Minggu, 16 Agustus 2020

IMUNOPATOGENESIS ASTHMA BRONCHIALE

 IMUNOPATOGENESIS ASTHMA BRONCHIALE 

KARYA TULIS ILMIAH

 

 

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pengganti Kuliah Immunologi

 

 

 

Oleh

Hadi Alwani

 

4111181103

 

 




 

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

MEI 2020





                                                                                BAB I 

PENDAHULUAN

Asma saat ini telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara yang dapat menurunkan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas dimana banyak sel yang berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Individu yang rentan, proses inflamasi tersebut menyebabkan wheezing berulang, sesak napas, dada rasa tertekan dan batuk terutama malam hari dan atau menjelang pagi. Episode ini bervariasi dan sering reversibel, baik spontan maupun dengan pengobatan. Hambatan aliran udara pada asma disebabkan oleh berbagai perubahan dalam saluran napas yaitu bronkokontriksi, edema saluran napas, hiperresponsif saluran napas dan airway remodeling. Data Global Initiative for Asthma (GINA) pada tahun 2014, diperkirakan sebanyak 300 juta manusia menderita asma. Data National Center for Health Statistics of the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 2011 selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2009 menunjukkan proporsi penderita asma di segala usia meningkat setinggi 12,3%. SedangkandataRisetKesehatanDasar(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi penyakit asma di Indonesia mencapai 4%. Angka ini jauh di atas prevalensi asma pada tahun 1995 menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang hanya 1,3%.

 

 

 

1.2 Rumusan Masalah 

  1. Apa saja dasar-dasar hipersensitivitas berdasarkan patogenesis Gell dan Coombs? 
  2. Bagaimana imunopatogenesis dan patofisiologi asthma bronchiale? 
  3. Bagaimana dampak 2 tahap reaksi hipersensitivitas Tipe I pada tanda dan gejala asthma bronchiale? 
  4. Apa saja jenis mediator yang dilepaskan oleh mastosit serta perannya dalam patofisiologi asthma bronchiale? 
  5. Apa saja faktor yang menyebabkan ketidak berhasilan pengobatan dengan anti-histaminika pada serangan hipersensitivitas Tipe I? 
  6. Apa saja alergen yang dapat menimbulkan penyakit asthma bronchiale? 

1.3 Tujuan Penulisan 

  1. Mengetahui dasar-dasar hipersensitivitas berdasarkan patogenesis Gell dan Coombs. 
  2. Mengetahui imunopatogenesis dan patofisiologi asthma bronchiale. 
  3. Mengetahui dampak 2 tahap reaksi hipersensitivitas Tipe I pada tanda dan gejala asthma bronchiale. 
  4. Mengetahui jenis mediator yang dilepaskan oleh mastosit serta perannya dalam patofisiologi asthma bronchiale. 
  5. Mengetahui faktor yang menyebabkan ketidak berhasilan pengobatan dengan anti- histaminika pada serangan hipersensitivitas Tipe I. 
  6. Mengetahui alergen yang dapat menimbulkan penyakit asthma bronchiale. 

1.4 Manfaat Penulisan 

1.4.1.Manfaat Akademik 

Hasil Karya Tulis Ilmiah ini dapat memenuhi tugas pengganti kuliah immunologi yang dapat digunakan sebagai pengetahuan baru. 

 

1.4.2.Manfaat Praktis 

  1. a)  Bagi penulis
    Karya tulis ini diharapkan dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan sehingga dapat digunakan untuk kedepannya sebagai manfaat klinis. 
  2. b)  Bagi Masyarakat
    Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai asthma bronchiale. 

 

 

 

2.0 Dasar-Dasar Hipersensitivitas Berdasarkan Patogenesis Gell Dan Coombs

 

Pengertian 

Suartu reaksi imun tubuh dapat menimbulkan cedera  dissebut hipersensitifitas merupakan dasar dari patologi yang terkait dengan penyakit imun. Muncul dari seseorang yang sebelumnya pernah terpapar antien sehingga dapat terdeteksi antien tersebut, dan karena itu disebut tersensitiasi atau terjadi peka atau sensitive. Ada beberapa penyebab ganguan hipersenstivitas secara umum yaitu:

·      Reaksi dapat timbul karena factor eksogen oleh lingkungan (mikroba dan non mikroba). Antigen eksogen meliputi yang ada di debu,serbuk sari makanan dan obat-obatan. Reaksi imun akibat eksoen menyebabkan berbagai bentuk, mulai dari gangguan ringanseperti gatal-gatal kulit, dan penyakit yan  berpotensi fatal seperti asma bronkial dan anafilaksis.

·      Hipersensitivitas diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara mekanisme efektor imun dan menkanisme control yang berfunsi membatasi respon-respon secara normal

Klasifikasi REaksi Hipersensitivitas

Penyakit hipersensitivitas dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologi yang memperantarai penyakit. Berguna dalam membedakan mekanisme respon imun menyebabkan cedera jaringan dan penyakit, dan manifestasi patologis dan klinis yang menyertainya. Namun, sekarang semakin disadari bahwa beberapa mekanisme mungkin terjadi pada setiap penyakit hipersensitivitas. 

  • Pada hipersensitivitas segera (hipersensitivitas tipe I), cedera disebabkan oleh sel TH2, antibodi IgE dan sel-sel mast dan leukosit lainnya. Sel mast akan dipicu untuk melepas mediator yang bekerja pada pembuluh darah dan otot polos dan sitokin proinflamasi yang merekrut sel inflamasi. 
  • Pada gangguan yang diperantarai antibodi (hipersensitivitas tipe II), antibodi IgG dan IgM yang disekresikan menyebabkan cedera sel dengan melalui fagositosis atau lisis dan cedera jaringan dengan merangsang inflamasi. Antibodi juga bisa mengganggu fungsi seluler dan menyebabkan penyakit tanpa adanya cedera jaringan 

 

 

 

 

 

Tabel Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas 

Tipe

Mekanisme imun

Lesi histopathology

Gangguan prototipe

Hipersensitifitas tipe I (Immediate) 

Produksi antibodi IgE → pelepasan segera amina vasoaktif dan mediator lainnya dari sel mast, kemudian sel-sel inflamasi 

Dilatasi vaskuler, edema, kontraksi otot polos, produksi mukus, jejas jaringan, inflamasi 

 

Anafilaksis, Alergi,Asthma Bronkial (Atopik) 

Hipersensitifitas Tipe II(Antibody- mediated) 

 

Produksi IgG, IgM → mengikat antigen pada sel target atau jaringan → fagositosis atau lisis sel target dengan mengaktivasi komplemen atuu reseptor Fc, pemanggilan leukosit 

 

Fagositosis dan lisis sel;inflamsi ; pada beberapa penyakit, Kelainan fungsional tanpa cedera sel atau jaringan 

Anemia Hemolitik Autoimun; Sindroma Goodpasture 

 

Hipersensitifitas Tipe III 

(Immune omplex Mediated) 

 

Pengendapan kompleks antigen- antibodi → Aktivasi komplemen;pemanggil an leukosit oleh produk komplemen dan reseptor Fc →pelepasan enzim dan molekul toksik lainnya 

 

Peradangan, vaskulitis nekrosis (nekrosis fibrinoid) 

 

Lupus eritematosus sistemik; beberapa bentuk glomerulonefritis ; penyakit serum ; reaksi Arthus 

 

Hipersensitifitas Tipe IV(Cell- Mediated) 

 

Limfosit T yang diaktivasi → (1) pelepasan sitokin, peradangan dan aktivasi makrofag ; (2) sitotoksisitas yang diperantari sel T 

Infiltrat seluler perivaskular ; edema;
bentukan granuloma ; penghancuran sel 

Dermatitis

kontak; Multiple sklerosis; diabetes tipe 1; tuberculosis 

 

 

 

 

HIPERSENSITIVITAS TIPE I (IMMEDIATE)

Ini juga disebut reaksi alergi, atau alergi Mereka diinduksi oleh antigen lingkungan (allergen), yang merangsang kuat respon TH2 dan produksi IgE pada individu yang rentan secara genetisIgE melapisi sel mast dengan ikatan terhadap reseptor Fcε; terpapar kembali oleh allergen menyebabkan ikatan silang IgE dan FcεRI, aktivasi sel mast dan pelepasan mediator. Mediator-mediator utama adalah histamin, protease dan isi granula lainnya, prostaglandin dan leukotrien dan sitokin. Mediator-mediator yang respon terhadap reaksi segera vaskuler dan otot polos juga reaksi fase akhir (inflamasi). Manifestasi klinis mungkin bersifat lokal atau sistemik dan berkisar dari rinitis ringan yang mengganggu sampai anafilaksis fatal. 

 

Hipersensitivitas Tipe II yang dimediasi Antibodi 

Antibodi yang bereaksi dengan antigen timbul pada permukaan sel atau di dalam matriks ekstraselular menyebabkan penyakit dengan merusak sel-sel tersebut, memicu inflamasi atau mengganggu fungsi normal. dan selanjutnya dibunuh oleh PMN. Dua reaksi itu terlihat sebagai 'merusak' hanya dirancang untuk melakukan dua tindakan pelindung host yang penting. Pertama, interaksi antibodi dengan 'antigen' dirancang untuk memungkinkan

opsonisasi bakteri ekstraseluler yang mungkin resisten terhadap fagositosis. Kedua, pelepasan neutrophil chemoattractants (seperti C5a) dirancang untuk menarik

PMN ke situs peradangan. 

 

 

Hipersensitifitas Tipe III ( Immune Complex-Mediated) 

Patogenesis Penyakit yang disebabkan oleh Antibodi dan Kompleks Imun 

·      Antibodi dapat melapisi (opsonisasi) sel, dengan atau tanpa protein komplemen, dan menargetkan sel-sel ini untuk fagositosis oleh fagosit (makrofag), yang mengekspresikan reseptor untuk ekor Fc dari lgG dan untuk protein komplemen. 

·      Antibodi dan kompleks imun dapat disimpan di jaringan atau pembuluh darah, dan menimbulkan reaksi inflamasi akut dengan mengaktifkan komplemen, dengan pelepasan hasil pemecahan atau dengan melibatkan reseptor Fc dari leukosit. Reaksi inflamasi tersebut menyebabkan cedera jaringan. 

·      Antibodi dapat mengikat reseptor permukaan sel atau molekul esensial lainnya dan menyebabkan gangguan fungsional (baik inhibisi atau aktivasi yang tidak teratur) tanpa cedera sel 

 

 

Hipersensitifitas Tipe IV( T Cell-Mediated)

Mekanisme Reaksi Hipersensitifitas yang dimediasi Sel T 

·      Inflamasi yang dimediasi sitokin : sel T CD4 + diaktifkan paparan terhadap antigen protein dan berdiferensiasi menjadi sel efektor TH1 dan TH17. Paparan selanjutnya terhadap antigen menghasilkan sekresi sitokin-sitokin. IFN-γ mengaktifkan makrofag untuk menghasilkan zat yang menyebabkan kerusakan jaringan dan menghasilkan fibrosis, IL-17 dan sitokin lainnya memanggil leukosit, sehingga meningkatkan inflamasi. 

·      Reaksi inflamasi klasik yang dimediasi sel T adalah hipersensitivitas tipe delayed.

·      Sitotoksisitas yang dimediasi sel T: CD8 + cytotoxic T lymphocytes (CTLs) spesifik untuk antigen mengenali sel, mengekspresikan antigen target dan membunuh sel-sel ini. Sel-sel T CD8+ juga mengekspresikan IFN-γ. 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

2.1 Imunopatogenesis Dan Patofisiologi Asthma Bronchiale

 

a.    imunopatogenesis asthma bronchiale

 

Asma bronkial adalah penyakit radang kronis yang ditandai dengan tingkat obstruksi aliran udara yang bervariasi yang terjadi secara spontan atau sebagai respons terhadap pemicu yang tidak spesifik seperti olahraga, asap, dan asap. Imunopatologi asma non-alergi tampaknya sangat mirip dengan asma alergi, meskipun ada beberapa perbedaan (Humbert et al. 1999). Asma alergi adalah penyakit yang berasal dari peradangan saluran napas dan bronkokonstriksi, yang merupakan fenomena sekunder dari penyakit ini (1991). Di negara maju, 30% dari populasi adalah atopik, tetapi hanya 10-12% dari populasi yang benar-benar menderita asma (Hammad dan Lambrecht 2008). Paparan alergen menghasilkan aktivasi sejumlah sel sistem kekebalan, di mana sel dendritik (DC) dan limfosit Th2 sangat penting. Meskipun epitel awalnya dianggap berfungsi hanya sebagai penghalang fisik, sekarang terbukti bahwa ia memainkan peran sentral dalam proses sensitisasi sel Th2 karena kemampuannya untuk mengaktifkan DC. Sitokin adalah faktor yang tak terhindarkan dalam mendorong respons imun. Dalam daftar banyak sitokin yang sudah diketahui terlibat dalam pengaturan reaksi alergi, ditambahkan sitokin baru, seperti TSLP, IL-25, dan IL-33. IgE juga merupakan pemain sentral dalam respons alergi. Aktivitas IgE dikaitkan dengan jaringan protein, terutama dengan reseptor Fc afinitas tinggi dan rendah.

 

b.    Patofisiologi asthma bronchiale

 

a.      Bronkokonstriksi

Kejadian fisiologis dominan yang mengakibatkan timbulnya gejala klinis asma adalah penyempitan saluran napas yang diikuti gangguan aliran udara.  Terjadi secara cepat pada asma eksaserbasi akut, kontraksi otot polos bonkus, menyebabkan sempit nya jalan nafas sehinga terjadinya respons stimulus masuk allergen atau iritan. Bronkokonstriksi akut yang diinduksi oleh alergen ini merupakan hasil IgE-dependent release of mediators dari sel mast, yang meliputi histamin, tryptase, leukotrien, dan prostaglandin yang secara langsung menakibatkan kontarksi otot polos saluran nafas

b.     Edema jalan nafas

Saat menjadi lebih persisten denan adanya inflamasi yang lebih progresif, akann diikuti factor lain yang lebih membatasi aliran udara. Factor meliputi edema, inflamasi, hipersekresi mucus dan pembentukan mucous plus, serta perubahan structural termasuk hipertrofi dan hiperplasis otot polos saluran nafas

c.      Airway hyperresponsiveness

Mekanisme yang memengaruhi Airway hyperresponsiveness  bersifay multiple, diantaranya inflamasi dysfungtional neuroregulation dan perubahan strukturan, dimana inflamasi merupakan factor utama dalam menentukan tingkat Airway hyperresponsiveness.

d.     Remodeling jalan napas

Pada beberapa orang yang menderita asma, pembatasan aliran udara mungkin hanya

sebagian reversibel. Perubahan struktural permanen dapat terjadi di jalan napas; ini terkait dengan hilangnya fungsi paru-paru secara progresif yang tidak dicegah oleh atau sepenuhnya dapat dibalikkan dengan terapi saat ini. 

 

 

 

 

2.2 Dampak 2 Tahap Reaksi Hipersensitivitas Tipe I Pada Tanda Dan Gejala Asthma Bronchiale

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

·       Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

·       Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

·       Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

·       Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

·       Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

·       Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.

 

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat  Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.

 

·             Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat  Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

·       Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat melepaskan histamin releasing factor dan sitokin lainnya yang akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.

·       Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama eosinofil.

·       Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I)  Seperti telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed mediator).  Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).  

 

 

 

 

 

 

 

2.3 Mediator Yang Dilepaskan Oleh Mastosit Serta Perannya Dalam Patofisiologi Asthma Bronchiale

 

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast 

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).

 

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel termasuk limfosit.

 

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A) 

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF) 

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

 

Mediator yang terbentuk kemudian 

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses inflamasi 

 

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

 

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4

 

 

 

Berikut merupakan peran utama mastosit dalam kedua tahap reaksi, 

page24image33323856

Gambar 7. Peran utama mastosit dalam kedua tahap reaksi 

Sumber: Imunopatogenesis Asma,Prof. Subowo 

 

 

 

 

 

 

2.4 Ketidak Berhasilan Pengobatan Dengan Anti-Histaminika Pada Serangan Hipersensitivitas Tipe I

 

 

            Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di
mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahanbahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. 

Dengan kata lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Terdapat 2 kemungkinan yang terjadi pada mekanisme reaksi alergi tipe I, yaitu : 

a)Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di
permukaan sel mast atau basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E telah terbentuk. Ikatan
antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya
mediatormediator kimia seperti histamine dan leukotrine.
b) Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan allergen penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel B, sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan
sel mast dan akan mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan allergen
akan menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi,
hipersekresi, oedem, spasme pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada alergi tipe ini antara lain : rinitis (bersin
bersin, pilek) ; sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot polos yang ditemukan
pada anafilaktic shock).

Prinsip tata laksana asma pada anak maupun dewasa adalah sama
yaitu mempertahankan atau meningkatkan kualitas hidup yang sama
dengan normal sehingga semua upaya yang dilakukan bertujuan ke arah kualitas hidup. Beberapa tata laksana dikelompokkan ke dalam dua
kelompok besar yaitu farmakoterapi dan non farmakoterapi. Yang termasuk ke dalam farmakoterapi adalah pemberian obat saat serangan 

maupun di luar serangan, sedangkan yang dimaksud dengan non 

farmakoterapi adalah pendidikan (edukasi) kepada keluarga, maupun 

perbaikan lingkungan . 

Antihistamin diperlukan hanya untuk mengatasi reaksi cepat karena dapat menghilangkan gejala inflamasi akut, sehingga seseorang yang mengalami asma bronkhial perlu diberikan kortikosteroid untuk mengatasi reaksi lambat nya, karena jika tidak diberi kortikosteroid dapat menimbulkan reaksi alergi berlanjut hingga dapat menyebabkan saluran nafasnya menjadi menyempit. 

 

 

2.5 Alergen yang dapat menimbulkan penyakit asthma bronchiale 

Reaksi alergi disebabkan allergen yang mempunyai manifestasi bervariasi dan terbagi menjadi reaksi cepat (tipe I), tipe II, tipe III dan tipe IV. Alergen merupakan faktor pencetus atau pemicu asma yang sering dijumpai pada pasien asma. Tungau debu ruangan, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing dan lain-lain dapat menimbulkan serangan asma pada penderita yang peka. Alergen tersebut biasanya berupa alergen hirupan, meskipun kadang-kadang makanan dan minuman dapat menimbulkan serangan (Sundaru, 2007). Dari beberapa studi epidemiologi telah menunjukkan korelasi antara paparan alergen dan prevalensi asma dan perbaikan asma bila paparan alergen menurun (Maranatha, 2010). Hasil penelitian tentang faktor-faktor risiko di Jakarta juga menyebutkan adanya hubungan bermakna antara paparan alergen dengan kejadian serangan asma (Jeanne, 1998). 

Debu rumah sebenarnya terdiri atas bermacam-macam alergen seperti berbagai sisa makanan, potongan rambut dan berbagai kulit binatang sampai kecoa dan serangga. Tetapi dari semua alergen yang paling menonjol adalah tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronyssynus atau D. Farunale). Tungau ini selalu terdapat dalam debu rumah apalagi didaerah yang lembab. Berkembang biak sangat cepat terutama di kamar tidur karena makanannya adalah serpihan kulit manusia yang terlepas sewaktu tidur tanpa sepengetahuan kita sebenarnya kulit manusia secara teratur diganti dengan yang baru. Begitu ringannya tungau serta potongan-potongan badannya, menyebabkan partikel-partikel tadi sangat mudah tersebar di udara bila tertiup angin. Pada penderita yang alergi, sewaktu ia menyapu lantai atau membersihkan buku-buku tua maka akan segera terjadi reaksi alergi yang mula-mula berupa bersin, mata gatal, batuk dan terakhir bisa sesak. 

Reaksi alergi terjadi beberapa menit sampai 6-8 jam setelah terpapar (kontak) dengan alergen, begitu juga lama serangan asma dapat berlangsung hanya setengah jam sampai berjam-jam bahkan berhari-hari bila alergen tadi tidak disingkirkan atau dihindari (Sundaru, 2007). 

Hewan peliharaan juga dapat menimbulkan asma. Anjing, kucing, kelinci serta kuda merupakan contoh hewan yang cukup sering menimbulkan asma. Sumber alergen lainnya yang cukup penting adalah kecoa. Baik kotoran maupun kencingnya bila telah kering menjadi debu, merupakan alergen yang cukup kuat. Pentingnya alergen seperti tungau debu rumah atau kecoa atau alergen lainnya, pada konsentrasi yang rendah menimbulkan sensitisasi sehingga saluran napas menjadi lebih peka dan akhirnya menjadi sangat mudah dicetuskan oleh alergen atau faktor pencetus lainnya. Pada konsentrasi tinggi merupakan faktor risiko untuk serangan asma akut (Sundaru, 2007). 

Berikut beberapa alergen yang dapat menimbulkan penyakit asthma bronchiale serta risiko perkerjaannya: 

Alergen

Risiko Pekerjaan

1. Produk hewan:
Lembu, babi, unggas, mencit, hamster, kelinci, tikus, mencit, kelelawar, kucing kuda. 

 

Peternak hewam. Serangga, karyawan laboratorium. Dokter hewan. 

 

2. Debu/serangga:
Tungau gudang, tempat tinggal, ulat sutera, lebah, coro, lalat 

 

Karyawan lumbung, peternak lebah 

 

3. Hasil laut:
Kepiting, Udang, cairan cumi, Pakan ikan. 

Peternak, pemroses hasil laut 

4. Produk tumbuhan:
Debu tepung, debu kapas, debu gandum, tepung gandum, buah- buahan, biji-bijian, de-daunan, sari bunga, biji jarak, biji kopi, tembakau, butir sari bunga matahari 

 

Karyawan pabrik benang kapas dan tekstil, pekerja pabrik roti, pemroses biji kopi, pekerja laboratorium, pekerja pertanian. 

 

5. Pewarna organik dan tinta 

Pembuat perabot dari kayu, pekerja penggergajian, perce- takan 

6. Agen mikrobial:
Alergen kapang, protozoa, bakteria

Industri bioteknologi, pekerja laboratorium dan kantor. 

7. Enzim
Papain, bromelain nanas, tripsin, ekstrak pankreas 

Karyawan pabrik detergen, pekerja farmasi, pemroses makanan 

            8. Agen terapetik: Antibiotik dan senyawa terkait 

Pekerja farmasi, pekerja peternakan ayam, perawat. 

9. Bahan farmasetik dan senyawa terkait 

Alfa metil dopa, cimetidin, senyawa glisil, antibiotik 

Perawat, karyawan pabrik farmasi 

10. Piperazin: 

 

Penyembelihan hewan, karyawan rumah sakit, pekerja dapur. 

 

 

            11. Bahan pensteril Chloramin, sulfon chloramid 

 

Perawat, karyawan pabrik farmasi 

 

12. Bahan kimia anorganik: Aluminium, chromium, cobalt, fluorida, nikel, platinum, baja, Zn. 

 

Pekerja barang-barang logam, pekerja industri logam 

 

13. Bahan kimia organik
Amin, azobisformamid, ethanolamin, tetramine 

 

Pekerja yang berhubungan dengan bahan kimia, elektronik, plastik, industri karet, fotografer, pebungkus makanan 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

1.    Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders, 1989.

2.    Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III. Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.

3.    Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. OxfordBlackwell Scioentific, 1988; 233-67.

4.    Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders, 2004.

5.    Subowo, Imunologi Klinik edisi ke-3, Sagung Seto, 2018, Bab 2: Peradangan dan Kerusakan Jaringan, halaman 15-29 Bab 3: Hipersensitivitas, halaman 31-92. 7. Barnes PJ. Pathophysiology of asthma. Eur Respir Mon. 2003, 23: 84– 113. 

6.    Meiyanti, Julius I, 2000,. Mulia kedokteran Trisakti. Perkembangan pathogenesis dan pengobatan Asma Bronkial

7.    Depkes RI. Riset kesehatan dasar. RISKESDAS 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, 2008. 

8.    Elshemy A, Abobakr M. Allergic reaction: symptoms, diagnosis, treatment and management. Journal of scientific and innovative research. 2013;2(1):123- 144. 

 

 

 


Tidak ada komentar: