Sabtu, 09 September 2023

APA ITU KUSTA ?? MORBUS HANSEN??

 KUSTA




PENDAHULUAN 

Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata kusta disebut dalam kitab lnjil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibandingkan dengan kusta yang kita kenal sekarang. 


DEFINISI 

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 


SINONIM 

Lepra, morbus Hansen (MH)


EPIDEMIOLOGI 

Masalah epidermiologi masih belum terpecah- kan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. 

Masa tunas sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata- rata 3-5 tahun. 

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, 

diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina . Distribusi penyakit tiap-tiap negara maupun di dalam satu negara sendiri temyata berbeda-beda. Demikian pula penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat ini belum jelas benar. 

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penu- laran, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentan- an, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Penyakit kusta masa kini berbeda dengan kusta masa dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya. 

Belum ditemukan medium artifisial , mem- persulit dalam mempelajari sifat-sifat M. leprae . Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meski- pun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107 , daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. 

Kusta bukan penyakit keturunan . Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak nengandung M. /eprae yang berasal dari traktus respiratorius atas . T empat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ± 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. 

Kusta terdapat di seluruh dunia , terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis , serta masyarakat yang sosial ekonomi- nya rendah . Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial eko- nomi tinggi sangat membantu penyembuhan . Didapatkan variasi reaksi terhadap infeksi M. /eprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.

Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indo- nesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis . Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0.76.

Kusta merupakan penyakit yang menyeram- kan dan ditakuti , karena dapat terjadi ulserasi , mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja , tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya . Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ire-versibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang- ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.



ETIOLOGI

Kuman penyebab adalah Mycobacterium /eprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai bekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial . M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8μm x 0,5 μm, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.

P A TOGENESIS

Pada tahun 1960 Shepard berhasil meng- inokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak di sekitartempat suntikan . Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada per- bedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan dan kalau melampaui j umlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan .

lnokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r, sehingga kehilangan respons imun selularnya , akan meng- hasilkan granuloma penuh kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingin , yaitu hidung , cuping telinga, kaki, dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti me-menuhi salah satu postulat Koch, meskipun be-lum seluruhnya dapat dipenuhi.

Sebenamya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bah- kan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitasnya infeksinya.

GEJALA KLINIS

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gam- baran klinis, bakterioskopis, histopatologis, dan serologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.

Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang,dapattimbulgejalaklinissesuaidengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gam-baran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Agar proses selanjutnya lebih jelas lihat bagan patogenesis ini (gambar 11-1 ).





Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu jugaLL adalah tipe lepromatosapolar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedang- kan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang ter- diri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BLdan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TI maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada tabel 11-1.

Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB . Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT, dan I. Diagnosis banding berbagai tipe tersebut tercantum pada tabel 11-2 dan 11-3.

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I, T I dan BT dengan IB kurang dari 2+ .

Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah te~adi perubahan klasifikasi. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, T I dan BT menurut klasifikasi Ridley- Jopling





Bila pada tipe-tipe tersebut disertai STA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apa pun klasifikasi klinisnya dengan STA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.

Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan , pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini tercantum pada tabel 11-4.

Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe . Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh , lengan , tungkai , dan sebagainya . Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya , umpamanya di sisi kiri berbeda dengan sisi kanan. Begitu pula dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari tempat mana biopsi- nya diambil. Sebagaimana lazimnya dalam ben- tuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang meng- gunakan alat sederhana, yaitu: jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta, dan sebagainya.

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh 

Orang awam pun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bahkan barangkali para ahli kecantikan dapat menduga ke arah penyakit kusta, terutama bagi kelainan kulit yang masih berupa makula hipo- pigmentasi , hiperpigmentasi dan eritematosa.

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja , infitrat saja, atau keduanya. Buatlah diagnosis banding dengan banyak penyakit kulit lainnya yang hampir serupa, sebab penyakit kusta ini mendapat ju lukan the greatest imitator dalam ilmu Penyakit Kulit. Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroika , psoriasis , neurofibromatosis , granula anulare , xantomatosis , skleroderma , leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa, dan birth mark.

Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis , meskipun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelasdengankeduacaratersebutbarulahpengujian terhadaprasasuhu,yaitupanasdandingindengan menggunakan 2 tabung reaksi.

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak,



 

yang dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat mem- bantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT).

Mengenai saraf perifer yang perlu diperhati- kan ialah pembesaran , konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau nyeri tekan. Hanya bebe- rapa saraf superfisial yang dapat dan perlu di- periksa, yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. politea lateralis, dan N. tibialis posterior. Tampaknya mudah, tetapi memerlukan latihan dan kebiasaan untuk memeriksanya . Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya , dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang men- desak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius alas, tulang- tulang jari , dan wajah . Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf (sensorik, motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki

PENUNJANG DIAGNOSIS

1. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan . Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwamai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (ST A) , antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN . Bakterioskopik negatif pada seorang pen- derita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. leprae.

Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh kuman , setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin . Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaik- nya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritema- tosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak. Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan ditempat yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibanding- kan hasilnya.

Cara pengambilan bahan dengan meng- gunakan skalpel steril. Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan meng- ganggu gambaran sediaan . lrisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengan- dung sel Virchow (sel lepra) yang di dalam- nya mengandung kuman M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwamai dengan pewamaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewarnaan ini dapat digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan cara-cara lain dengan segala kelebihan dan kekurangan- nya disesuaikan dengan keadaan setempat.

Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Per- hatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair, serosa, bening , mukoid , muko- purulen , purulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat langsung atau plastik tersebut dilipat dan kirim ke laboratorium.

2. Pemeriksaan histopatologik

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus , antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. /eprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem lmunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae . Datangnya

histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkutpenyebarluasan .

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histo- patologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi sub- epidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline , terdapat campuran tersebut 

3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragu- kan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Di samping itu dapat membantu menentu- kan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam- macam pemeriksaan serologik kusta ialah:
- Uji MLP A (Mycobacterium Leprae Particle

Aglutination)
Uji ELISA (Enzyme Linked lmmunosorbent Assay)
ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)
ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)


REAKSIKUSTA

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi belum jelas betul, terminologi dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong di- dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam- macam itu, yang tampaknya paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu:

ENL (eritema nodusum leprosum) dan Reaksi reversal atau reaksi upgrading 


Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibodi (lgM, lgG) + komplemen ~ kompleks imun.

Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. Temyata bahwa kadar imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid . Hal ini te~adi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat te~adi karena pada pengobatan, banyak kuman kusta yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.

Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti irido- siklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.

Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat di- sebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS, yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pen- cetusnya belum diketahui pasti , diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat- tempat kuman M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti pemah diterangkan terdahulu bahwa yang menentukan tipe penyakit adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas ke arah T I dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu disertai perubahan SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah T I dengan disertai peningkatan SIS , hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta, akhir-akhir ini sudah hampir tidak terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjuk- kan pergeseran ke arah lepromatosa masih tetap berlaku, berarti bergerak secara lambat, tidak secepat reaksi.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neu-ritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.

Kalau diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, se- hingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus. Kalau ada berarti reaksi nodular atau ENL, jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.

PENGOBATAN KUSTA

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS {diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan HOGERZEIL, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO me- nambahkan 3 obat antibiotik lain untuk peng- obatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin .

Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.

Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah.

MDT digunakan sebagai usaha untuk: mencegah dan mengobati resistensi memperpendek masa pengobatan mempercepat pemutusan mata rantai pe- nularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:

efek terapeutik obat
efek samping obat ketersediaan obat
harga obat
kemungkinan penerapannya 



DDS

Tentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai monoterapi. Pada tahun 1960, Shepard berhasil melakukan inokulasi M. leprae ke dalam telapak kaki mencit. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya resistensi terhadap DDS oleh Pettit dan Rees, disusul secara beruntun pembuktian adanya resistensi yang meningkat di berbagai negara . Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT.

Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan , yaitu relaps sensitif (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan se- suai dengan waktu yang ditentukan. Secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M. leprae masih sensitif terhadap DDS. M. leprae yang semula dorman, sleeping, atau persisten, bangun dan aktif kembali . Pada pengobatan sebelumnya, kuman dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun . Pada relaps resisten penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama. Dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan histo- patologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada mencit, bahwa M. leprae resisten terhadap DDS. Cara pembuktiannya ialah dengan percobaan pengobatan dengan DDS 100 mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis, bakterioskopik, dan histopatologik. Apabila fasilitas mengizinkan, dapat ditentukan gradasi resistensinya dari yang rendah,sedang, sampa i yang tinggi. lnokulasi mencit pernah dilaksanakan di Bagian Mikrobiologi FKUI Jakarta.

Resistensi hanya terjadi pada kusta multi- basi lar, tetapi tidak pada pausibasilar oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT, BT, BB , BL , LL) , bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.
Resistensi sekunder terjadi oleh karena:

-monoterapi DDS 

-dosis terlalu rendah
-minum obat tidak teratur
-minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya
-pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat , anemia hemolitik , leukopenia , insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekro- lisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia

 

Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan ; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan , tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya.

Ditemukan dan dipakai sebagai obat anti- tuberkulosis pada tahun 1965 dan sebagai obat kusta pada tahun 1970 oleh Rees dkk., serta Leiker dan Kamp. Resistensi pertama terhadap M. leprae dibuktikan pada tahun 1976 oleh Jacobson dan Hastings.

Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.

Klofazimin (lampren)

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu . Juga bersifat antinflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/ hari namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu . Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982.

Efek sampingnya ialah warna merah ke- coklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera , sehingga mirip ikterus , apalagi pada dosis tinggi , yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut disebabkan karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem retikulo- endotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat reversibel , meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.

Protionamid

Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan


Obat alternatif Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg . Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cema lainnya, ber- bagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat.

Penggunaan pada anak, remaja, ibu hamil dan menyusui harus hati-hati, karena pada hewan muda, kuinolon menyebabkan artropati.

Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada klaritromisin , tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang- kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simtom saluran cema dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan

Cara pemberian MDT

1. MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah:

- Rifampisin 600 mg setiap bulan , dalam pe- ngawasan

- DDS 100 mg setiap hari
- Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pe-

ngawasan , diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu

Awalnya kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat bakte- rioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilaku- kan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan . Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multi- basilar ini hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat singkat dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibanding- kan dengan cara sebelumnya yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai seumur hidup. Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC).

Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian obat dapat dihentikan , tanpa memperhatikan bakterioskopis. 



Pencegahan cacat

Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko tinggi untuk te~adinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal , lesi kulit multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau Iuka yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya ber- bentuk daerah yang kehilangan sensibilitas- nya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda kecil , atau kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan , sebab pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi berlanjut.

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin . Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah terkena, memaka i sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, Iuka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam , disikat dan dimi-nyaki agar tidak kering dan pecah.

WHO Expert Committee on Leprosy

(1977) membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta . Pada pertemuan yang ketujuh dibuat amandemen khusus untuk mata 


Rehabilitasi

Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilaku- kan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempuma kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.

Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu mem- beri lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuh- nya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).



DAFTAR PUSTAKA

1. Agusni I, Menaldi SL. Beberapa prosedur diagnosis baru pada penyakit kusta. Dalam: Syamsoe Daili ES, Menaldi SL, lsmiarto SP, Nilasari H, editor. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h. 59-65.

2. BrycesonA,PfaltzgraffRE. Leprosy.31<1ed.Edinburg: Chruchill Livingstone; 1990.

3. Hastings RC. Leprosy. Edinburg : Churchill Living- stone; 1985.

4. World Health Organization. A guide to eliminating leprosy as a public health problem. 11ed. Geneva: WHO; 1995.

5. World Health Organization . WHO model pre- scribing infonnation. Drug used in leprosy. Geneva: WHO; 1998.

6. Kumar H, Kumar B. IAL Textbook of Leprosy. 11 ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd; 2010.

7 . Elston OM, Berger TG, James WO . Hansen;s Disease. In: Andrew's diseases of the skin. Clinical Dennatology. 10., ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006. p. 343-52.

8. Modlin RL, Rea TH, Lee DJ, Weinberg AN. Leprosy. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ., Wolff K, Freedberg IM, Austen KF. Dennatology in General Medicine. 8., ed. New York: McGraw-Hill Book Company; 2012. p. 2253-62.