Pajak
Dari Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
ajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan—
dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa
berdasarkan norma-norma hukum
untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa
kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Daftar isi
Definisi
Terdapat
bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan
oleh para ahli di antaranya adalah:
Leroy Beaulieu
Pajak adalah bantuan, baik secara
langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau
dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.[1]
P. J. A.
Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.[2]
Prof. Dr. H.
Rochmat Soemitro SH
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment.[3]
Ray M.
Sommerfeld, Herschel M. Anderson, dan Horace R. Brock
Pajak adalah suatu pengalihan sumber
dari sektor swasta ke sektor
pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan,
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang
langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya
untuk menjalankan pemerintahan.[4]
Pajak dari
perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya
dari sektor
privat kepada sektor
publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak
menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan
individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan
jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan
jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara
pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro
merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang
menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah
penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan
uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari
pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan
undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus
sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut
Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir
dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan
adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak
mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''
Unsur pajak
Dari berbagai
definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak
sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau
pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat
ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak,
antara lain sebagai berikut:
- Pajak
dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan
ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
- Tidak
mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat
ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan
bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak
membayar pajak kendaraan bermotor.
- Pemungutan
pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka
menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
- Pemungutan
pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan.
- Selain
fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran
Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan
pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi
mengatur / regulatif).
Jenis Pajak
Sering disebut
juga pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri
atas:
Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008
Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009
UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea
Materai
UU No. 10 Tahun 1995 jo. UU No. 17
Tahun 2006 tentang Kepabeanan
UU No. 11 Tahun 1995 jo. UU No. 39
Tahun 2007 tentang Cukai
Sesuai UU No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis-jenis
Pajak Daerah:
Pajak Provinsi terdiri atas:
- Pajak
Kendaraan Bermotor;
- Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor;
- Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
- Pajak Air
Permukaan; dan
- Pajak
Rokok.
Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
- Pajak
Hotel;
- Pajak
Restoran;
- Pajak
Hiburan;
- Pajak
Reklame;
- Pajak
Penerangan Jalan;
- Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan;
- Pajak
Parkir;
- Pajak Air
Tanah;
- Pajak
Sarang Burung Walet;
- Pajak Bumi
dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
- Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Undang-undang perpajakan negara
- Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
- Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
- Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah
- Undang-Undang
Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan
- Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
Fungsi pajak
Pajak mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam
pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal
di atas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber
pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya
ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk
pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang,
pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang
dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni
penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini
dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan
yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa
mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan
pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal,
baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas
keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah
menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
Fungsi stabilitas
Dengan adanya
pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan
dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan,
Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di
masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang
sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan
umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka
kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Syarat pemungutan pajak
Tidaklah mudah
untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu
tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka
pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan
berbagai masalah, maka pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk
hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam
hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam
pelaksanaannya.
Contohnya:
- Dengan
mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
- Pajak
diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib
pajak
- Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan
secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan
Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang
berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak
diperlakukan secara umum
Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib
pajak
Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan
pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa.
Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha
masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya
yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan. Jangan
sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak
tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah
untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan
dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak
dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang
sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus
dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak untuk
meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem
pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2
macam tarif
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu
tarif, yaitu 10%
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk
perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi
badan maupun perseorangan (pribadi)
Asas pemungutan
Untuk dapat
mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan tentang
asas pemungutan pajak, antara lain:
Adam Smith,
pencetus teori The Four Maxims
1. Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal
"The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai
berikut:
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan
atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai
dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus
berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
Asas Convinience of Payment (asas
pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut
pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat
wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima
hadiah.
Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis):
biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya
pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.[5]
2. Menurut W.J.
Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan
besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu
dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan
sama).
Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan
sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek
pajak sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3. Menurut Adolf
Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya
memadai sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak
pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi,
untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian
perpajakan (kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana
cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang.
Asas Pengenaan Pajak
Agar negara
dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan
lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut,
tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di
Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan
undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan
asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk
mengenakan pajak.
Terdapat
beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan
wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak
penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai
landasan untuk mengenakan pajak adalah:
- Asas
domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle): berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan, apabila untuk
kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang
bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak
dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal.
Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan
pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili
(kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang
diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri
(world-wide income concept).
- Asas
sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya
apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima
oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang
berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai
siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan
tersebut sebab yang menjadi landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak
yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka
dari penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
- Asas
kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan (nationality/citizenship
principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak
adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana
penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas
domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini
dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep
pengenaan pajak atas world wide income.
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil
antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau
kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama,
pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan
kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan
dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau
berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam
asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak
tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi
landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan
pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang
memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua
asas yang disebut pertama, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang
diperoleh di mana saja (world-wide income), sedangkan pada asas sumber,
penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada
penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara
yang bersangkutan.
Kebanyakan
negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi mengadopsi lebih
dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber, gabungan asas
nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya sekaligus.
Indonesia, dari
ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek
pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili
dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut
asas kewarganegaraan yang parsial,
yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak
untuk orang pribadi.
Jepang, misalnya untuk
individu yang merupakan penduduk (resident individual) menggunakan asas
domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan
penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar
Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan
badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan
atas setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.
Australia, untuk semua
badan usaha milik negara maupun swasta yang berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh
penghasilan yang diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu,
untuk badan usaha luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari
sumber yang ada di Australia.
Teori pemungutan
Menurut R.
Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada
beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
- Teori
asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas
untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan
jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut
diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai
pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara
tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
- Teori
kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya
kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam
perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan
perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori
ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan
perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial,
kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang
miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
Penerimaan Pajak di Indonesia
Penerimaan
pajak tahun 2012 adalah 835,25 Triliun, dibandingkan dengan realisasi Tahun
2011 maka realisasi penerimaan perpajakan tahun 2012 naik sebesar 92,53 Trilyun
atau mengalami pertumbuhan sebesar 12, 47 %. Pertumbuhan ini lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2012 sebesar
10,87%. Realisasi penerimaan pajak 2012 per jenis pajak :
Rencana
penerimaan pajak Tahun 2013 adalah sebesar Rp1.042,32 triliun atau tumbuh
24,79% dibandingkan dengan realisasi penerimaan tahun 2012. Penerimaan tersebut
memberikan kontribusi sebesar 68,14% dari rencana anggaran Pendapatan Negara
Tahun 2013 sebesar Rp1.529,67 triliun.
Pendapatan
pajak itu belum termasuk pendapatan cukai, bea masuk, dan pendapatan pungutan
ekspor.
Pajak
Berdasarkan wujudnya, pajak dibedakan menjadi:
- Pajak
langsung adalah pajak yang dibebankan secara langsung kepada wajib pajak
seperti pajak pendapatan, pajak kekayaan.
- Pajak
tidak langsung adalah pajak/pungutan wajib yang harus dibayarkan sebagai
sumbangan wajib kepada negara yang secara tidak langsung dikenakan kepada
wajib pajak seperti cukai rokok dan sebagainya.
Berdasarkan jumlah yang harus dibayarkan, pajak dibedakan
menjadi:
- Pajak
pendapatan adalah pajak yang dikenakan atas pendapatan tahunan dan laba
dari usaha seseorang, perseroan terbatas/unit lain.
- Pajak
penjualan adalah pajak yang dibayarkan pada waktu terjadinya penjualan
barang/jasa yang dikenakan kepada pembeli.
- Pajak
badan usaha adalah pajak yang dikenakan kepada badan usaha seperti
perusahaan bank dan sebagainya.
Laba usaha yang
diterima oleh badan usaha maupun perorangan itulah yang akan dikenai PPh. Namun
demikian, bagi Wajib Pajak perorangan, sebelum laba dikenakan pajak terlebih
dahulu dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang besarnya
ditetapkan dan bergantung pada jumlah tanggungan keluarganya. Sebenarnya, pihak
yang memiliki sebuah usaha berbentuk badan adalah juga perorangan sebagai
investor. Hasil yang akan diterima oleh investor sebagai pemilik usaha
merupakan penghasilan kembali yang merupakan Objek PPh bagi perorangan. Namun
karena prinsip usaha adalah “going concern” maka keuntungan dari sebuah badan
usaha tidak selalu langsung dinikmati oleh investor (pemilik) tetapi dapat
ditanamkan kembali untuk memperbesar usaha. Sehingga penghasilan yang diterima
oleh perorangan atas investasinya di badan usaha bisa ditunda sampai keuntungan
tersebut dibagikan ke perorangan.
Pajak berdasarkan pungutannya dapat dibedakan menjadi:
- Pajak bumi
dan bangunan (PBB) adalah pajak/pungutan yang dikumpulkan oleh pemerintah
pusat terhadap tanah dan bangunan kemudian didistrubusiakan kepada daerah
otonom sebagai pendapatan daerah sendiri.
- Pajak
perseroan adalah pungutan wajib atas laba perseroan/badan usaha lain yang
modalnya/bagiannya terbagi atas saham–saham.
- Pajak
siluman adalah pungutan secara tidak resmi/pajak gelap dan merupakan
sumber korupsi.
- Pajak
transit adalah pajak yang dipungut di tempat tertentu yang harus dilalui
oleh pengangkutan orang/barang dari suatu tempat ke tempat lain.
Lihat pula
Referensi
2.
^ Adriani, P.J.A (1949). Het
belastingrecht: zijn grondslagen en ontwikkeling (dalam bahasa Belanda).
Amsterdam: Veen.
3.
^ Soemitro, Rochmat (1988). Pengantar
Singkat Hukum Pajak. Bandung: Eresco. ISBN
979-8020-23-5.
4.
^ Sommerfeld, Ray M.; Anderson, Herschel
M.; Brock, Horace R. (15 Agustus 1972). An Introduction to Taxation [Pengantar
Perpajakan] (dalam bahasa Inggris). Forth Worth: Harcourt College
Publishers. ISBN
9780155463035.
5.
^ Smith, Adam (1776). An Inquiry into
the Nature and Causes of the Wealth of Nations (dalam bahasa Inggris).
London.
Pranala luar
|
Wikisumber memiliki naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel ini:
|