, Gerson (Goan) Sangkaeng, Len
Karamoy, Yan Timbuleng, serta banyak lagi orang sakti lainnya yang menjadi
pimpinan Permesta ketika itu. Salah satu akibat utama dari mistik ini adalah
banyak menimbulkan perpecahan bahkan lucut- melucuti senjata, serta kudeta
kekuasaan di antara sesama pasukan. Hal ini merupakan kelemahan fatal bagi
keutuhan dan kekuatan Permesta, sebab seorang bawahan yang merasa dirinya
sakti, bisa saja melawan atasannya). 18 Februari 1958 Dalam putusannya,
Pemerintah Pusat di Jakarta melalui siaran radio RRI Pusat, menyatakan bahwa
Letkol D.J. Somba dan Mayor Dolf Runturambi dipecat dari dinas militer TNI-AD
dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
19 Februari 1958 Letkol D.J. Somba hari ini
secara sepihak melaksanakan pembagian KDM-SUT yang sudah lama direncanakan itu
dalam dua resimen. Mayor Dolf Runturambi ditugaskan menjadi Komandan Sektor
I/Resimen Team Pertempuran (RTP) "Ular Hitam", yang meliputi
Sangihe-Talaud, Minahasa, dan Bolaang Mongondow; dan Mayor Jan Wellem (Dee)
Gerungan dilantik sebagai komandan Sektor II Resimen Team Pertempuran
"Anoa", di Sulawesi Tengah dengan markas besar di Poso. KSAD Mayjen
A.H. Nasution menyatakan bahwa Angkatan Darat mendukung Demokrasi Terpimpin.
Masa ini adalah untuk pertama kalinya Presiden Soekarno merasa berada dalam
dukungan ideologis dari pimpinan tentara. Ini menjadi salah satu kedekatan yang
istimewa antara Presiden Soekarno dengan KSAD Jenderal Mayor A.H. Nasution.
Sugesti dari pihak militer jelas sangat berperan pada keputusan Soekarno, yang
kendati sejak awal berusaha berbaik dengan para panglimanya di daerah.
Presiden Ir. Soekarno bertemu dengan Drs.
Mohammad Hatta guna membicarakan situasi yang terjadi akhir² ini. Mereka
bertemu lagi tanggal 3 Maret. Hari ini, Gunung Lokon mulai menampakkan
kegiatannya dengan sebuah letusan kecil yang memuntahkan lapili di sekitar
kawah. Kemudian letusan Lokon terjadi pada tanggal 4, 16-17 Maret, 3-4 Mei
tahun ini juga. Kegiatan letusan Lokon ini berlangsung sepanjang tahun. Letusan
ini dilanjutkan hingga berakhir pada tanggal 23 Desember 1959- tahun
berikutnya. Selama tahun 1959 Lokon memuntahkan abu diselingi letusan kuat yang
melontarkan batu. Hujan abu turun di sekitarnya. Dalam bulan Agustus, September
dan November tahun 1959 tidak terjadi letusan.
Konon, letusan Gunung Lokon ini dipercaya
orang terjadi akibat peringatan dewa Minahasa (opo) berkaitan dengan mulainya
prahara Pergolakan Permesta - perang saudara antara Pemerintah Pusat dengan
PRRI di Minahasa.
20 Februari 1958 Perintah untuk melakukan
operasi militer secara terbuka bergulir dari Jakarta pada tanggal 20 Februari
1958. Keputusan ini diambil Jakarta sehubungan berakhirnya ultimatum pemerintah
pusat kepada PRRI untuk menyerah. Maka hari itu, dua pesawat B-25 dengan
penerbang Kapten Sri Muljono dan Mayor Soetopo mendapat perintah menyebarkan
pamflet yang berisi himbauan agar PRRI menyerah. Sebelum menuju daerah tujuan,
kedua pesawat mendarat di Astra Setra, Lampung agar tidak diketahui Letkol
Barlian, Komandan Sumatera Selatan. Barulah esok paginya kedua pesawat terbang
menyusuri pantai barat Sumatera. Setelah terbang sekitar hampir dua jam, ereka
mulai memasuki pantai Padang dan menebarkan pamflet.
Permesta membalas perintah tersebut dengan
mengumandangkan semboyan:
"Hanja Kalau Kering Danau Tondano, Rata
Gunung Lokon, Klabat Dan Soputan Baru Tentara Djuanda Dapat Mengindjakkan
Kakinja Diminahasa."
21 Februari 1958 Hari ini, pemerintahan
PRRI-Permesta di Sulut menerima radiogram dari Letkol Ventje Sumual, yang
memerintahkan untuk mengadakan telaahan staf mengenai persiapan² militer
menghadapi ofensif Jakarta. Selanjutnya kepada Mayor J.W. (Dee) Gerungan
ditugaskan untuk membuat konsep rencana ofensif terhadap ofensif pusat bersama
Mayor Eddie Gagola, yang menyusun rencana pembentukan WK (Wehrkreisse).
Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat
Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan
ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret
1957yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar
yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar
mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak
Permesta. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke
Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai
mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan
keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui
bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination)
yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah
Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang
berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur.
Pemerintah pusat Republik Indonesia yang dideklarasikan di Jakarta pada 17
Agustus 1945 kemudian menggunakan operasi-operasi militer untuk menghentikan
gerakan-gerakan pemberontakan yang mengarah kepada kemerdekaan.
Awal Gerakan
Pada tanggal 2 Maret 1957 di
Makassar,Letkol.Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya Piagam Perjuangan
Semesta.Gerakan meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur.serta mendapat
dukungan dari tokoh-tokoh .Indonesia timur.ketika itu keadaan Indonesia sangat
bahaya dan hampir seluruh pemerintahan di daerah diambil oleh militer.selain
itu mereka juga membekukan segala Aktivitas PKI(Partai Komunis Indonesia),serta
menangkap kader-kader PKI.Keadaan semakin genting tatkala diadakan rapat di
gedung Universitas Permesta yang membicarakan pemutusan hubungan dengan
pemerintah pusat. Pada pukul 07.00 diadakan pertemuan di ruang rapat gedung
Universitas Permesta di Sario Manado dengan tokoh tokoh politik, masyarakat dan
cendikiawan.saat itu adalah Kapten Wim Najoan.Panglima Komando Daerah Militer
Sulawesi Utara dan Tengah memberikan gambaran tentang perkembangan di Sumatera
dan putusan dibentuknya PRRI. Selanjutnya ia Memberikan sebuah keputusan
"Permesta di Sulutteng menyatakan solider dan sepenuhnya mendukung pernyataan
PRRI. Oleh sebab itu, mulai saat ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan
Pemerintah RI Kabinet Djuanda".Seketika pula para peserta rapat berdiri
dan menyambutnya dengan pekik: "Hidup PRRI! Hidup Permesta! Hidup
Somba!".Setelah rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan
hubungan dengan pusat oleh 3 orang Mayor Eddy Gagola, Kapten Wim Najoan dll
setelah selesai menyusun teks pemutusan hubungan degan Pemerintah Pusat. Lalu
teks tersebut dibacakan kepada para hadirin .berselang berapa lama
kemudian,para perta rapat ramai ramai mendengungkan pekik "Hidup Permesta!
Hidup PRRI! Hidup Somba-Sumual!".Setelah itu Mayor Dolf Runturambi
bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara saudara setuju?"
Serentak dijawab: "Setuju! Setuju!".kembali suasana yang sangat ramai
dari para hadirin.Kemudian setelah rapat tersebut.Kolonel DJ.Somba selaku
pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah mengadakan rapat di lapangan sario
Menado.ia membacakan teks pemutusan hubungan dangan Pemerintah Pusat yang
isinya:
"Rakyat Sulawesi Utara Dan Tengah
Termasuk Militer Solider Pada Keputusan Prridan Memutuskan Hubungan Dengan
Pemerintah Ri"
Hari itu juga Pemerintah Pusat kemudian
mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol H.N. Ventje Sumual, Mayor
D.J. Somba, dan kawan kawannya di pecat secara tidak hormat dari Angkatan
Darat.Dan seketika itu pula para pelajar,Mahasiswa,Pemuda dan EX-KNIL
Mendaftarkan diri untuk menjadi Pasukan dalam Angkatan Perang Permesta,dan bagi
mereka yang telah mendatar langsung di beri latihan di Mapanget.dalam hal ini
pula keterlibatan Amerika Serikat benar benar terlihat,dengan mendatangkan
penasehat penasehat militernya.serta memberikan sejumlah bantuan berupa
Amunisi,mitraliur anti pesawat terbang selain itu untuk memperkuat Angkatan Perang
Revolusioner (AUREV).mereka juga mendatangkan sejumlah pesawat terbang antara
lain pesawat pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu Mustang F-51, Beachcraft,
Catalina dan pembom B-26 Invander.di sisi lain juga Permesta membentuk suatu
badan dan satua kepolisian yaitu 1.Polisi Revolusioner 2.
Pasukan Wanita Permesta(PWP) 3.Permesta Yard
yaitu sebuah badan intelejen. Selain dari Amerika Serikat Permesta juga
mendapat bantuna dan dukungan dari Negara Negara pro Barat seperti Taiwan,Korea
Selatan,Philipna serta Jepang.dan dengan dukungan yang begitu besar sehingga
Permesta tidak pernah kehabisan perbekalalan ketika bertempur Sejumlah besar
anggota Komando Pemuda Permesta wilayah Sulawesi Utara dan Tengah dengan
sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta Komando Pemuda
Permesta.Sebelumnya tugas Mereka,adalah untuk membantu pemerintah daerah guna
mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan pembangunan di daerah
daerah.Pergolakan inipun terus berlanjut dan semakin menuju terjadinya Perang
Saudara.ketika itu Republik Indonesia yang baru berdiri kurang lebih 10 tahun
setelah pengakuan kedaulatan benar benar di ujung tanduk .keutuhan Negara
Republik Indonesia sangat membahayakan apalagi saat itu di daerah lainnya juga
muncul pemberontakan pemberontakan terhadap Pemerintah RI yaitu
1. PRRI (Pemerintahan Revolusioner Indonesia)
2. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia)
3. Republik Maluku Selatan
Selain itu juga di dalam tubuh pemerintahan
RI banyak terjadi pergolakan politik.terutama dengan silih bergantinya
Kabinet,seiring dengan penerapan Demokrasi Liberal.di sisi lain hubungan
Dwi-Tunggal Soekarno dan juga Hatta mengalami keretakan.ini terjadi akibat dari
kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia yang selalu memusuhi
Hatta.akhirnya dengan berat hati memundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil
Presiden Republik Indonesia di kala suasana Negara yang kritis.Akibat pemutusan
hubungan Permesta dengan Pusat Kota Menado Menjadi sangat mencekam.Kegelisahan
meghantui setiap penjuru Menado. Warga seaakan tak bisa tenang untuk sesaatpun
karena khawatir akan adanya serangan dari Pemerintah Pusat yang diperkirakan
tak lama lagi bakal datang menyerbu daerah yang dikuasai Permesta.
Banyak Masyarakat menado yang mengungsi ke
luar Kota untuk menghindari Perang Saudara yang nampaknya akan menjadi sebuah
kenyataan,Di lain pihak juga dukungan terhadap Permesta semakin besar.
Dengan,masuknya Kolonel Alexander Evert Kawilarang setelah berhenti sebagai
Atase Militer RI pada Kedubes RI di Washington, DC, Amerika Serikat], kemudian
ia berhenti dari dinas militer,dengan Pangkat Brigadir Jenderal. Selanjutnya
pulang ke Sulawesi Utara untuk bergabung dengan Permesta.disana ia mendapat
jabatan sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI dan Kepala
Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat
Mayor jenderal.dan selanjutnya ia menjadi Panglima Besar Permesta.Presiden
Taiwan Chiang Kai Shek pernah merencanakan untuk mengirimkan 1 resimen marinir
dan 1 skuadron pesawat tempur untuk merebut Morotai bersama sama dengan
Permesta , namun Menteri Luar Negeri Taiwan Yen Kung Chau menentang gagasan
itu.karena khawatir Republik Rakyat Cina akan ikut serta membantu Pemerintah
Pusat di Jakarta dan mungkin akan memiliki alasan untuk
mengintervensi.terhadapTaiwan.walaupun demikian.Taiwan sebelumnya memang sudah
membantu Permesta dengan mengirimkan persenjataan dan dua squadron pesawat
tempur ke Minahasa untuk Angkatan Udara Revolusioner Bantuan Taiwan akhirnya
tercium oleh Pemerintah Pusat.Bulan Agustus 1958, militer mengambil alih bisnis
yang dipegang oleh penduduk WNI asal Taiwan.dan sejumlah Surat Kabar,Sekolah
ditertibkan.
Operasi Militer
Demi mejaga keutuhan Republik
Indonesia.Pemerintah Pusat] melalui KSAD Mayor Jenderal Nasution melakukan
pesiapan guna melakukan operasi militer terhadap kedudukan Permesta di
Sulawesi.operasi ini di beri nama,Operasi Saptamarga I dengan pimpinan
Letkol.Soemarsono dengan rincian sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah pada
bulan Maret 1958 Palu dan Donggala telah direbut oleh APRI(Angkatan Perang
Republik Indonesia) dan Pasukan Mobile Brigade, di bawah pimpinan Kapten Frans
Karangan Dikabarkan bahwa komandan.Akhir Maret 1958 Menjelang akhir bulan
Maret, Permesta mendapatkan beberapa bantuan gerombolan Jan Timbuleng (Pasukan
Pembela Keadilan/PPK) juga turut bergabung gerombolan pemberontak lainnya,
kurang lebih 300 orang dari satu kelompok (Sambar Njawa) yang dipimpin Daan
Karamoy. Serta bekas istri Jan Timbuleng,Len Karamoy sebagai komadan pasukan, menawarkan
diri untuk melatih sebuah laskar wanita untuk Permesta (PWP).serta mereka Pula
melakukan rencana untuk menyerang Jakarta.Namun secara bertahap.rencana ini di
beri nama Operasi Djakarta II. Rencana Operasi Djakarta II itu adalah sebagai
berikut:
a. merebut kembali daerah Palu/Donggala yang
telah dikuasai Tentara pusat;lalu menyerang dan menduduki Balikpapan.
b. sasaran kedua adalah Bali;
c. sasaran ketiga adalah Pontianak;
d. sasaran terakhir adalah Jakarta.
Operasi ini bertujuan untuk menekan Pemerintah
Pusat agar mau berunding dengan PRRI.dan pada 13 April 1958 pesawat pesawat
milik AUREV menyerang lapangan udara Mandai Makassar serta tempat tempat lainya
seperti Ternate,Balikpapan dan Donggala dan serangan yang paling fatal adalah
serangan terhadap Kapal Hang Tuah yang sedang bersandar di pelabuhan
Balikpapan.menyebabkan Kapal tersebut tenggelam.Pada tanggal 18 mei 1958
dilakukanlah Operasi Mena II di bawah Komando Letkol.KKO Hunholz untuk merebut
lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.mayor Soedomo selaku Kepala
Staf memerintahkan tuk berlayar ke Pulau Tiaga di lepas Pantai Ambon dengan di
dukung Pesawat P-51 Mustang dan B-26 serta Pasukan Gerak Cepat,Pasukan Angkatan
Darat dan Gabungan Marinir.Lalu Datanglah serangan dari Alan Pope menggunakan
Pesawat B-26 Invader.
Sebelumya ia telah menyerang Ambon setelah
terbang dari Mapanget.Seketikapun Alan Pope menukikan Pesawatnya untuk
menyerang kedudukan Pasukan APRI.melihat tanda bahaya para awak yang berada di
dalam Kapal dengan serentak melakukan tembakan balasan. hampir seluruh Pasukan
yang ada di dalam Kapal melakukanya.Mulai dengan Penagkis udara,Senapan
Serbu,Senapan Otomatis,Senapan Infanteri bahkan Pistol.di sisi lain bantuan
untuk Pemerintah Pusat pun datang dari penerbang bernama Ignatius Dewanto
dengan menggunakan Pesawat kopkit P-51.Dewanto langsung memacu pesawatnya dan
lepas landas.untuk membantu iring iringan ALRI yang diserang.Tetapi Dia tidak
menemukan B-26 AUREV. Ferry Tank (Tangki bahan bakar cadangan) dilepas di laut.
Lalu terlihatlah konvoi kawan kawanya yang diserang B-26 milik AUREV buruannya.
Dengan cepat ia mengejar Dewanto lalu mengambil posisi di belakang lawan. Roket
ditembakkan namun, berkali-kali lolos, disusul dengan tembakan 6 meriam 12,7,
karena jaraknya lebih dekat, memungkinkan ia dapat mengenainaya lebih besar.
Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran.Lalu semua awak yang berada di dalam
Kapal melihat pesawat milik AUREV itu terbakar.lalu terlihatlah dua buah
Parasut yang jatuh,ada yang jatuh di sebuah pohon, serta luka terhempas
karang.lalu kedua orang itu adalah Allan Pope dan Harry Rantung,Allan Pope
adalah seorang penerbang bayaran asal Amerika Serikat.yang sedang melakukan
tugas untuk membantu Permesta dalm Pemberontakan.Akibat semua ini adalah
melemahnya kekuatan Permesta di udara.menyebabkan Apri dengan mudah menguasai
setiap
Wilayah yang semula diduduki
Permesta.Kemudian Pasukan RPKAD bersiap untuk menyeran mapanget namun mengalami
Kegagalan serta menewaskan Miskan, seorang Prajurit dan Sersan Mayor Tugiman,Setelah
Pasukan RPKAD gagal kemudian AURI menyerang Mapanget dengan Pesawat P-51
Mustang.dengan sasaran menembak awak Canon anti Udara pertempuran sengit pun
terjadi para awak Canon anti udara,permesta terus melakukan penembakan terhadap
pasukan AURI secara Terus menerus.bahkan,dari merka ada yang sampai terpental
namun tidak mengalami luka, lalu kembali memegang Canon Anti Udara mereka
maisng masing.dari akhirnay serangan ini kembali tidak membuahkan hasil.para
Canon Anti Udara Permesta menjadi Pahlawan karena berhasil mengusir setiap
serangan yang selalu datang.sebelumnya,mereka juga sempat merontokan 3 pesawat
milik AURI.AURI pun mengakui keunggulan Pertahanan udara Permesta yang mereka
nilai paling tersulit selama Melakukan Operai Militer .kebanyakan dari mereka
adalah Pasukan Ex-KNIL jadi sudah sangat terlatih walaupun umur mereka banyak
yang sudah tua,namun berkat pengalaman yang mereka miliki.mereka dapat berbuat
banyak.Sementara itu Gubernur Sulawesi Andi Pangerang menyatakan Pembekuan
segala Aktivitas yang Berkaitan dengan Permesta.dan kemudian Amerika Serikat
menarik segala bantuanya terhadap Permesta.karena malu terhadap Pemerintah
Pusat setelah pesawat yang di kemudikan Alan Pope terjatuh,yang membongkar
segala bantuan Amerika terhadap Permesta,Sebelum pesawat itu jatuh Amerika
Serikat,dengan sangat bersikeras menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak
terlibat dengan PRRI maupun Permesta. Seperti yang dikutip oleh John Foster
Julles “Apa yang terjadi di Sumatera adalah urusan dalam negeri Indonesia. AS
tidak ikut campur dalam urusan dalam Negeri Negara lain”
Kemudian, EisenHower selaku Presiden Amerika
Serikat,mengadakan jumpa pers terkait Peristiwa yang terjadi di Sumatera dan
Sulawesi,serta penemuan beberapa senjata buatan AS.isi dari jumpa pers itu
adalah:”Senjata-senjata yang ditemukan oleh ABRI.adalah senjata yang dengan
mudah dapat ditemukan di pasar gelap dunia. Di samping itu, sudah biasa di mana
ada konflik pasti akan ditemukan tentara bayaran” Tetapi tuduhan bahwa Amerika
Serikat terlibat disini semakin nyata, setelah tubuh Alan Pope digeledah dan
terdapat beberapa identitas tentang dirinya.seperti surat keterangan yang
mengizinkan Pope memasuki semua fasilitas militer AS di Philpina . Juga ada
kartu klub perwira di pangkalan itu. Hal ini membuat Amerika benar-benar
kehilangan muka di dunia.bahkan segala buku yang mengisahkan sepak terjang CIA
selalu memojokan Amerika.Untuk meraih Hati Presiden Soekarno.
Amerika
menawarkan bantuan senjata.serta bersedia mengimpor beras kepada Indonesia
dengan bayaran Rupiah,selain itu dengan sangat terpaksa,Amerika menghentikan
segala bantuannya kepada PRRI dan Permesta.sehingga membuat keduannya semakin
melemah.Sementara itu peperangan antara Pemerintah pusat dan Permesta semakin
gencar.saling menguasai beberapa tempat terjadi.pada tanggal 17 Pebruary 1959
Permesta secara serentak melakukan serangan besar besaran yang di beri nama
operasi "Operation Djakarta Special One" .Tujuan dari serangan itu
adalah.menduduki beberapa Kota Srategis seperti; Langowan, Tondano dan
Amurang-Tumpaan.untuk menhancurkan segala Prasarana musuh.Namun
demikian,operasi tersebut mengalami kegagalan walaupun Permesta sempat
menduduki beberapa tempat.namun hanya untuk beberpa jam saja.karena temat
tersebut berhasil direbut oleh Pasukan APRI dan AURI. Setelahnya pasukan APRI
dan AURI berhasil menduduki beberapa tempat yang sebelumnya merupakan basis
terkuat dari Permesta.
ü Kembali ke NKRI
Pada
tahun 1960 Pihak Permesta Menyatakan kesediaanya,untuk berunding dengan
Pemerintah Pusat.Perundingan pun dilangsungkan Permesta diwakili oleh Panglima
Besar Angkatan Perang Permesta,Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang.serta
Pemerintah Pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal A.H
Nasution.dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu: bahwa
pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak
Komunis di Jawa.Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres
322/1961.memberi Amnesti dan Abolisi Bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta.tapi
bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik,di Jawa Barat,Aceh,Jawa
Tengah,Kalimntan Selatan dan Sulawesi Selatan Juga berhak Menerimanya.Sesudah
keluar keputusan itu, be ramai-ramai banyak anggota Permesta yang keluar dari
hutan-hutan Untuk mendapatkan Amnesti dan Abolisi. Seperti Kolonel D.J
Somba,Mayor Jenderal A.E.Kawilarang, Kolonel DolfRunturambi,Kolonel Petit
Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi
kelompok paling akhir yang keluar dari hutan hutan.untuk Mendapatkan Amnesti
dan Abolisi.dan pada tahun itu pula permesta dinyatakan bubar
2.4
Berbagai
Peristiwa yang berhubungan dengan pemilu 1955 di tingkat pusat dan daerah
Pemilihan Umum (Pemilu) yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Pemilu dilaksanakan dua tahap, yaitu tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggotaanggota Konstituante. Pemilu dilaksanakan dalam suasana kehidupan politik yang demokratis. Berdasarkan UUDS 1950, maka kehidupan politik di wilayah NKRI didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi liberal. Artinya, setiap partai politik dan perorangan pun harus diberi kebebasan untuk mengikuti Pemilu. Oleh karena itu, penetuan peserta Pemilu tanpa adanya verifikasi seperti sekarang.
1. Perkembangan Kepartaian
Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pandangan, nilai-nilai, orientasi, dan cita-cita yang sama. Tujuan pembentukkan partai politik adalah untuk merebut, memperoleh, dan/atau mempertahankan kekuasaan. Jadi, lahirnya kepartaian berkaitan erat dengan kekuasaan dalam suatu negara atau pemerintahan.
Perkembangan kepartaian di Indonesia telah dimulai pada masa Per-gerakan Nasional. Pembentukkan partai politik dipelopori para mahasiswa STOVIA di Jakarta. Sejak Budi Utomo berdiri pada tahun 1908, kemudian lahir partai-partai politik dengan tujuan yang berbeda satu sama lainnya. Salah satu kendala yang dihadapai partai politik pada waktu itu untuk mendapatkan badan hukum dari pemerintah Hindia Belanda. Mengapa? Belanda sangat khawatir terhadap berdirinya partai politik yang akan menjadi alat perjuangan rakyat. Pada tahun 1912, Sarekat Islam gagal mendapatkan badan hukum, apalagi Indiche Partij yang dibubarkan pada tahun berdirinya.
Apabila dilihat dari sisi perjuangannya, partai-partai politik pada masa Pergerakan Nasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pandangan, nilai-nilai, orientasi, dan cita-cita yang sama. Tujuan pembentukkan partai politik adalah untuk merebut, memperoleh, dan/atau mempertahankan kekuasaan. Jadi, lahirnya kepartaian berkaitan erat dengan kekuasaan dalam suatu negara atau pemerintahan.
Perkembangan kepartaian di Indonesia telah dimulai pada masa Per-gerakan Nasional. Pembentukkan partai politik dipelopori para mahasiswa STOVIA di Jakarta. Sejak Budi Utomo berdiri pada tahun 1908, kemudian lahir partai-partai politik dengan tujuan yang berbeda satu sama lainnya. Salah satu kendala yang dihadapai partai politik pada waktu itu untuk mendapatkan badan hukum dari pemerintah Hindia Belanda. Mengapa? Belanda sangat khawatir terhadap berdirinya partai politik yang akan menjadi alat perjuangan rakyat. Pada tahun 1912, Sarekat Islam gagal mendapatkan badan hukum, apalagi Indiche Partij yang dibubarkan pada tahun berdirinya.
Apabila dilihat dari sisi perjuangannya, partai-partai politik pada masa Pergerakan Nasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Partai yang bersifat radikal,
seperti SI, PNI, PI, IP, dan PKI. Partai-partai ini tidak bersedia bekerja
sama dengan Pemerintah Hindia Belanda dan mereka menolak duduk dalam Dewan
Rakyat (Volksraad).
- Partai yang bersifat moderat,
seperti BU, Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Parindra, Gerindo, dan Gapi.
Mereka bersedia bekerja sama dengan Pemerintah Hindia Belanda dan bersedia
duduk dalam Dewan Rakyat (Volksraad).
Dilihat dari segi ideologi,
partai-partai itu dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok, seperti:
- Agama (SI, SDI, PSII, Masyumi, Partai Katholik),
- Nasionalis (BU, PNI, PBI, Parindra, IP, Gerindo, Gapi), dan
- Sosialis Marxis (ISDV, Partai Buruh Indonesia, dan PKI).
Pada masa pendudukan Jepang, semua
partai politik dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Semua kekuatan harus
ditujukan untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Jepang hanya mengizinkan
organisasi sosial keagamaan seperti Majelis Islamiah Ala Indonesia (MIAI).
Ormas ini kelak berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi),
salah satu partai politik terbesar berdasarkan hasil Pemilu 1955.
Pasca kemerdekaan, Pemerintah RI memerlukan lembaga DPR/MPR sebagai cermin wakil rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk itu, melalui Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945, pemerintah menghargai lahirnya partai politik sebagai bagian dari pembentukan DPR/MPR. Sejak saat itu, berdirilah partai-partai politik bagaikan jamur di musim penghujan. Adapun partai-partai politik yang lahir pasca kemerdekaan adalah:
Pasca kemerdekaan, Pemerintah RI memerlukan lembaga DPR/MPR sebagai cermin wakil rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Untuk itu, melalui Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945, pemerintah menghargai lahirnya partai politik sebagai bagian dari pembentukan DPR/MPR. Sejak saat itu, berdirilah partai-partai politik bagaikan jamur di musim penghujan. Adapun partai-partai politik yang lahir pasca kemerdekaan adalah:
- Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) yang didirikan oleh dr. Sukiman pada tanggal 7
Nopember 1945.
- Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang dipimpin oleh Moh. Jusuf sejak tanggal 7 Nopember 1945.
- Partai Buruh Indonesia (PBI)
yang dipimpin oleh Nyono dan didirikan pada tanggal 8 Nopember 1945.
Partai Rakyat Jelata yang dipimpin oleh Sutan Dewanis dan didirikan pada
tanggal 8 Nopember 1945.
- Partai Kristen Indonesia
(Parkindo) yang dipinpim oleh Ds Probowinoto dan didirikan pada tanggal 10
Nopember 1945.
- Partai Sosialis Indonesia (PSI)
yang dipinpim oleh Mr. Amir Syarifuddin dan didirikan pada tanggal 10
Nopember 1945.
- Partai Rakyat Sosialis (PRS)
yang dipinpim oleh Sutan Syahrir dan didirikan pada tanggal 20 Nopember
1945.
- Partai Katolik Republik
Indonesia (PKRI) yang dipinpim oleh I.J. Kasimo dan didirikan pada tanggal
8 Nopember 1945.
- Partai Rakyat Marhaen Indonesia
(Permai) yang dipinpim oleh J.B. Assa dan didirikan pada tanggal 17
Nopember 1945.
- Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang dipinpim oleh Didik Joyosukarto sejak 29 Januari 1946.
2.4.1 Pelaksanaan Pemilu
Beberapa
kabinet yang memerintah pada masa demokrasi liberal telah menetapkan Pemilu
sebagai salah satu program kabinetnya. Pelaksanaan Pemilu merupakan konsekuensi
dari sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Pada waktu itu, sebagian
partai politik belum berfungsi sebagai penyalur aspirasi rakyat karena lebih
mementingkan para pemimpinnya. Kenyataan itu mengakibatkan kehidupan politik
tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Kepincangan terjadi di
sana sini sehingga rakyat menjadi frustasi dan menuntut agar segera
dilaksanakan Pemilihan Umum.
Persiapan pelaksanaan Pemilu telah dimulai pada masa pemerintahan Kabinet Ali-Wongso. Sedangkan pelaksanaannya dilakukan pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu dilaksanaka dua tahap, yaitu:
Persiapan pelaksanaan Pemilu telah dimulai pada masa pemerintahan Kabinet Ali-Wongso. Sedangkan pelaksanaannya dilakukan pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap. Pemilu dilaksanaka dua tahap, yaitu:
- Tahap pertama pada tanggal 29 September 1955 dengan tujuan untuk
memilih para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Majelis
Rendah.
- Tahap kedua pada tanggal 15 Desember 1955 dengan tujuan untuk
memilih para anggota Konstituante atau Majelis Tinggi. (Dewan
pembentukan Undang-undang)
Alasan
dilaksanakannya Pemilu 1955 :
a.
Masyarakat
diliputi suasana prustrasi dan kegelisahan Sosial Politik
b.
Partai-partai
hanya memperjuangkan kepentingan golongannya
Dalam pelaksanaannya, Indonesia
dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 Kabupaten, 2.139 Kecamatan,
dan 43.429 Desa. Pemilih yang datang untuk memberikan suara berjumlah
37.875.299 orang. DPR hasil pemilihan umum beranggotakan 272 orang, yaitu
dengan perhitungan bahwa satu orang anggota DPR mewakili 140.000 orang
penduduk, sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang.
Pemilu tersebut dinilai berlangsung secara tertib dan aman. Oleh karena itu, para pengamat dari luar yang datang ke Indonesia menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah berhasil menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu dengan baik. Sayangnya, Pemilu tersebut belum menghasilkan sebuah kemenangan mutlak bagi sebuah partai politik. Hal itu memang sulit karena peserta Pemilu sangat banyak jumlahnya, yaitu 28 kontenstan. Dari hasil perhitungan suara telah muncul empat partai besar, yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), dan PKI (28 kursi).
Pemilu yang diikuti banyak partai sangat baik karena dapat menjamin pesta demokrasi yang bear-benar demokratis karena setiap orang memiliki pilihan yang cukup banyak. Artinya, masing-masing orang yang memiliki hak suara dapat menentukan partai yang paling sesuai ideologinya. Namun dilihat dari sisi hasilnya, pemilu yang diikuti banyak partai biasanya kurang menguntungkan usaha setiap partai politik untuk memperoleh suara mayoritas sangat sulit tercapai. Keadaan ini biasanya akan melahirkan pemerintahan yang lemah. Hal ini terbukti, ketika Konstituante gagal menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar untuk menggantikan UUDS 1950. Di samping itu, upaya untuk membentuk pemerintah yang stabil sangat sulit direalisasikan. Hal ini dapat dilihat dari usia pemerintahan yang relatif singkat, seperti:
1. Kabinet Burhanuddin Harapan (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956);
2. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957);
3. Kabinet Juanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959).
Ternyata, usia Kabinet pasca Pemilu 1955 tidak jauh berbeda dengan usia Kabinet pada masa 1950 - 1955, seperti:
1. Kabinet M. Natsir (6 Oktober 1950 – 21 Maret 1951);
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 23 Februari 1952);
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 2 Juni 1953);
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955).
Pemilu tersebut dinilai berlangsung secara tertib dan aman. Oleh karena itu, para pengamat dari luar yang datang ke Indonesia menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah berhasil menyelenggarakan dan melaksanakan Pemilu dengan baik. Sayangnya, Pemilu tersebut belum menghasilkan sebuah kemenangan mutlak bagi sebuah partai politik. Hal itu memang sulit karena peserta Pemilu sangat banyak jumlahnya, yaitu 28 kontenstan. Dari hasil perhitungan suara telah muncul empat partai besar, yaitu PNI (57 kursi), Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi), dan PKI (28 kursi).
Pemilu yang diikuti banyak partai sangat baik karena dapat menjamin pesta demokrasi yang bear-benar demokratis karena setiap orang memiliki pilihan yang cukup banyak. Artinya, masing-masing orang yang memiliki hak suara dapat menentukan partai yang paling sesuai ideologinya. Namun dilihat dari sisi hasilnya, pemilu yang diikuti banyak partai biasanya kurang menguntungkan usaha setiap partai politik untuk memperoleh suara mayoritas sangat sulit tercapai. Keadaan ini biasanya akan melahirkan pemerintahan yang lemah. Hal ini terbukti, ketika Konstituante gagal menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar untuk menggantikan UUDS 1950. Di samping itu, upaya untuk membentuk pemerintah yang stabil sangat sulit direalisasikan. Hal ini dapat dilihat dari usia pemerintahan yang relatif singkat, seperti:
1. Kabinet Burhanuddin Harapan (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956);
2. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957);
3. Kabinet Juanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959).
Ternyata, usia Kabinet pasca Pemilu 1955 tidak jauh berbeda dengan usia Kabinet pada masa 1950 - 1955, seperti:
1. Kabinet M. Natsir (6 Oktober 1950 – 21 Maret 1951);
2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 23 Februari 1952);
3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 2 Juni 1953);
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955).
Kabinet yang terbentuk setelah
pemilu 1 adalah kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956). Kabinet Ali
sastroamijoyo II ini pun tidak lama jatuh. Pengganti kabinet Ali Adalah Kabinet
Juanda atau cabinet Karya
Kabinet Juanda(Karya) pun tidak
mampu meredakan suhu politik pada masa itu yang semakin memanas yang disebabkan
oleh perselisihan antar partai yang terjadi di berbagai daerah
Menurut Presiden Soekarno,
ketidakstabilan politik dan kesulitan yang dihadapi Negara pada waktu itu
disebabkan oleh adanya banyak partai. Oleh karena itu, demi keselamatan Negara,
Presiden Soekarno mengajukan konsepsif baru, yaitu demokrasi terpimpin. Konsep
ini diajukan oleh presiden Soekarno dihadapan para pemimpin partai dan tokoh
masyarakat di istana merdeka pada tanggal
21 Februari 1957
Ketidaksetabilan konstituante dalam
menjalankan tugasnya mendrong pemerintah untuk segara bertindak agar kekacauan
politik dapat segera diatasi. Presiden Soekarno berpidato didepan konstituante
pada tanggal 22 april 1959
2.5 Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung
Berakhirnya
Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi
permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan
keamanan. Ternyata di beberapa pelosok dunia, terutama di belahan bumi Asia
Afrika, masih ada masalah dan muncul masalah baru yang mengakibatkan permusuhan
yang terus berlangsung, bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah
Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.
Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok berusaha menarik negara-negara di Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung di antara kedua blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut dikenal dengan sebutan "perang dingin".
Timbulnya pergolakan dunia disebabkan pula oleh masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya benua Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sej ak tahun 1945, banyak daerah di Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia Afrika yeng telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan tentang Kashmir, negara-negara Arab tentang Palestina. Sebagian bangsa Arab-Palestina terpaksa mengungsi, karena tanah air mereka diduduki secara paksa oleh pasukan Israel yang dibantu oleh Amerika Serikat.
Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok berusaha menarik negara-negara di Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung di antara kedua blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut dikenal dengan sebutan "perang dingin".
Timbulnya pergolakan dunia disebabkan pula oleh masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya benua Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sej ak tahun 1945, banyak daerah di Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia Afrika yeng telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan tentang Kashmir, negara-negara Arab tentang Palestina. Sebagian bangsa Arab-Palestina terpaksa mengungsi, karena tanah air mereka diduduki secara paksa oleh pasukan Israel yang dibantu oleh Amerika Serikat.
Sementara itu bangsa-bangsa di
dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda kekhawatiran akibat
makin dikembangkannya pembuatan senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat
manusia. Situasi dalam negeri dibeberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka
pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa
penjajahan (politik devide et impera) dan perang dingin antar blok dunia
tersebut.
Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah¬masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangkan kenyataannya, akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagaian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsi menangani masalah¬masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangkan kenyataannya, akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagaian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika
Konferensi Tingkat Tinggi
Asia–Afrika (disingkat KTT Asia Afrika atau KAA; kadang juga disebut Konferensi
Bandung) adalah sebuah konferensi antara negara-negara Asiadan Afrika, yang
kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia,
Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan
dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario.
Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan
kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialismeAmerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.
Sebanyak 29 negara yang mewakili
lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya.
Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan
kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang
keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara Republik Rakyat
Cina dan Amerika Serikat; keinginan
mereka untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok
dengan mereka dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme,
khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair;
dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan
dengan Belanda
mengenai Irian Barat.
2.5.1 Lahirnya Ide
Konferensi
Keterangan Pemerintah Indonesia tentang
politik luar negeri yang disampaikan oleh Perdana Menteri Mr. Ali
Sastroamidjojo, di depan parlemen pada tanggal 25 Agustus 1953, menyatakan
"Kerja sama dalam golongan negara-negara Asia Arab (Afrika) kami pandang
penting benar, karena kami yakin, bahwa kerja sama erat antara negara-negara
tersebut tentulah akan memperkuat usaha ke arah tercapainya perdamaian dunia
yang kekal. Kerja sama antara negara-negara Asia Afrika tersebut adalah sesuai
benar dengan aturan-aturan dalam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang
menyenangi kerja sama kedaerahan (regional arrangements). Lain dari itu
negara¬negara itu pada umumnya memang mempunyai pendirian-pendirian yang sama
dalam beberapa soal di lapangan internasional, jadi mempunyai dasar sama
(commonground) untuk mengadakan golongan yang khusus. Dari sebab itu kerja sama
tersebut akan kami lanjutkan dan pererat". Bunyi pernyataan tersebut
mencerminkan ide dan kehendak Pemerintah Indonesia untuk mempererat kerja sama
di antara Negara-negara afrika.
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilanka) Sir John Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan infor¬mal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pertanyaan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia
"Where do we stand now, we the peoples ofAsia, in this world of ours to day?" ("Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?"),
kemudian pertanyaan itu dijawab sendiri dengan menyatakan
"We have now indeed arrived at the cross-roads of the history of mankind. It is therefore that we Prime Ministers of five Asian countries are meeting here to discuss those crucial problems of the peoples we represent. There are the very problems which urge Indonesia to propose that another conference be convened wider in scope, between the African andAsian nations. Iam convinced that the problems are not only convened to the Asian countries represented here but also are of equal importance to the African and other Asian countries".
("Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejarah umat manusia. Oleh karena itu kita lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu di sini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia. Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak hanya terjadi di negara-negara Asia yang terwakili di sini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara di Afrika dan Asia lainnya").
Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika.
Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua peserta konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan.
Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi urndangan Perdana Menterl Srilanka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia. Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr. Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di Tugu (Bogor) pada tanggal 9 sampai dengan 22 Maret 1954.
Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjejaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilanka) Sir John Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan infor¬mal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pertanyaan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia
"Where do we stand now, we the peoples ofAsia, in this world of ours to day?" ("Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?"),
kemudian pertanyaan itu dijawab sendiri dengan menyatakan
"We have now indeed arrived at the cross-roads of the history of mankind. It is therefore that we Prime Ministers of five Asian countries are meeting here to discuss those crucial problems of the peoples we represent. There are the very problems which urge Indonesia to propose that another conference be convened wider in scope, between the African andAsian nations. Iam convinced that the problems are not only convened to the Asian countries represented here but also are of equal importance to the African and other Asian countries".
("Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejarah umat manusia. Oleh karena itu kita lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu di sini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia. Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak hanya terjadi di negara-negara Asia yang terwakili di sini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara di Afrika dan Asia lainnya").
Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika.
Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua peserta konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan.
Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi urndangan Perdana Menterl Srilanka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia. Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr. Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di Tugu (Bogor) pada tanggal 9 sampai dengan 22 Maret 1954.
Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjejaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.
2.5.2 Usaha-usaha
Persiapan Konferensi
Di
atas telah diungkapkan bahwa Konferensi Kolombo menugaskan Indonesia agar
menjejaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka
menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui saluran
diplomatik kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya, untuk mengetahui sejauh
mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide mengadakan Konferensi Asia
Afrika. Dalam pendekatan tersebut dijelaskan bahwa tujuan utama konferensi itu
ialah untuk membicarakan kepentingan bersama bangsa-bangsa Asia Afrika pada
saat itu, mendorong terciptanya perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia
sebagai tempat konferensi. Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi
menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumahnya,
walaupun dalam hal waktu dan peserta konferensi terdapat berbagai pendapat yang
berbeda.
Pada tanggal 18 Agustus 1954, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, melalui suratnya, mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa itu yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul tersebut dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada tanggal 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi semacam itu, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdana Menteri Indonesia
"The prime Ministers discussed also the proposal to have a conference of representatives of Asian and African countries and were agreed that a conference of this kind was desirable and world be helpful in promoting the cause of peace and a common approach to these problems. It should be held at an early date".
("Para Perdana Menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin").
Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma U Nu pada tanggal 28 September 1954.
Dengan demikian, maka usaha-usaha penyelidikan atas kemungkinan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika dianggap selesai dan berhasil serta usaha selanjutnya ialah mempersiapkan pelaksanaan konferensi itu.
Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Srilanka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya.Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.
Pada tanggal 18 Agustus 1954, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, melalui suratnya, mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa itu yang semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-tidaknya usul tersebut dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada tanggal 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi semacam itu, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdana Menteri Indonesia
"The prime Ministers discussed also the proposal to have a conference of representatives of Asian and African countries and were agreed that a conference of this kind was desirable and world be helpful in promoting the cause of peace and a common approach to these problems. It should be held at an early date".
("Para Perdana Menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin").
Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma U Nu pada tanggal 28 September 1954.
Dengan demikian, maka usaha-usaha penyelidikan atas kemungkinan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika dianggap selesai dan berhasil serta usaha selanjutnya ialah mempersiapkan pelaksanaan konferensi itu.
Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma, Srilanka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya.Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara.
2.5.3 Tujuan
Konferensi
Konferensi
Bogor menghasilkan 4 (empat) tujuan pokok Konferensi Asia Afrika, yaitu
ü
Untuk memajukan goodwill (kehendak
yang luhur) dan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika, untuk
menjelajah serta memaj ukan kepentingan-kepentingan mereka, baik yang silih
ganti maupun yang bersama, serta untuk menciptakan dan memajukan persahabatan
serta perhubungan sebagai tetangga baik;
ü
Untuk mempertimbangkan soal-soal
serta hubungan-hubungan di lapangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan negara yang
diwakili;
ü
Untuk mempertimbangkan soal-soal
yang berupa kepentingan khusus bangsa-bangsa Asia dan Afrika, misalnya
soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan tentang masalah-masalah rasialisme
dan kolonialisme;
ü
Untuk meninjau kedudukan Asia dan
Afrika, serta rakyat¬rakyatnya di dalam dunia dewasa ini serta sumbangan yang
dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerja sama di dunia.
2.5.4 Peserta dan
waktu Konferensi
Negara-negara
yang diundang disetujui berjumlah 25 negara, yaitu : Afganistan, Kamboja,
Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia,
Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Lebanon, Liberia,
Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muang Thai),
Turki, Republik Demokrasi Viet-nam (Viet-nam Utara), Viet-nam Selatan, dan
Yaman. Waktu konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1955.
Mengingat negara-negara yang akan di undang mempunyai politik luar negeri serta sistem politik dan sosial yang berbeda-beda, Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam Konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain. Konferensi menjunjung tinggi pula azas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali¬sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain. Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masing.
Mengingat negara-negara yang akan di undang mempunyai politik luar negeri serta sistem politik dan sosial yang berbeda-beda, Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam Konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain. Konferensi menjunjung tinggi pula azas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali¬sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain. Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masing.
2.5.5 Struktur
Organisasi Panitia Pelaksana
Dalam
persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, Indonesia membentuk sekretariat
konferensi yang diwakili oleh negara-negara penyelenggara.
Guna mewujudkan keputusan-keputusan Konferensi Bogor, segera dibentuk Sekretariat Bersama (Joint Secretariat) oleh lima negara penyelenggara. Indonesia diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Roeslan Abdul Gani yang juga menjadi ketua badan itu, dan 4 (empat) negara lainnya diwakili oleh Kepala¬kepala Perwakilan mereka masing-masing di Jakarta, yaitu U Mya Sein dari Birma, M. Saravanamuttu dari Srilanka, B.F.H.B. Tyobji dari India, dan Choudhri Khaliquzzaman dari Pakistan. Di dalam Sekretariat Bersama itu terdapat 10 (sepuluh) orang staf yang melaksanakan pekerjaan sehari-hari, terdiri atas 2 (dua) orang dari Birma, seorang dari Srilanka, 2 (dua) orang dari India, 4 (empat) orang dari Indonesia, dan seorang dari Pakistan. Selain itu terdapat pula 4 (empat) komite terdiri atas Komite Politik, Komite Ekonomi, Komite Sosial, Komite Kebudayaan. Selain itu, ada pula panitia yang menangani bidang¬bidang : keuangan, perlengkapan, dan pers.
Pemerintah Indonesia sendiri pada tanggal 11 Januari 1955 membentuk Panitia Interdepartemental (Interdepartemental Committee) yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal SekretariatBersama dengan anggota-anggota dan penasehatnya berasal dari berbagai departemen guna membantu persiapan-persiapan konferensi itu. Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuk Panitia Setempat (Local Committee) pada tanggal 3 Januari 1955 dengan ketuanya Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Panitia Setempat bertugas mempersiapkan dan melayani soal-soal yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transport, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain.
DIAGRAM ORGANISASI KONPERENSI ASIA AFRIKA
Pemerintah I 25 Negara Peserta I
Republik Indonesia
I Sekretaris Bersama I
I Protokol I
Panitia
Interdepartmental Panitia Lokal di
di Jakarta Bandung
Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (dua belas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah 1300 orang. Keperluan transport dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 orang sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.
Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.
Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada kepala pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.
Guna mewujudkan keputusan-keputusan Konferensi Bogor, segera dibentuk Sekretariat Bersama (Joint Secretariat) oleh lima negara penyelenggara. Indonesia diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Roeslan Abdul Gani yang juga menjadi ketua badan itu, dan 4 (empat) negara lainnya diwakili oleh Kepala¬kepala Perwakilan mereka masing-masing di Jakarta, yaitu U Mya Sein dari Birma, M. Saravanamuttu dari Srilanka, B.F.H.B. Tyobji dari India, dan Choudhri Khaliquzzaman dari Pakistan. Di dalam Sekretariat Bersama itu terdapat 10 (sepuluh) orang staf yang melaksanakan pekerjaan sehari-hari, terdiri atas 2 (dua) orang dari Birma, seorang dari Srilanka, 2 (dua) orang dari India, 4 (empat) orang dari Indonesia, dan seorang dari Pakistan. Selain itu terdapat pula 4 (empat) komite terdiri atas Komite Politik, Komite Ekonomi, Komite Sosial, Komite Kebudayaan. Selain itu, ada pula panitia yang menangani bidang¬bidang : keuangan, perlengkapan, dan pers.
Pemerintah Indonesia sendiri pada tanggal 11 Januari 1955 membentuk Panitia Interdepartemental (Interdepartemental Committee) yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal SekretariatBersama dengan anggota-anggota dan penasehatnya berasal dari berbagai departemen guna membantu persiapan-persiapan konferensi itu. Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuk Panitia Setempat (Local Committee) pada tanggal 3 Januari 1955 dengan ketuanya Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Panitia Setempat bertugas mempersiapkan dan melayani soal-soal yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transport, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain.
DIAGRAM ORGANISASI KONPERENSI ASIA AFRIKA
Pemerintah I 25 Negara Peserta I
Republik Indonesia
I Sekretaris Bersama I
I Protokol I
Panitia
Interdepartmental Panitia Lokal di
di Jakarta Bandung
Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (dua belas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah 1300 orang. Keperluan transport dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan jumlah 230 orang sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.
Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.
Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada kepala pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.
2.5.6 Pelaksanaan
Konferensi
Pada
hari Senin 18 April 1955, sejak fajar menyingsing telah tampak kesibukan di
Kota Bandung untuk menyambut pembukaan Konferensi Asia Afrika. Sejak pukul
07.00 WIB kedua tepi sepanjang Jalan Asia Afrika dari mulai depan Hotel
Preanger sampai dengan kantor pos, penuh sesak oleh rakyat yang ingin menyambut
dan menyaksikan para tamu dari berbagai negara. Sementara para petugas keamanan
yang terdiri dari tentara dan polisi telah siap di tempat tugas mereka untuk
menjaga keamanan dan ketertiban.
Sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing yang beraneka corak dan wama. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet disepanjang Jalan Asia Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama Langkah Bersejarah (The Bandung Walks). Kira-kira pukul 09.00 WIB, semua delegasi masuk ke dalam Gedung Merdeka.
Tak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, tiba di depan Gedung Merdeka dan disambut oleh rakyat dengan sorak-sorai dan pekik "merdeka". Di depan pintu gerbang Gedung Merdeka kedua pucuk pimpinan pemerintah Indonesia itu disambut oleh lima Perdana Menteri negara sponsor. Setelah diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia : "Indonesia Raya", maka Presiden RI Ir. Soekarno mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul "LET A NEW ASIA AND NEW AFRICA BE BORN" (Lahirlah Asia Baru dan Afrika Baru) pada pukul 10.20 WIB.
Dalam kesempatan tersebut Presiden RI Ir. Soekarno menyatakan bahwa kita, peserta konferensi, berasal dari kebangsaan yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya, agama, sistem politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda. Meskipun demikian, kita dapat bersatu, dipersatukan oleh pengalaman pahit yang sama akibat kolonialisme, oleh ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Pada bagian akhir pidatonya beliau mengatakan
"I hope that it will give evidence of the fact that we, Asian and African leaders, understand that Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the safety of the world at large can not be safeguarded without a united Asia-Africa. I hope that it conference will give guidance to mankind, will point out to mankind the way which it must take to attain safety and peace. I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia and New Africa have been born !"
("Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!")
Pidato Presiden RI Ir. Soekarno berhasil menarik perhatian, mempesona, dan mempengaruhi hadirin, terbukti dengan adanya usul Perdana Menteri India yang didukung oleh semua peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada Presiden atas pidato pembukaannya.
Pada pukul 10.45 WIB., Presiden RI Ir. Soekarno mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya bersama rombongan meninggalkan ruangan. Perdana Menteri Indonesia, sebagai pimpinan sidang sementara, membuka sidang kembali. Atas usul Ketua Delegasi Mesir (Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser) yang kemudian disetujui oleh pimpinan delegasi-delegasi : Republik Rakyat Cina, Yordania, dan Filipina, serta karena tidak ada calon lain yang diusulkan, maka secara aklamasi Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi. Selain itu, Ketua Sekretariat Bersama Konferensi, Roeslan Abdulgani dipilih sebagai Sekretaris Jenderal Konferensi.
Kelancaran pemilihan pimpinan konferensi dan acara-acara sidang selanjutnya dimungkinkan oleh adanya pertemuan informal terlebih dahulu di antara para pimpinan delegasi negara sponsor dan negara peserta sebelum konferensi dimulai (16 dan 17 April 1955). Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang bertalian dengan prosedur acara, pimpinan konferensi, dan lain-lain yang dipandang perlu. Beberapa kesepakatan itu antara lain bahwa prosedur dan acara konferensi ditempuh dengan sesederhana mungkin.
Dalam memutuskan sesuatu akan ditempuh sistem musyawarah dan mufakat (sistem konsensus) dan untuk menghemat waktu tidak diadakan pidato sambutan delegasi. Perdana Menteri Indonesia akan dipilih sebagai ketua konferensi. Sidang konferensi terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan. Semua kesepakatan tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi adalah sebagai berikut :
Ketua Konferensi : Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Politik Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Ekonomi : Prof. Ir. Roosseno,
Menteri Perekonomian Indonesia
Ketua Komite Kebudayaan : Mr. Moh. Yamin,
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia
Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang bisa diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan-perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara negara-negara Asia Afrika muncul ke permukaan, bahkan sampai pada tahap yang agak panas.
Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan yang berlarut¬larut dapat diakhiri.
Setelah melalui sidang-sidang yang menegangkan dan melelahkan selama satu minggu, maka pada pukul 19.00 WIB. (terlambat dari yang direncanakan) tanggal 24 April 1955 Sidang Umum terakhir Konferensi Asia Afrika dibuka. Dalam Sidang Umum itu dibacakan oleh Sekretaris Jenderal Konferensi rumusan pemyataan dari tiap-tiap panitia sebagai hasil konferensi. Sidang Umum menyetujui seluruh pemyataan tersebut. Kemudian sidang dilanjutkan dengan pidato sambutan para ketua delegasi. Setelah itu, Ketua Konferensi menyampaikan pidato penutupan dan menyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika ditutup.
Dalam komunike terakhir itu diantaranya dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika telah meninjau soal-soal mengenai kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika dan telah merundingkan cara-cara bagaimana rakyat negara-negara ini dapat bekerja sama dengan lebih erat di bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik. Yang paling mashur dari hasil konferensi ini ialah apa yang kemudian dinamakan Dasa Sila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Kesepuluh prinsip itu ialah :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang termuat dalam piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan
semua bangsa-bangsa besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal¬
soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6. a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertaha¬
nan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu dari negara-negara besar.
b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasio-nal.
Sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan Konferensi Asia Afrika. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing yang beraneka corak dan wama. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet disepanjang Jalan Asia Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama Langkah Bersejarah (The Bandung Walks). Kira-kira pukul 09.00 WIB, semua delegasi masuk ke dalam Gedung Merdeka.
Tak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, tiba di depan Gedung Merdeka dan disambut oleh rakyat dengan sorak-sorai dan pekik "merdeka". Di depan pintu gerbang Gedung Merdeka kedua pucuk pimpinan pemerintah Indonesia itu disambut oleh lima Perdana Menteri negara sponsor. Setelah diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia : "Indonesia Raya", maka Presiden RI Ir. Soekarno mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul "LET A NEW ASIA AND NEW AFRICA BE BORN" (Lahirlah Asia Baru dan Afrika Baru) pada pukul 10.20 WIB.
Dalam kesempatan tersebut Presiden RI Ir. Soekarno menyatakan bahwa kita, peserta konferensi, berasal dari kebangsaan yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya, agama, sistem politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda. Meskipun demikian, kita dapat bersatu, dipersatukan oleh pengalaman pahit yang sama akibat kolonialisme, oleh ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Pada bagian akhir pidatonya beliau mengatakan
"I hope that it will give evidence of the fact that we, Asian and African leaders, understand that Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the safety of the world at large can not be safeguarded without a united Asia-Africa. I hope that it conference will give guidance to mankind, will point out to mankind the way which it must take to attain safety and peace. I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia and New Africa have been born !"
("Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!")
Pidato Presiden RI Ir. Soekarno berhasil menarik perhatian, mempesona, dan mempengaruhi hadirin, terbukti dengan adanya usul Perdana Menteri India yang didukung oleh semua peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada Presiden atas pidato pembukaannya.
Pada pukul 10.45 WIB., Presiden RI Ir. Soekarno mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya bersama rombongan meninggalkan ruangan. Perdana Menteri Indonesia, sebagai pimpinan sidang sementara, membuka sidang kembali. Atas usul Ketua Delegasi Mesir (Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser) yang kemudian disetujui oleh pimpinan delegasi-delegasi : Republik Rakyat Cina, Yordania, dan Filipina, serta karena tidak ada calon lain yang diusulkan, maka secara aklamasi Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi. Selain itu, Ketua Sekretariat Bersama Konferensi, Roeslan Abdulgani dipilih sebagai Sekretaris Jenderal Konferensi.
Kelancaran pemilihan pimpinan konferensi dan acara-acara sidang selanjutnya dimungkinkan oleh adanya pertemuan informal terlebih dahulu di antara para pimpinan delegasi negara sponsor dan negara peserta sebelum konferensi dimulai (16 dan 17 April 1955). Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan yang bertalian dengan prosedur acara, pimpinan konferensi, dan lain-lain yang dipandang perlu. Beberapa kesepakatan itu antara lain bahwa prosedur dan acara konferensi ditempuh dengan sesederhana mungkin.
Dalam memutuskan sesuatu akan ditempuh sistem musyawarah dan mufakat (sistem konsensus) dan untuk menghemat waktu tidak diadakan pidato sambutan delegasi. Perdana Menteri Indonesia akan dipilih sebagai ketua konferensi. Sidang konferensi terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan. Semua kesepakatan tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi adalah sebagai berikut :
Ketua Konferensi : Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Politik Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Ekonomi : Prof. Ir. Roosseno,
Menteri Perekonomian Indonesia
Ketua Komite Kebudayaan : Mr. Moh. Yamin,
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia
Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang bisa diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan-perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara negara-negara Asia Afrika muncul ke permukaan, bahkan sampai pada tahap yang agak panas.
Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan yang berlarut¬larut dapat diakhiri.
Setelah melalui sidang-sidang yang menegangkan dan melelahkan selama satu minggu, maka pada pukul 19.00 WIB. (terlambat dari yang direncanakan) tanggal 24 April 1955 Sidang Umum terakhir Konferensi Asia Afrika dibuka. Dalam Sidang Umum itu dibacakan oleh Sekretaris Jenderal Konferensi rumusan pemyataan dari tiap-tiap panitia sebagai hasil konferensi. Sidang Umum menyetujui seluruh pemyataan tersebut. Kemudian sidang dilanjutkan dengan pidato sambutan para ketua delegasi. Setelah itu, Ketua Konferensi menyampaikan pidato penutupan dan menyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika ditutup.
Dalam komunike terakhir itu diantaranya dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika telah meninjau soal-soal mengenai kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika dan telah merundingkan cara-cara bagaimana rakyat negara-negara ini dapat bekerja sama dengan lebih erat di bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik. Yang paling mashur dari hasil konferensi ini ialah apa yang kemudian dinamakan Dasa Sila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Kesepuluh prinsip itu ialah :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang termuat dalam piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan
semua bangsa-bangsa besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal¬
soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6. a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertaha¬
nan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu dari negara-negara besar.
b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasio-nal.
Dalam penutup komunikasi terakhir
dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan supaya kelima negara
penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari
konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi
usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan
yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di
negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga
konferensi itu tidak jadi.
Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk ke dalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau "Non-Aligned' terhadap Dunia Pertamanya Washington dan Dunia Keduanya Moscow. Jiwa Bandung telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat atau Timur. sebagai penutup uraian singkat ini, dikutip bagian terakhir pidato penutupan Ketua Konferensi Asia Afrika sebagai berikut
"May we continue on the way we have taken together and may the Bandung Conference stay as a beacon guiding the future progress of Asia and Africa".
("Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita di atas jalan yang telah kita pilih bersama-sama dan semoga Konferensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan di masa depan dari Asia dan Afrika").
Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk ke dalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau "Non-Aligned' terhadap Dunia Pertamanya Washington dan Dunia Keduanya Moscow. Jiwa Bandung telah mengubah juga struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat atau Timur. sebagai penutup uraian singkat ini, dikutip bagian terakhir pidato penutupan Ketua Konferensi Asia Afrika sebagai berikut
"May we continue on the way we have taken together and may the Bandung Conference stay as a beacon guiding the future progress of Asia and Africa".
("Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita di atas jalan yang telah kita pilih bersama-sama dan semoga Konferensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan di masa depan dari Asia dan Afrika").
KESIMPULAN
Dari uraian makalah di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan utama konferense tersebut ialah untuk membicarakan
kepentingan bersama bangsa-bangsa Asia afrika pada saat itu, mendorong
terciptanya perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai tempat
konferensi
2.6 PENGIRIMAN
PASUKAN GARUDA
Kontingen
Garuda
Kontingen
Garuda disingkat KONGA atau Pasukan Garuda adalah pasukan Tentara Nasional Indonesia yang ditugaskan
sebagai pasukan perdamaian di negara lain. Indonesia mulai turut serta
mengirim pasukannya sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian PBB sejak 1957.
Sejarah
Ketika Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus1945, Mesir segera mengadakan
sidang menteri luar negeri negara-negara Liga
Arab.
Pada 18 November1946, mereka menetapkan
resolusi tentang pengakuan kemerdekaan RI sebagai negara merdeka dan berdaulat
penuh. Pengakuan tersebut adalah suatu pengakuan de jure menurut hukum
internasional.
Untuk menyampaikan pengakuan ini Sekretaris
Jenderal Liga Arab ketika itu, Abdurrahman
Azzam Pasya,
mengutus Konsul Jendral Mesir di India, Mohammad Abdul Mun'im, untuk pergi ke
Indonesia. Setelah melalui perjalanan panjang dan penuh dengan rintangan
terutama dari pihak Belanda maka akhirnya ia sampai ke Ibu Kota RI waktu itu yaitu Yogyakarta, dan diterima secara
kenegaraan oleh Presiden Soekarno dan Bung
Hatta
pada 15
Maret1947. Ini pengakuan
pertama atas kemerdekaan RI oleh negara asing.
Hubungan yang baik tersebut berlanjut dengan
dibukanya Perwakilan RI di Mesir dengan menunjuk HM Rasyidi sebagi Charge
d'Affairs atau "Kuasa Usaha". Perwakilan tersebut merangkap sebagai
misi diplomatik tetap untuk seluruh negara-negara Liga Arab. Hubungan yang
akrab ini memberi arti pada perjuangan Indonesia sewaktu terjadi perdebatan di
forum Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan
PBB yang membicarakan sengketa Indonesia-Belanda, para diplomat Arab dengan
gigih mendukung Indonesia.
Presiden
Sukarno membalas pembelaan negara-negara Arab di forum internasional dengan
mengunjungi Mesir dan Arab Saudi pada Mei 1956 dan Irak pada April 1960.
Pada 1956, ketika Majelis Umum PBB memutuskan untuk menarik mundur pasukan Inggris, Prancis dan Israel dari wilayah Mesir,
Indonesia mendukung keputusan itu dan untuk pertama kalinya mengirim Pasukan
Pemelihara Perdamaian PBB ke Mesir yang dinamakan dengan Kontingen Garuda I
atau KONGA I.
Ø Kontingen Garuda I
Kontingen Garuda I
dikirim pada 8 Januari1957 ke Mesir. Kontingen Garuda
Indonesia I terdiri dari gabungan personel dari Resimen Infanteri-15 Tentara
Territorium (TT) IV/Diponegoro, serta 1 kompi dari Resimen Infanteri-18 TT
V/Brawijaya di Malang. Kontingen ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Infanteri Hartoyo yang kemudian
digantikan oleh Letnan Kolonel Infanteri Suadi Suromihardjo, sedangkan wakilnya
Mayor Infanteri Soediono Suryantoro. Kontingen Indonesia
berangkat tanggal 8 Januari 1957 dengan pesawat C-124 Globe Master dari
Angkatan Udara Amerika Serikat menuju Beirut, ibukota Libanon. Dari Beirutpasukan dibagi dua,
sebagian menuju ke Abu Suweir dan sebagian ke Al Sandhira. Selanjutnya pasukan
di El Sandhira dipindahkan ke Gaza, daerah perbatasan Mesir dan Israel, sedangkan kelompok
Komando berada di Rafah. Kontingen ini mengakhiri masa tugasnya pada tanggal 29
September1957. Kontingen Garuda I
berkekuatan 559 pasukan.
Ø
Kontingen
Garuda II
Konga II dikirim ke Kongo pada 1960 dan dipimpin oleh
Letkol Inf Solichin GP. Konga II berada di
bawah misi UNOC.KONGA II berjumlah 1.074 orang
dipimpin Kol. Prijatna (kemudian digantikan
oleh Letkol Solichin G.P) bertugas di Kongo September 1960 hingga Mei 1961.
Ø
Kontingen
Garuda III
Konga III dikirim ke
Kongo pada 1962. Konga III berada di
bawah misi UNOC dan dipimpin oleh Brigjen TNI Kemal
Idris
dan Kol Inf Sobirin Mochtar.KONGA III terdiri
atas 3.457orang dipimpin oleh Brigjen TNI Kemal Idris, kemudian Kol. Sabirin
Mochtar. KONGA III terdiri atas Batalyon 531/Raiders, satuan-satuan Kodam
II/Bukit Barisan, Batalyon Kavaleri 7, dan unsur bantuan tempur. Seorang
Wartawan dari Medan, H.A. Manan Karim (pernah menjadi Wkl.
Pemred Hr Analisis) turut dalam kontingen Garuda yang bertugas hingga akhir
1963. Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad
Yani
pernah berkunjung ke Markas Pasukan PBB di Kongo (ketika itu bernama Zaire)
pada tanggal 19 Mei 1963. Komandan Yon Kavaleri 7 Letkol GA. Manulang gugur di Kongo.
2.7 Konferensi
Tingkat Tinggi pertama Negara-negara non-blok
Pada tanggal 1-6 September 1961,
konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Non-blok (Non-aligned)diselenggarakan di Beograd, Yugoslavia. Konferensi
tingkat tinggi ini diprakasai oleh Negara-negara berkembangdengan tujuan tidak
melibatkan diri ke dalam kancah pertentangan politik antara Amerika Serikat
dengan Uni Soviet yang sedang perang dingin saat pasca-perang Dunia II. Sejumlah
Negara-negara berkembang yang tidak mau terpengaruh ke dalam pengelompokan
tersebut berusaha turut serta dalam
usaha meredakan ketegangan dunia. Negara pemprakarsa Konferensi Tingkat Tinggi
ini adalah Indonesia, Yogoslavia, India, Republik Arab Persatuan (Mesir), dan
Afganistan
2.8
MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Dekrit
5 Juli 1959 merupakan tonggak sejarah bagi Indonesia dalam berbangsa dan
bernegara. Dalam perjalanan selanjutnya, muncul berbagai penyimpangan yang
mengantarkan bangsa dan Negara Indonesia memasuki awal masa Demokrasi Terpimpin
2.8.1 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
- DEKRIT PRESIDEN
Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
a. Latar Belakang dikeluarkan dekrit
Presiden :
Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
DEKRIT
Dengan
Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA/PANGLIMA
TERTINGGI ANGKATAN PERANG
Dengan ini
menyatakan dengan khidmat :
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri siding. Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya; Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara Proklamasi; Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adlah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Menetapkan pembubaran Konstituante. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagfi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan
di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia Presiden Republik Indonesia/Panglima
Tertinggi
Angkatan Perang
SOEKARNO |
Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional
Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya.
Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah
negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara.
Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
a. Pembubaran konstituante
b. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
c. Pembentukan MPRS dan DPAS
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:
Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal.
Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.
DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945.
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
2.8.2
PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN
Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia
antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno.
Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Sukarno.
Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.
Tugas Demokrasi terpimpin :
Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini disebabkan karena :
Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai kepala negara.
Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Dampaknya: Penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi (menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di tangan presiden).
Pelaksanaan masa Demokrasi Terpimpin :
Kebebasan partai dibatasi
Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Pemerintah berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945.
Dibentuk lembaga-lembaga negara antara lain MPRS,DPAS, DPRGR dan Front Nasional.
2.8.3
Penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan
Demokrasi terpimpin dari UUD 1945 adalah sebagai berikut.
Ø Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi, kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
Ø Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR.
Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat :
Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200 orang wakil golongan.
Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Ø Pembubaran DPR dan
Pembentukan DPR-GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti kehendak serta kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.
Melaksanakan manifesto politik
Mewujudkan amanat penderitaan rakyat
Melaksanakan Demokrasi Terpimpin
Ø Pembentukan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang wakil golongan. Tugas DPAS adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan mengajukan usul kepada pemerintah.
Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan suara bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun 1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.
Ø Pembentukan Front
Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut.
Menyelesaikan Revolusi Nasional
Melaksanakan Pembangunan
Mengembalikan Irian Barat
Ø Pembentukan Kabinet
Kerja
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut.
Mencukupi kebutuhan sandang pangan
Menciptakan keamanan negara
Mengembalikan Irian Barat.
Ø Keterlibatan PKI
dalam Ajaran Nasakom
Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa.
Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden.
Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
Ø Adanya ajaran RESOPIM
Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional) adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.
Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.
Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara ditetapkan dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian pangkat menteri kepada pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri seharusnya sebagai pembantu presiden.
Ø Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
Ø Penataan Kehidupan
Partai Politik
Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara leluasa. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11 partai.
Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian.
Pembatasan gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama presiden. Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk membubarkan 2 partai politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai tersebuat adalah karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960.
Ø Arah Politik Luar
Negeri
Politik
Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces)
Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme.
Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
Politik
Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan
Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan
negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris
yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo.
Dalam
rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora)
pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.
Bantu
perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Pelaksanaan
Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan
adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
Politik
Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing.
Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Politik
Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur.
Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin.
Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju.
GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional.
Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak dengan:
a. Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
b. Pidato presiden yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17 Agustus 1959 yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959.
c. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih dikenal dengan MANIPOL USDEK.
d. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai presiden seumur hidup.
e. Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman revolusi dan politik luar negeri.
f. Presiden berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di antara TNI dengan Parpol.
g. Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk Komandan Operasi Tertinggi (KOTI)
PERISTIWA-PERISTIWA EKONOMI INDONESIA PASCA PENGAKUAN KEDAULATAN
Seiring dengan perjalanan waktu,
kondisi ekonomi pemerintahan dan rakyat Indonesia pasca-pengakuan kedaulatan
dapat dibedakan menjadi dua masa yakni masa Demokrasi Liberal dengan masa
Demokrasi Terpimpin
3.1
Masa Demokrasi Liberal
3.1.1 KEADAAN EKONOMI INDONESIA MASA LIBERAL
Meskipun Indonesia
telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk
mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa
bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.
a)
Faktor
yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1.
Setelah
pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa
Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan
dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah
dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2.
Defisit
yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3.
Indonesia
hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan
perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan
memukul perekonomian Indonesia.
4.
Politik
keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang
oleh Belanda.
5.
Pemerintah
Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6.
Belum
memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga
ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7.
Situasi
keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8.
Tidak
stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah
untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9.
Kabinet
terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah
direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan
jumlah penduduk yang besar.
b)
Masalah
jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1.
Mengurangi
jumlah uang yang beredar
2.
Mengatasi
Kenaikan biaya hidup.
c)
Masalah
jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
1.
Pertambahan
penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
3.1.2 KEBIJAKAN
PEMERINTAH UNTUK MENGATASI MASALAH EKONOMI MASA LIBERAL
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959
belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya
pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
1.
Gunting
Syafruddin
Kebijakan
ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang
bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan
ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa
pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan
SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950
Tujuannya untuk menanggulangi defisit
anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena
yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas
atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan
pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat
pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
2.
Sistem
Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan
usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat
sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro
Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah
struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi
Indonesia). Programnya
Menumbuhkan
kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para
pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para
pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan
kredit.
Para
pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program
Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya
selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia
menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat
tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar.
Kegagalan
program ini disebabkan karena :
Para
pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam
kerangka sistem ekonomi liberal.
Para
pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para
pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para
pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para
pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup
mewah.
Para
pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari
kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya program ini menjadi salah satu
sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3
Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7
miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan
kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi
lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang
dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
3.
Nasionalisasi
De Javasche Bank
Seiring meningkatnya
rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan
nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat
peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah
Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan
moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan
dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.
Perubahan
mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank
sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan
Undang-undang No. 24 tahun 1951.
4.
Sistem
Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh
Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program
ini adalah
Untuk
memajukan pengusaha pribumi.
Agar
para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
Pertumbuhan
dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Memajukan
ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non
pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi
sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina.
Pelaksanaan
kebijakan Ali-Baba,
Pengusaha pribumi
diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada
tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
Pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Pemerintah
memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing
yang ada.
Program
ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha
pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan
bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia
menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
Pengusaha
pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
5.
Persaingan
Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim
delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak
Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung.
Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang
berisi :
Persetujuan
Finek hasil KMB dibubarkan.
Hubungan
Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
Hubungan
Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau
menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13
Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni
Indonesia-Belanda secara sepihak.
Tujuannya untuk melepaskan diri dari
keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya
Presiden Sukarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB.
Dampaknya :
Banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih
perusahaan Belanda tersebut.
6.
Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet
pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya
kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang
dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet
Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang
pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang
nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang
rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada
tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui
Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5
miliar rupiah.
Ø
RPLT
tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
Adanya
depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan
awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan
pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya
ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan
kebijakan ekonominya masing-masing.
7.
Musyawarah
Nasional Pembangunan
Masa
kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah
tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional
Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan
agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.
Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan
baik karena :
Adanya
kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
Terjadi
ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
Timbul
pemberontakan PRRI/Permesta.
Membutuhkan
biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan
defisit Indonesia.
Memuncaknya
ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai
konfrontasi bersenjata.
3.2 Demokrasi Terpimpin
Kondisi perekonomian Indonesia pada masa
Demokrasi Terpimpin dalam praktinya belum memihak pada kesejahteraan rakyat
karena berjalan tanpa aturan-aturan yang jelas. Perekonomian dikendalikan oleh
pemerintah sedangkan pihak swasta belum dapat bergerak secara maksimal.
Pemerintah, sebagai pemegang kendali ekonomi utama, justru melakukan tindakan-tindakan yang kurang tepat menurut
ketentuan ekonomi sehingga menyebabkan semakin merosotnya kondisi perekonomian
nasional.
Serangkaian tindakan pemerintah Indonesia
yang dipandang kurang tepat, jika dilihat dari sisi perekonomian, yang bersifat
mengacaukan ekonomi adalah usaha pemerintah dalam menghimpun dana secara khusus
yang sepenuhnya dikuasai dan hanya boleh diambil oleh pemimpin Negara
(presiden) secara pribadi. Penghimpunan dana tersebut dikenal dengan nama “Dana
Revousi”. Upaya yang dilakukan presiden untuk mengumpulkan dan revolusi adalah
dengan menarik sumbangan dari pengusaha yang diberi izin impor dengan Deferred Payment (DP) khusus. Lebih
ironisnya lagi, barang-barang yang diimpor antara lain berupa barang-barang
mewah yang tidak bermanfaat untuk rakyat banyak, bahkan merupakan barang-barang
yang mudah menjadi bahan spekulasi dalam perdagangan. Deferred Payment (DP) Khusus itu justru meningkatkan laju inflasi
sehingga rakyat kecil semakin terimpit oleh beratnya beban penghdupan karena
terus merosotnya nilai uang dari hari ke hari dan terus meningkatkannya
harga-harga.
Selanjutnya, pemerintah menegeuarkan
ketetapan yang memungkinkan menteri keuangan menempuh kebijakan yang dapat
menyimpang dari Undang-undang Pokok BANK INDONESIA. Menteri keuangan kemudian
memutuskan bahwa neraca bank Indonesia (BI) tidak boleh dipublikasikan sehingga
Bank Indonesia mengatur peredaran uang. Oleh karena neraca Bank Indonesia tidak
dipublikasikan, maka timbulah usaha-usaha spekulasi dalam dunia perdagangan.
Pemerintah
terlihat tidak melakukan pengendalian ekonomi yang ketat terhadap setiap
pengeluaranya. Sehingga dari tahun ke tahun timbul kerugian (deficit) yang semakin lama semakin
besar. Upaya yang dilakuakan pemerintah untuk menutupi defiset peerhitungan ,
sehingga laju inflasi menjadi tidak terkendali . hal ini dapat dilihat pada
akhir tahun 1965 laju inflasinya mencapai 650%.
Kondisi
ekonomi yang semakin kalut itu mendorong krisis akhlak, baik pada pihak yang
kekurangan uang maupun yang berlebihan uang. Pihak yang kekurangan uang akan
melakukan penyelewengan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sedangkan pihak
yang kelebihan uang dan mendadak menjadi kaya menjadi lupa diri.
Daftar
Pustaka
2008. Wayan, dkk. Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SMP Kelas IX. Jakarta. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Depdikbud
1998. Atlas Indonesia, Dunia, dam budaya
nya. Jakarta: Depdikbud
Depdikbud
1999. Kurikulum 1994 Suplemen GBPP
Pelajaran IPS. Jakarta: Ditjendikdasmen
Depdiknas.
2006. Standar Kompetensi dan Mata
pelajaran Ilmu pengetahuan
Sosial
SMP/MTs. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian Dan pengembangan
1990.
Negara dan Bangsa Jilid 1-10 (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: Widyadara
1994.
Ilmu Pengetahuan Populer (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: Widyadara
Moedjanto,
G., MA., Drs. 1998. Indonesia Abad ke-20, Jilid 1. Dari Kebangkitan sampai
Linggarjati.
Wiyana,
CV. Gema Nusa
Depdiknas.
2008.
Panduan Museum Konperensi Asia Afrika, Departemen Luar Negeri RI
Direktorat Jenderal Informasi, Diplomasi Publik, Dan Perjanjian Internasional
Museum Konperensi Asia Afrika, 2004